Kamis, 13 Februari 2014

kutipan dari blog ampura lupa namanya

UPACARA MANUSA YADNYA UPACARA MAGEDONG-GEDONGAN Upacara ini ditujukan kehadapan si bayi yang ada di dalam kandungan dan merupakan upacara yang pertama kali dialami sejak terciptanya sebagai manusia. Oleh karenanya upacara ini dilakukan setelah kehamilan berumur 5 bulan ( 6 bulan kalender ) sebelum bayi itu lahir. Kehamilan yang berumur di bawah 5 bulan dianggap jasmani si bayi belum sempurna, dan tidak boleh diberi upacara manusa yadnya (menurut lontar kuno dresthi). Tujuannya adalah untuk membersihkan dan mohon keselamatan jiwa raga si bayi, agar kelak menjadi orang yang berguna dimasyarakat (kalau laki-laki menjadi pahlawan pembela negara/titundung musuh dan kalau perempuan menjadi istri yang utama). UPAKARA YANG KECIL Untuk pembersihan : byakala dan prayascita Untuk tataban : sesayut, pengambyan, peras, penyeneng, dan sesayut pemahayu tuwuh UPAKARA YANG LEBIH BESAR : Untuk pembersihan : byakala, prayascita, dan pengelukatan Untuk tataban : seperti diatas dilengkapi dengan banten pegedongan matah TATA UPACARA : Upacara dilakukan dipermandian (dirumah membuat permandian darurat) terlebih dahulu orang yang hamil mabyakala dan maprayascita. Di hadapan sanggah kemulan ditaruh perlengkapan upacara seperti benang hitam 1 (satu) tukel yang kedua ujungnya diikat pada cabang kayu dadap, bambu buluh runcing (gelanggang), daun kumbang diisi air dan ikan sawah yang hidup yaitu belut, nyalian, ketam, ceraken, dibungkus dengan kain yang baru. Pelaksanaannya : 1. Kedua cabang kayu dadap yang terikat dengan benang hitam ditancapkan pada pintu gerbang (arah benang agar menuju pintu gerbang). 2. Si Perempuan mengusung ceraken tersebut, tangan kanan menjinjing daun kumbang yang berisi air dan ikan tadi. 3. Yang laki (suami) tangan kirinya memegang benang dan tangan kanannya memegang gelangang tersebut tadi. Sudah itu sajen segehan diperciki untuk bhuta yang sering menggoda. 1. Setelah yang laki berjalan serta memegang benang sambil menusuk daun kumbang yang berisi air yang dijinjing oleh si perempuan sampai keluar ikan dan airnya. Setelah itu suami istri bersembahyang agar selamat kandungannya, tidak tergoda oleh segala godaan sampai pada lahirnya selamat. Upakara ini dilanjutkan dengan pengelukatan dan akhirnya natab. MANTRA DARI PAGEDONGAN Om Sanghyang paduka Ibu Pertiwi Betari Gayatri, Betari Sawitri, Betari Suparni, Betari Wastu, Batari Kedep, Betari Angukuhi, Betari Kundangkasih, Betari Kamajaya-Kamaratih, mekadi pakulun Hyang Widiadara-Widiadari, Hyang Kuranta-kuranti, sama daya iki tadah saji aturan manusa ira si anu ajakan sarowangan ira amangan anginum, manawi ana kirangan kaluputan ipun den agung ampura. Nen manusa nira, mangke ulun aminta nugraharing sira samua aja sira angedonging, angancinging muwang anyangkalen, uwakakena lawangira selacakdana uwakakena den alon sepungana nuta anak-anak andepun denapekik dirgayusayowana weta urif tan ane saminaksan ipun. Om siddhi rastu swaha. PENJELASAN BEBERAPA BUAH BANTEN : BANTEN PEGEDONGAN MENTAH Sebuah bakul/paso yang berisi beras, kelapa, telur, benang putih, ketan, injin, pisang mentah, sudang (ikan teri), tingkih, pangi, bija ratus, palawa, peselan, base tampel dll seperti isi daksina masing-masing satu biji / butir. Sesayut pemahayu tuwuh Alasnya disebut kulit sesayut, diatasnya diisi penek/tumpeng kuning, ikan ayam satu ekor, dilengkapi dengan buah-buahan, jajan, rerasmen, sampian nagasari, dan penyenang yang berisi tetebusan benang tridatu (hitam, merah dan putih). BRATA Beberapa pantangan bagi orang yang sedang hamil adalah : 1. Wak capala 2. Wak Purusya 3. Tidak menyembah mayat (Cawa) 4. Tidak mendukung tirta pengentas Sebaliknya sang suami tidak boleh membikin cemburu, terkejut. Usahakan agar selalu adanya ketenangan dengan membaca lontar dan ajaran-ajaran agama yang lainnya. BAYI LAHIR Upacara ini tidak mempunyai arti yang istimewa, kecuali merupakan rasa gembira dan angayu bagia atas kelahiran si bayi kedunia. Upakaranya disebut dapetan dan terdiri dari : Dalam tingkatan yang kecil Nasi muncuk kuskusan, dilengkapi dengan buah-buahan (raka-raka), rerasmen (kacang saur, garam, sambel dan ikan), sampian jaet, dan canang sari / canang genten, serta sebuah penyeneng. Upakara ini dihaturkan kehadapan sang Dumadi. Upakara yang lebih besar Seperti diatas dilengkapi dengan jerimpen di wakul yaitu sebuah wakul berisi sebuah tumpeng lengkap dengan raka-raka, rerasmen, dan sampian jaet. PERAWATAN terhadap ARI-ARI Setelah ari-ari itu dibersihkan lalu dimasukkan kedalam sebuah kelapa yang dibelah dua (airnya dibuang). Bagian atas dari kepala itu diisi tulisan “Ongkara”, sedangkan bagian bawahnya diisi tulisan angkara. Selain dari pada itu kedalam kelapa tadi dimasukkan pula beberapa jenis duri seperti duri terung, mawar dsbnya, sirih lekesan selengkapnya. Lalu kedua buah kelapa itu dicakupkan kembali, dibungkus dengan ijuk dan kain putih kemudian di pendam (kalau tidak ada hijuk, cukuplah dengan kain putih saja). Tempat memendam yaitu kalau si bayi laki-laki, maka arinya dipendam di sebelah kanan pintu balai, sedangkan kalau perempuan dipendam di sebelah kiri (lihat dari dalam rumah). Ucapan waktu memendam ari-ari adalah sebagai berikut : Ong Sang Ibu Pertiwi rumaga bayu, rumaga amerta, sanjiwani angemertanin sarwa tumuwuh (nama si bayi ……………), mangda dirgayusa nutugang tuwuh. Sebenarnya masing-masing lontar berbeda ucapannya, tetapi disini dikemukakan yang agak sederhana dan mudah dihafalkan. Setelah selesai mengucapkan kata-kata tersebut barulah ari-ari itu ditimbuni, ditindihi batu hitam (batu bulitan) ditandai dengan pohon pandan yang berduri. Secara rokhaniah, bertujuan menolak gangguan oleh hewan, dan secara rokhaniah bertujuan untuk menolak gangguan rokh-rokh jahat. Upakara yang diturunkan kepada ari-ari itu adalah nasi kepel 4 kepel, ikannya bawang jahe, garam yang dicampur dengan areng, dan dilengkapi dengan canang genten / canang burat wangi. Banten itu dihaturkan kehadapan sang Catur Sanak dari pada bayi. Demikianlah perawatan terhadap ari-ari dianggap selesai dan setiap ada upacara yang ditujukan kepada si bayi, hendaknya ari-arinya tidak dilupakan. Disamping itu perlu kiranya dikemukakan bahwa bila keadaan tidak mengijinkan maka ada kalanya ari-ari itu (setelah dibungkus dengan kelapa seperti di atas) lalu dibuang kelaut. KEPUS PUSER URAIAN UPACARA Apabila puser si bayi sudah lepas (kepus), dibuatkan suatu upakara yang bertujuan untuk membersihkan secara rokhaniah tempat-tempat suci, dan bangunan yang ada disekitarnya, seperti sanggah kamulan, sumur, dapur, bale dsbnya. Puser di bayi dibungkus dengan secarik kain, lalu dimasukkan kedalam sebuah tipat (tipat kukur), disertai dengan anget-anget (sejenis rempah-rempah, seperti sintok, mesui, katik tengkeh, dsbnya), kemudian digantungkan di tempat tidur si bayi agak ke tebenan (hilir). Kepada si Ibu mulai diberi makan berjenis-jenis ikan/daging dan lauk pauk lainnya. Hal ini bertujuan agar si bayi terlatih terhadap berjenis-jenis ikan/daging. Seperti diketahui banyak orang yang tidak berani (tubuhnya tidak tahan terhadap ikan laut atau daging babi misalnya. Selain dari pada itu mulai saat itu si bayi diasuh oleh Sang Hyang Kumara dan untuk beliau dibuatkanlah sebuah tempat di atas tempat tidur si bayi yang disebut Pelangkiran (kemara). Menurut mithologi (lontar Siwa-gama) Sang Hyang Kumara adalah salah satu Putra Bhatara Siwa dan beliau dikutuk tetap berwujud anak-anak agar tidak termakan / terbunuh oleh kakaknya (Dewa Gana). Dan untuk selanjutnya Sang Hyang Kumara ditugaskan oleh ayahnya untuk mengasuh / untuk melindungi anak-anak yang belum maketus (lepas gigi). UPAKARA YANG PALING KECIL Banten penelahan, banten kumara, banten labaan di ibu dan banten ari-ari UPAKARA YANG LEBIH BESAR Seperti di atas dilengkapi dengan banten tataban seperti waktu lahir. Penjelasan beberapa jenis banten : 1. Banten Penelahan Alasnya adalah sebuah ceper yang isinya sebagai pasucian / pabersihan dilengkapi dengan beras kuning dialasi dengan daun dadap. 1. Banten Labaan si ibu Sebuah ajuman yang berisi ikan / berjenis-jenis daging 1. Banten Kumara (Yang kecil) Sebuah ajuman yang nasinya berwarna putih dan kuning, ikannya telur dadar, rakanya kekiping, pisang mas, geti-geti nyahnyah gula kelapa dan canang lengewangi-buratwangi / canang sari. Kumaranya dihiasi dengan bunga yang harum-harum dan sedapat mungkin berwarna putih dan kuning. 1. Banten Ari-ari Di tempat menanam ari-ari menghaturkan banten : segehan kepel 4 tanding masing-masing berwarna merah, putih, kuning dan hitam, ikannya adalah bawang jahe dan garam. Ada pula yang menyebut bahwa ikannya adalah sebagai berikut : segehan kepel yang putih ikannya jae, segeghan kepel yang merah ikannya bawang merah, segehan yang kuning ikannya kunir dan segehan yang hitam ikannya garam yang dicampur dengan areng (uyah-areng). Masing-masing segehan itu dilengkapi dengan sebuah canang buratwangi canang genten. Banten ini dihaturkan kehadapan Sang Ante Preta. Dan kalau keadaan mengijinkan maka pada tempat menanam ari-ari itu didirikan sebuah sanggah cucuk bertudung upih yang disebut Sato-Yoni. Disamping sanggah cucuk ditaruh kayu api dan pada cabang dibawah sanggah itu diisi lampu (pelita). Tiap malam lampu dinyalakan dan kayu api dibakar. Sanggah cucuk diisi dengan banten kumara dan dihaturkan kehadapan Hyang Ning Ari-ari. UPACARA NGELEPAS HAWON Upacara ini dilaksanakan setelah bayi berumur 12 (dua belas hari) dan disebut upakara ngelepas hawon. Upakara (banten) yang diperlukan pada saat ini sama dengan upacara pada waktu kepus udel. UPACARA KAMBUHAN(SATU BULAN TUJUH HARI) Uraian Upacara: Setelah si bayi berumur satu bulan tujuh hari (42 hari), diadakanlah upacara yang sering disebut “Upacara Macolongan”. Dalam upacara ini disamping pembersihan jiwa raga si bayi dari segala noda dan kotoran, juga bertujuan untuk mengembalikan Nyama Bajang si Bayi dan pembersihan si Ibu agar dapat memasuki tempat-tempat suci seperti Merajan, Pura dsbnya. Kiranya perlu dikemukakan perbedaan antara “Catur Sanak” dengan “Nyama Bajang”. Catur sanak berarti saudara empat. Yang dimaksud dalam hal ini adalah empat unsur (benda beserta kekuatannya) yang dianggap sangat membantu pertumbuhan dan keselamatan si Bayi sejak mulai terciptanya di dalam kandungan sampai dia lahir. Wujud dari pada saudara empat itu adalah : Darah, Lamad, Yeh nyom, dan Ari-ari. Nama dari saudara empat ini akan berganti-ganti sesuai dengan pertumbuhan si bayi di dalam kandungan dan setelah lahir, sehingga akan dapat banyak nama untuk mereka. Oleh karean sang catur sanak itu dianggap sangat berjasa, maka diajurkan agar setiap orang tidak melupakan mereka baik dalam keadaan suka maupun dalam keadaan duka. Kemudian yang dimaksud dengan Nyama Bajang adalah semua kekuatan-kekuatan yang membantu Sang Catur Sanak di dalam kandungan, dalam proses pertumbuhan, penyempurnaan jasmani serta keselamatan si bayi. Menurut penjelasan beberapa sulinggih banyak Nyama Bajang ini adalah 108 misalnya : bajang colong, bajang bukal, bajang yeh, bajang tukad, bajang ambengan, bajang papah, bajang lengis, bajang dodot, dllnya. Setelah bayi itu lahir maka nyama bajang ini dianggap tidak mempunyai tugas lagi, bahkan kadang sering mengganggu si bayi. Oleh akrena itu pada waktu si bayi berumur 42 hari dianggap sudah waktunya untuk mengembalikan mereka ketempatnya masing-masing (keasalnya). Disamping itu untuk pertama kalinya si bayi dimohonkan pengelukatan kehadapan Bhatara Brahma (di dapur), Bhatara Wisnu (permandian), dan Bhatara Siwa / Hyang Guru (disanggah kemulan). Upakara yang kecil Untuk Ibu byakaonan dan prayascita lengkap dengan tirta pengelukatan dan pebersihan. Untuk si bayi banten pasuwugan, banten kumara dan dapetan seadanya. Upakara yang lebih besar Untuk si ibu seperti diatas Untuk si bayi banten pasuwugan, banten kumara, jejanganan, banten pacolongan (di dapur, di permandian dan di sanggah kamulan) serta tataban seadanya. TATA UPACARA Terlebih dahulu si ibu dan si bayi mabyakaonan dan maprayascita lalu si bayi (beserta orang tuanya) diantar ke sanggah kamulan untuk natab / diupacarai dengan upakara-upakara yang tersebut di atas. Bila mengambil tingkatan upakara yang lebih besar, maka terlebih dahulu si bayi melukat di dapur, kemudian dipermandian dan akhirnya di Sanggah Kamulan / disertai dengan natab. MANTERA-MANTERA / PUJA DALAM RANGKAIAN UPACARA TSB DIATAS MANTERA PENGELUKATAN DI DAPUR Om Indah ta kita Sang Hyang Utasana sira mesarira sarwa baksa iki manusane sianu(sebut nama ibu/bapak), aneda nugraha widhi, angeseng lara rogo wigena, mala papa petakane sianu, wastu geseng dadi awu. Om Ang rigeni Rudra Ujuala niya namah. MANTERA PENGELUKATAN DIPERMANDIAN (SUMUR) Om Ung Gangga Supta jiwa ya namah, Om Gangga Mili ya namah, pukulun ulun aminta atmane sianu, manwi ta atmane pun anu ketepuk ketengah olih sarwa Bhuta Kala, karem ring sumur agung daweg antukakena ring raga walunan ipun, ulun anebas ring sira Hyang Betari Gangga Pati. Om Sriyam bawantu, purnambawantu, sukanmbawantu swaha. Panebasan Pengelukatan ring Hyang Guru Kemulan Om pakulun Sanghyang Guru Reka, Sang Hyang kawi swara, Sang Hyang Saraswati Suksma, Sang Hyang Brahma Wisnu Iswara, mekadi Sang Hyang Surya Candra lintang teranggang, ulun anede nugraha widhi, angalukat, dasamala, papa patakane sianu, Om sidhi rastu yanama swaha. Ring Sang Tinebasan Om Dirgayusa awetaning raga langgeng, angapusing balung pila pilu. Angapusing atot pila pilu, angapusing atme juwitane sang tinebas-tebasan, tunggunen de nira sang Hyang Bayu Pramana, amuwuhana tuwuh ipun. Om Dirgayusa aweta urip sidhi rastu tatastu swaha. Mantram Bajang Colong Om Sang Kosika, Sang Garga, Sang Metri, Sang Kurusia, Sang Pretanjala, Imalipa I Malipi, mekadi bapa bajang, babu Bajang, Bajang toya, Bajang Lenga (Lengis), Bajang Dodot, Bajang sembur, Bajang Deleg, Bajang Bejulit, Bajang Sapi, Bajang Kebo, Bajang papah, mwah sakwehing ingaranan sarwa bajang-bajang susila, si bajang weking, iki tadah sajin ira dena becik menawi wenten kakirangan ipun, iki pirak satak pitu likur, benang setukel nggenatuku ring pasar agung apan kita agawe ala ayu. Mangkin ulun aminta sih nugraha ring kita sedaya, turunan atmaning rare maring rega walunan nira-malih, aja sira munah-munih, wastu pukulan sida rahayu seger oger urip waras, embanen rahina wengi. Om, sidhi rastu yanamah swaha. Om Sang Kosala, Sang Garga, Sang Metri, Sang Kurusia, Sang Patanjala, Sang Malipa, Sang Malipi, Pinaka Bapa Bajang, yan wus sira amukti, Pamuliha kita kedesanira sowing-sowang. Om Syah, syah, ayah poma. Mantram Jejanganan Om Bapa Banglong, babu Benong, Babu Calungkup, Babu Gadonyah, Babu Suparni, Babu Dukut sabhumi, miwah sakwehing araning babu bajangan, iki tadah sajinira, sekul liwat, jangan kacang satingkeban, amuktia sari sira, aja sira nyumet, aja sira nyedut, asungana rare ning nghulun, anak amangan anak aturu, anak emang-emang, sahundan-hundan tekeng jejaka luputa ring lara roga, sahut bagya sangkalan ipun, asing kirang asing luput sampun ta agang sampura nira, amuktia, atuku sira ring pasar agung wus sira amuktia sarisun amintia sari sira, lan babekelan nira kabeh, iki ta pipis satak selata sih raksanen ta rare ning hulun amongan tasunu mangkana pangeraksanira ring bajang bayi, kadep sidhi pamastunku. Om sriyam ya nama namah. PENJELASAN BEBERAPA BUAH BANTEN BANTEN PASUWUGAN Banten ini berfungsi sebagai pembersihan terhadap jasmani si bayi, serta terdiri dari : peras, ajuman, daksina, suci, soroan alit, pengelukatan, pengambyan, penyeneng, nasi 6 ceper, masing-masing dengan ikan yang berbeda-beda yaitu ikan ayam, itik, telur, siput, daging babi, dan kacang-kacang. Kemudian dilengkapi dengan dua buah kungkang sejenis jejahitan yang berisi nasi, lauk-pauk dan ikannya sesate, kemudian keduanya dialasi dnegan sebuah bokor yang berisi beras, sirih-tampeh, benang, telur ayam yang mentah dan uang 25 kepeng. BANTEN PENGELUKATAN DI DAPUR Peras dengan tumpengnya merah, ikannya ayam biying, dilengkapi dengan ajuman, daksina, pengulapan-pengambyan, penyeneng dan soroan alit, masing-masing sebuah, serta sebuah periuk yang berisi air dan bungan yang harum untuk mpengelukatan. BANTEN DI PERMANDIAN (SUMUR) seperti diatas hanya tumpengnya hitam dan ikannya ayam hitam. BANTEN DI SANGGAH KEMULAN Seperti diatas hanya tumpengnya putih, dan ikannya ayam putih dipanggang. BANTEN PACOLONGAN Sebuah buki (periyuk tanah yang bagian bawahnya sudah pecah) diberi kalung tapis kemudian kedalamnya dimasukkan sebuah pusuh biyu (jantung pisang) dan pelapah kelapa yang berlubang (papah nyuh bolong), pusuh biyu itu disisipi dengan uang 3 kepeng, sedangkan lubang dari kelapa itu digantungi tipat belayag, keduanya tidak diisi beras) dan gantung-gantungan dari busung. Disamping itu baik buki, pusuh biyu, dan pelapah kelapa tersebut diberi secarik kain dan ditandai dengan kapur yang berbentuk tampak dara. Semuanya itu dapat dianggap sebagai perwujudan dari Nyama Bajang. Kemudian disebelahnya diisi sebuah penjor dari pelapah enau (jak) yang masih berisi daun dan lidinya ditusuki bunga-bunga yang berwarna merah (kalau dapat bunga sepatu yang merah) Bantennya adalah dua buah untek (penek kecil) yang dialasi dengan ceper, dilengkapi dengan jajan, buah-buahan dan canang burat wangi. Sampian tangga yang kecil, sedangkan ikannya adalah : ceper yang pertama berisi guling katak, ceper yang kedua memakai guling capung, ceper yang ketiga memakai guling baling dan ceper yang keempat memakai guling ayam semululung yang diperoleh di tengah jalan (semululung = ayam kecil). Kemudian dilengkapi dengan tengen-tengenan (salaran kecil tidak dengan ayam dan itik). Setelah upacara semua banten ini dibuang diperempatan jalan di jalan raya. JEJANGANAN Untuk tempatnya sedapat mungkin yang agak besar dan diisi beras, sirih tampel, benang putih dan wang. Diatasnya disusun sebuah taledan, kemudian barulah diisi perlengkapan sebagai berikut : Peras, ajuman, daksina, suci, tipat kelanan masing-masing satu tanding uang 225, nasi yang berbentuk matahari, nasi yang berbentuk burung, nasi yang berbentuk jalan, nasi yang berbentuk tangkariga (tulang belakang dan rusuk), nasi beberapa kepel masing-masing diisi conger (tanda yang berbeda-beda yaitu ada yang memakai tanda bulu ayan, bulu itik, bulu angsa, bunga terung, ikan siput, terasi mentah, bawang jahe, kunir, lombok, laos, padang lepas, pelas (bumbu yang sudah dimasak), ikan banding, ikan laut, telur, kacang-kacang dan garam. Kemudian terdapat pula nasi takilan (nasi dengan lauk-lauk dibungkus dengan daun pisang), penek among (penek yang disisipi kecai mentah, bawang dan jahe), tumpeng gurih (tumpeng yang dicampur dengan kelapa dan kacang putih), bubur kacang, sayur-sayuran (108 jenis), tulung bertingkat 3, bertingkat 5, masing-masing berisi nasi dan lauk-pauk. Dan akhirnya banten ini dilengkapi dengan sampian nagasari, canang buratwangi dan ikannya adalah ayam yang dipanggang. (dalam upacara yang agak besar jejanganan ini dilengkapi dengan jajan seperti jajan gula gembal). UPACARA TIGA BULANAN ( NYAMBUTIN ) URAIAN UPACARA Upacara ini disebut pula upacara “Nelu-Bulanin”. Tujuannya adalah agar jiwa-atma si bayi benar-benar kembali berada pada raganya. Disamping itu upacara ini juga merupakan pembersihan serta penegasan nama si bayi. Serangkaian dengan upacara ini biasanya dilakukan pula upacara turun tanah. Tujuannya adalah untuk mohon waranugraha kehadapan Ibu Pertiwi bahwa si anak akan menginjak kakinya dan agar beliau melindungi / mengasuhnya. Upakara yang kecil Pengelepas aon, penyambutan, jejanganan, banten kumara, dan tataban. Upakara yang lebih besar Seperti diatas, tetapi tetatabannya memakai pula gembal, banten pengelukatan dan banten turun tanah. TATA UPACARA Dalam hal ini upacara langsung dipimpin oleh pimpinan upacara (dilakukan di depan beliau). Setelah itu barulah dilaksanakan upacara turun tanah. Pelaksanaannya setelah selesai mohon tirtha pengelukatan kemudian tirtha dipercikkan pada si bayi dibuatkan keroncongan (rantai bahu), gelang tangan dan kaki. Sebelum alat-alat tersebut dikenakan pada si bayi terlebih dahulu alat-alat itu diperciki segau, diperciki tirtha dan dilukat. Kemudian si bayi disembahyangkan 3 (tiga) kali dengan memohonkan semoga si bayi tidak ternoda karena mulai saat ini ia memakai ratna kencana (permata emas). Setelah sembahyang lain diberi tirtha pengening dan barulah kemudian ngayab jejanganan yang maksudnya memberi upakara kepada babu/rare bajang agar jangan menggodanya. Setelah itu si bayi diberi natab banten ayaban yang maksudnya agar si bayi selamat berumur tiga bulan. PENJELASAN BEBERAPA BUAH BANTEN Banten pangelepas aon Sebagai alasnya adalah daun telujungan, diatasnya diisi nasi muncuk kuskusan, buah-buahan, jajan, lauk-lauk, sampian nagasari, canang buratwangi, pasucian/pebersihan dan lis/bebuu. Pada nasi muncuk kuskusan itu disisipi 3 buah linting, dan masing-masing tangkainya digantungi sebuah pipil yang berisi calon nama si bayi misalnya kalau laki-laki I Wijana, I Sparsa, I Yudana, dsbnya. Sedagkan kalau perempuan Ni Kumuda, Ni Menuh, Ni Rijata, dstnya. (nama tersebut adalah menurut petunjuk dalam lontar tetapi kiranya nama-nama itu dapat disesuaikan menurut kehendak si ayah dan si ibu). Pada waktu upacara linting itu dinyalakan, dan nama yang tercantum pada linting yang terakhirnya mati, dipakai sebagai nama si bayi dan abunya ditaruh pada dahinya. BANTEN PENYAMBUTAN Alasnya berbentuk bundar, diatasnya diisi beras, kelapa telur itik, dll seperti isi daksina, masing-masing satu biji. Kemudian dilengkapi dengan 4 buah tumpeng yang ditaruh pada setiap sudut, serta jajan, buah-buahan, lauk-pauk, ikannya ayam dipanggang, canang buratwangi, sampian nagasari, peras,s esayut, sanggah urip penyenang dan pesucian, masing-masing satu tanding. BANTEN MENGELILINGI LESUNG Tempat upacara dihalaman sanggah kemulan. Sebagai alat perlengkapan adalah sebuah lesung (lumpung), paso yang diberi air ditaruh diatas lesung sedangkan di dalam paso itu diisi jejahitan taman dari busung. Di dalam jejahitan taman padma pada paso itu diisi beberapa jenis perhiasan seperti gelang, cincin, kalung, subeng, dsbnya. Bantennya adalah : peras, ajuman, daksina, suci, pengulapan, pengambean, penyambutan, jejanganan, dan tetataban seadanya. Lain dari itu terdapat pula anak-anak dari belego (ketimun), batu dan pusuh biyu (jantung pisang). Waktu mengelilingi lesung, bayi memakai tongkat bumbungan (bambu yang tidak masih ruasnya). Upacara ini adalah sebagai simbul, bahwa si bayi pergi ketaman untuk mandi dan memperoleh perhiasan, serta ditegaskan bahwa ia adalah anak manusia. BANTEN TURUN TANAH Tempatnya adalah didepan Sanggah Kemulan,serta tanah yang akan diinjak dirajah berbentuk bedawang nala. Bantennya adalah peras, ajuman, daksina dan tipat kelanan. BEBERAPA BUAH MANTERA Mantera pengelepas aon Pakulun betara Brahma, betara Wisnu Betara Iswara, manusa sira si anu angelepas-aon ipun ri betara tiga, pakulun anyuda letuh ipun, teka suda, teka suda, teka suda, lepas malan ipun. Mantra Penyambutan Pekulun kaki sambut, nini sambut, tan edanan sambut agung sambut alit, yan lunga mangetan, mangidul, mangalor, mangulon, mwang maring tengah atmane si jabang bayi tinututan dening prawatek dewata pinayungan. Kala cakra, pinageran wesi sambut ulihana atma bayu pramana ne si jabang bayi, Mantra mengelilingi lesung (lumpang) Om Sang Wawu pada wawu, anak ira si Tunggal Ametung, putun ira si karang jarat, sira anak-anakan beligo, ingsun anak-anakan pusuh, ingsun anak-anakan watu, anak-anakan antiga, ingsun anak-anakan manusa. Mantra ngayab / natab banten penyambutan, tataban dllnya Pakulun kaki prajapati, nini Prajapati, kaki Citragotra, nini Citragotri, ingsun aneda sih nugraha ring kita, sambutan ulapi, atmane sianu, manawi wenten atman anganti ring pingiring samudra, ring tengahing udadi, ndaweg ulihakene awaknia si anu, denpun tetep, mandel, denpun kukuh pageh aweta urip (dilanjutkan dengan Ayu Wredi…………….) Mantra menurunkan bayi Pakulun kaki Citragotra, nini Citragotri, ingsun mintanugraha nurunaken rare, ring lemah, turun ayam, ameng-ameng sarwa kencana sri-sedana, katur ring betari Nungkurat, betari wastu, betari kedep, meka I kaki Citragotra, nini Citragotri, iki aturan ipun srahatos, ameta urip waras dirgayusa, tan kemeng geget, wewedinan, asungana, aweta urip, teguh timbul, bujangga kulit, akulit tembaga, aotot kawat, abalung besi, anganti matungked bungbungan, angantos batu makocok, ulihakena pramanannia maka satus dualapan maring raga walunannia si bajang bayi. Om Tebel Akasa tebel pertiwi, mangkana tebel akukuh, atma yusa ne sirare jabang bayi. Catatan : 1. Upacara mengelilingi lesung itu hanyalah merupakan penyempurnaan dari pada pengelepas aon, yang berfungsi sebagai pembersihan. Dalam hal ini adalah mandi ketaman. Lesung beserta perlengkapannya adalah sebagai simbul tetamanan. 2. Bayi yang meninggal sebelum umur 3 (tiga) bulan tidak dibuatkan upakara pitra yadnya. Apabila telah berumur 3 (tiga) bulan dan telah maketus pitra yadnya adalah Ngalungah. UPACARA SATU OTON (6 BULAN) URAIAN UPACARA Yang dimaksud satu oton disini adalah 210 hari. Upacara ini bertujuan untuk memperingati hari kelahiran dan biasanya diikuti dengan upacara pemotongan rambut yang pertama kali (magundul), yang bertujuan untuk membersihkan siwa-dwara (ubun-ubun). Upacara ini sering pula dilakukan setelah si bayi berumur 3 oton. Hal ini mungkin bermaksud untuk menjaga kesehatan si bayi. Tetapi sering juga upacara pengguntingan pertama dilakukan pada waktu tiga bulan, hanya saja tidak digundul sampai bersih, melainkan merupakan simbolis saja. Demikian pula menurut lontar-lontar upacara turun tanah dilakukan pada waktu otonan yang pertama kali ini. Tetapi kalau diperhatikan, anak-anak sekarang telah mulai belajar berjalan sebelum berumur satu oton. Dan tujuan dari pada upcara turun tanah itu adalah mohon waranugraha kehadapan Ibu Pertiwi, maka kiranya upacara tersebut baiknya dilakukan sebelum si bayi belajar berjalan. Di samping si bayi untuk pertama kali diperkenalkan kehadapan Ida Betara Betari yang ada di Dasarnya, yaitu diwujudkan dengan menghaturkan pejati / pesaksi ke Bale Agung (Pura Desa). Upacara yang paling kecil Prayascita, parurubayan (untuk magundul), jejanganan, tataban seadanya, peras lis, banten pesaksi ke Bale Agung / pura Desa, ajuman 12 tanding), banten turun tanah dan banten kumara. Upacara yang lebih besar Seperti diatas, hanya saja parurubannya dilengkapi dengan guling babi, dan tatabannya dilengkapi dengan pulagembal / bebangkit. Catatan : Upakara / alat perlengkapan untuk magundul adalah : Gunting, cincin (kalau dapat bermata mirah), kartika, 5 buah seet mingmang, karawista dan belayag (untuk tempat rambut). TATA UPACARA Setelah memuja sajen (termasuk menghaturkan sebagai saksi ke Dewa) dilakukan persembahyangan yakni : 1) ke Surya sebagai pesaksi 2) Bhatara-bhatari juga sebagai pesaksi 3) Sembahyang peguntingan dan yang terakhir 4) Sembahyang oton Sesudah itu dilakukan peguntingan. Ketika ini, si bayi kepalanya (paban) berisi bunga tunjung, masirat (maketis) sirat cendana berisi garboda lalu sang Sulinggih mengambil gunting (tangan berisi andel-andel) dan cincin yang berisi karawista, kemudian memotong rambut si bayi. Rambut si bayi yang akan dipotong ditempeli kartika, seet mingmang dan cincin dan kemudian digunting di depan, di sebelah kanan, di sebelah kiri, dan dibelakang dan ditengah. Setelah selesai rambut ditanam dibelakang Sanggah Kemulan. Setelah itu lalu diberi prayascita, pebersihan dsbnya yang berfungsi sebagai penyucian, kemudian dilanjutkan dengan natab banten dan akhirnya turun tanah serta bersembahyang / mohon wangsuh pada. BEBERAPA MANTRA 1. Mantra untuk gunting rambut / mapetik Om yata way sakel panem ikesame anidih papa klesa winasa syat Banghara mantram utaman. 1. Mantra Cincin Om Eng tejo sakalpanem suci ka tri mahesidhi, papa klesa winasa syat takara Mantra Utaman 1. Mantra panca kusika (seet-mingmang) Om Kusa sri kusa widnyanan pawitran, papasasanem, papa klesa winasa syat Nangkara aksara taman 1. Mantra megunting rambut di depan Om Sang Sadya yanamah, hilanganing papa klesa peteka 1. Mantra menggunting rambut di depan Om Bhang, bana dewaya nama, hilanganing lara roga wigena 1. Mantra menggunting rambut di sebelah kiri yang dipotong / mapetik Om Ang hagora yanamah, hilanganing gering sasab marana 1. Mantra menggunting rambut di belakang Om Tang tat purusayanamah, hilanganing gagodan satru musuh 1. Mantra menggunting rambut ditengah Om Ing isana yanamah. Hilanganing sebel kandel sang pemetik. 1. Penjelasan Banten BANTEN PERURUBAYAN (yang kecil) Alasnya dilengkapi sebuah dulang atau yang lain diatasnya diisi tumpeng putih dan kuning masing-masing sebuah, jajan, buah-buahan, lauk-pauk dan ikan ayam dipanggang. Di sebelah ditaruh dua buah wakul yang berisi jajan, buah-buahan, tumpeng masing-masing sebuah dan ikannya ayam dipanggang. Dalam upacara yang besar banten ini dilengkapi dengan guling babi yang memakai jembor, dan babi yang dipakai adalah babi jantan tetapi bukan kucit butuan, melainkan yang sudah dikebiri. Demikian pula pada banten perurubayan ini dilengkapi dengan peras, ajuman, daksina, tulung sesayut, pesucian / pebersihan, penyeneng, atau kadang-kadang suci masing-masing satu buah / tanding. TUMBUH GIGI URAIAN UPACARA Upacara ini disebut pula Ngempugin dan sedapat mungkin dilakukan pada waktu matahari mulai terbit. Tujuan adalah untuk memohon kehadapan Betara Surya, Betara Brahma, dan Dewi Sri agar gigi si bayi tumbuh dengan baik, putih bersih, tidak jamuran / candawanan atau dimakan ulat. UPAKARA YANG KECIL Petinjo kukus dengan ikannya telur UPAKARA YANG LEBIH BESAR Adalah petinjo kukus dengan ikannya ayam atau itik yang diguling, dilengkapi dengan tataban. Banten petinjo kukus. Alasnya adalah sebuah taledan, kemudian diisi sebuah jit kuskusan (nasi muncuk kuskusan), dilengkapi dengan buah-buahan, jajan lauk-pauk dan ikannya sesuai dengan tingkatan upakaranya. Disekitarnya dilengkapi dengan peras, tulung, sesayut, penyeneng, pasucian, ajuman dan canang. MANTRA NGEMPUGIN Om Sang Hyang Surya, Brahma, ndih empug saka wenten, empug untune sianu wesi kari pinaka untune, bumi kari pinaka gusine, arata jajara kaya walandingan siniger, sire Betari sri angelukata untune sianu, tan keneng jejamuran, tan keneng subatahan, munggah untune Maha Betari Siwa Bumi Maha Sidhi. TATA UPACARA Setelah saji diaturkan lalu natab,sesudah itu layudannya terutama ikan digosokkan pada gusi bayi, lalu ngelayud. MAKETUS ( LEPAS GIGI ) Upacara ini disebut juga makupak. Upacara ini dilaksanakan apabila si anak sudah lepas giginya (maketus untuk pertama kalinya). Pada upacara ini dibuatkanlah upacara yang agak berbeda dengan yang sudah-sudah, yaitu pabyakalaan dan sesayut / tatebasan. Mulai saat itu dia tidak diperkenankan lagi untuk natab jejanganan dan penyambutan, melainkan diganti dengan pabyakalaan dan sesayut / tatebasan (sesayut Pangerti Swara). Menurut lontar Siwa Gana si anak tidak lagi diasuh oleh Sang Hyang Kumara, oleh karena itu tidak perlu lagi membuat banten Kumara. Si anak mulai mempersiapkan diri untuk mepelajari pengetahuan. Upakara-upakara dalam hal ini tidaklah begitu banyak, dan biasanya dilakukan pada waktu otonan berikutnya, yaitu dilengkapi dengan pabyakalaan dan sesayut / tatebasan. Mengenai jenis sesayut / tatebasan yang dimaksudkan sebaiknya mohon petunjuk kehadapan tukang / orang yang dianggap tahu. MENINGKAT DEWASA (MUNGGAH DEHA / TERUNA) URAIAN UPACARA Sebagai tanda kedewasaan bagi seorang laki-laki adalah suaranya mulai membesar )ngembakin), sedangkan tanda kedewasaan bagi seorang wanita adalah untuk pertama kalinya dia mengalami datang bulan (haid). Sejak itu seseorang merasakan getaran-getaran samara karena Dewa Asmara mulai menempati lubuk hatinya. Upacara-upacara dalam hal ini terutama ditunjukkan kehadapan Sang Semara Ratih, dengan penghargaan agar beliau benar-benar dapat menjadi pembimbing dan teman hidup yang baik, berguna serta tidak menyesatkan hidup orang yang bersangkutan. Demikianlah orang yang meningkat dewasa itu disimbulkan kawin dengan Sang Hyang Semara Ratih. Biasanya upacara meningkat dewasa ini dititik beratkan pada orang perempuan. Hal ini mungkin disebabkan karena kaum wanita dianggap sebagai kaum lemah, dan lebih memungkinkan untuk menanggung akibat perbuatan samara yang tersesat. Lain dari pada itu kiranya moral kaum wanita dapat dianggap sebagai barometer tinggi rendahnya, tegak runtuhnya moral suatu bangsa (alam manusia), seperti disebutkan di dalam Bhagawad Gita sebagai berikut : kulaksaye pranasyanti, kuladharmaht sanatanah dharma naste kulan krtsnam, udharmo bhibhavaty ute (1) artinya : keluarga yang didalam keadaan keruntuhan dharmanya menemui ajal-nya jika dharma menemui ajalnya seluruh keluarga diliputi oleh perasaan adharma (1) adharmabhibhavat krsna pradusyanti kulastriyah strisudustasu vasneya jayate varnasamkarah (2) artinya : dan jika adharma meliputi suasana o Krishna maka para wanita dari kaum keluarga itu menjadi jatuh ramalnya dan bila para wanita moralnya jatuh, o Krishna maka terjadilah kekacauan alam manusia (2) Upakara yang kecil Banten pabyakalaan, prayascita, dapetan (tataban) dilengkapi dengan sesayut,sabuh rah, kalau perempuan) atau sesayut “ngeraja singa” (kalau laki-laki”. Dan banten padedarian. Upakara yang lebih besar Seperti diatas, dilengkapi dengan banten pesaksi di dapur, dan tataban memakai sorohan pulagembal. TATA UPACARA Terlebih dahulu mabyakala dan maprayascita, lalu bersembahyang di dapur dan akhirnya natab sesayut sabuh rah / ngeraja singa. 1. Penjelasan Beberapa Buah Banten Sesayut sabuh rah alasnya disebut kulit sesayut, di atasnya diisi merah, disisipi bunga pucuk bang (kembang sepatu yang merah), darah mentah yang dialasi dengan takir, dan dilengkapi dengan sampian nagasari, buah-buahan, jajan, penyeneng dan canang buratwangi atau yang lain. Sesayut Ngeraja Singa Alasnya disebut kulit sesayut, diatasnya diisi 9 buah tumpeng yang dikalungi pekir (busung) dan setiap tumpeng berisi sebuah kawangen. Disekitarnya dilengkapi dengan tulung urip 9 buah, tipat sidapurna 9 buah, jajan, buah-buahan, sampian nagasari, penyeneng, pasucian/pebersihan dan ikan ayam gumerot. Banten Pededarian yang kecil Nasi putih 11 ceper, nasi kuning 11 ceper dilengkapi dengan lauk-pauk, ikannya telur itik yang didadar, canang burat wangi, buah-buahan, pisang mas jajan kekiping, nyahnyah gula kepala, dan bungan yang harum serta berwarna putih dan kuning. (nyahnyah gula kelapa adalah campuran dari beras, ketan, injin yang dinyahnyah, lalu dicampur dengan kelapa yang disisir dan gula tebu / gula pasir). Banten ini dilengkapi dengan peras ajuman, daksina dan suci. Banten ini ditaruh diatas tempat tidur dan dihaturkan kehadapan Sang Hyang Semara Ratih. Banten pesaksi di dapur Peras, ajuman, daksina, pebersihan, lis (bebuu), canang lengewangi buratwangi, canang sari dengan raka kekiping, pisang mas, nyahnyah gula kelapa dan sesari 225. kadang-kadang dilengkapi dengan tataban seadanya serta sesayut sabuh rah. UPACARA POTONG GIGI (MAPANDES) URAIAN UPACARA Upacara ini dapat dijadikan satu dengan upacara meningkat dewasa, dan mapetik, dan penambahan upakaranya tidaklah begitu banyak. Upacara ini bertujuan untuk mengurangi Sad Ripu dari seseorang dan sebagai simbulnya akan dipotong 6 buah gigi atas (4 buah gigi dan 2 taring). Yang dimaksud dengan Sad Ripu adalah 6 sifat manusia yang dianggap kurang baik, bahkan sering dianggap sebagai musuh didalam diri sendiri. Keenam sifat tersebut ditimbulkan oleh Budi Rajas dan Budi Tamas. Sebenarnya kita sebagai manusia memiliki 3 budi yaitu : Budi Rajas, Budi Tamas, Budi Satwam, sedangkan pada binatang memiliki 2 budi yaitu : Budi Rajas, dan Budi Tamas. Oleh karena itu segala pengaruh-pengaruh yang ditimbulkan oleh Budi Rajas, dan Budi Tamas kiranya dapat dianggap sebagai sifat-sifat kebinatangan yang tidak selayaknya menguasai diri kita sebagai manusia ini bukannya berarti bahwa Budi rajas, dan Tamas beserta pengaruh-pengaruhnya itu tidak perlu, tetapi hendaknya ada keseimbangan antara Budi Rajas, Tamas dan Budi Satwam sebagai penuntunnya. Adapun yang dimaksud dengan Sad Ripu : 1. 1. Tamak / loba 2. Suka menipu 3. Suka dipuji (moha) 4. Murka / kroda (suka marah) 5. Suka menyakiti sesame makhluk 6. Suka memfitnah Demikianlah upacara potong gigi itu bukanlah semata-mata mencari keindahan / kecantikan belaka, melainkan mempunyai tujuan yang mulia. Upakara yang paling kecil Banten pabyakalaan, prayascita, pengelukatan dan tataban seadanya. Upakara yang lebih besar Seperti diatas, tetapi tatabannya memakai pulagembal. CATATAN Disamping upakara-upakara tersebut, terdapat pula upakara/perlengkapan lainnya yaitu : 1. Membuat / menyediakan sebuah balai-balai (dipan) untuk tempat upacara potong gigi. Pada tempat tersebut diisi perlengkapan seperti bantal, kasur, seprai, (permandian) dan tikar yang berisi gambaran Semara Ratih. 2. Bale Gading itu dibuat dari bamboo gading (yang lain) dihias dengan bunga-bunga yang berwarna putih dan kuning, serta didalamnya diisi banten peras, ajuman, daksina (kadang-kadang dapat dilengkapi dengan suci), canang buratwangi, canang sari dengan raka-raka : kekiping, pisang mas, nyahnyah kelapa. Bale gading ini adalah : sebagai tempat (pelinggih) dari Sang Hyang Semara Ratih. 3. Tegteg Yang dimaksud dengan tegteg adalah sejenis jejahitan yang berisi jajan dan sampian tegteg. Biasanya dipakai daun rontal. 1. Kelapa gading yang dikasturi, airnya dibuang dan ditulisi Ardanareswari (gambar samara ratih). Kelapa gading ini akan dipakai sebagai tempat ludah dan singgang gigi yang sudah dipakai. Setelah upacara, kelapa gading ini dipendam dibelakang Sanggah Kemulan. 2. Untuk singgah gigi (pedangal), adalah tiga potong cabang dadap dan tiga potong tebu malem / tebu ratu. Panjang pedangal ini kira-kira 1 cm atau 1, 5 cm 3. “Pengilap” yaitu sebuah cincin bermata mirah 4. Untuk pengurif-urif, adalah empat kunir (isin kunyit) yang dikupas sampai bersih, dan kapur. 5. Sebuah bokor yang berisi : kikir, cermin dan pahat (biasanya pengilap yang tersebut di atas ditaruh pada bokor ini. Demikian pula pangurip-uripnya. 6. Sebuah tempat sirih lengkap dengan sirih lekesan, tembakau, pinang, dan gambir. (didalam leesan itu sudah berisi kapur). 7. Beberapa potong kain (yang agak baik) dipakai untuk menutupi badan waktu upacara dan disebut rurub. 8. Banten tetingkeb yang akan diinjak waktu turun (dapat diganti dengan segehan agung). TATA UPACARA Seperti biasa dilakukan upacara mabyakala dan maprayascita lalu bersembahyang kehadapan Betara Surya, dan Sang Hyang Semara Ratih. Kemudian naik ke tempat upacara potong gigi (kebalai yang disebut did epan) serta duduk menghadap kehulu (keluanan). Pimpinan upacara mengambil cincin yang akan dipakai untuk nge”rajah” pada beberapa tempat yaitu : Pada dahi (antara kedua kening) dengan huruf ( ) Pada taring sebelah kanan dengan huruf ( ) Pada taring sebelah kiri dengan huruf ( ) Pada gigi atas dengan huruf ( ) Pada gigi bawah dengan huruf ( ) Pada lidah bawah dengan huruf ( ) Pada dada dengan huruf ( ) Pada nabi puser dengan huruf ( ) Pada paha kanan dan kiri dengan huruf ( ) Setelah itu barulah diperciki tirtha pasangihan, selanjutnya upacara dipimpin oleh Sanggih yaitu orang yang bisa memotong gigi (nyangihin). Setelah orang yang bersangkutan tidur serta memakai rurub, maka sangging mengambil kikir, lalu dipujai. Orang yang akan diupacarai diberi pedangal tebu, disebelah kanan (kalau orang laki-laki, sedangkan kalau perempuan dipasang di sebelah kiri terlebih dahulu). Setelah kikir dipujai, lalu dimulailah pelaksanaan potong gigi dengan disertai puja, kemudian pedangal diganti, orang yang bersangkutan disuruh meludah, pedangel diganti, dan demikian seterusnya sampai dianggap cukup (ludah dan pedangal dibuang kedalam kelapa gading). Bila dianggap sudah cukup rata, lalu diberi pengurip-urip (kunir), kemudian berkumur dengan air cendana, selanjutnya makan sirih (ludahnya ditelan tiga kali), dan sisanya dibuang kedalam kelapa gading. Selanjutnya natab banten peras, dan waktu turun menginjakkan kakinya pada tetingkeb (segehan agung) tiga kali. Sore hari setelah pemujaan sajen, dilakukan muspa kehadapan Surya Candra. Kemudian dilanjutkan dengan ma jaya-jaya dan natab. BEBERAPA MANTRA MANTRA KIKIR Om Sang perigi manik, aja sira geger lunga, antinen kakang nira sri Kanaka teke kekeh pageh, tan katekaning lara wigena, take awet-awet. MANTRA WAKTU PEMOTONGAN GIGI YANG PERTAMA Om lunga ayu, teka yu (diucapkan 3 kali) MANTRA PANGURIP-URIP Om Urip-uriping bayu, sabda, teka urip, ang Ah. MANTRA KEKESAN Om suruh mara, jambe mara, timiba pwa ring lidah Sang Hyang Bumi Ratih ngaranira, tumiba pwa sira ring hati, kunti pepet arannira, katemu-temu delaha, samangkana lawan tembe, metu pwa sira ring wewadonan Sang Hyang Sumarasa aran nira, wastu kedep mantranku. Catatan : Menurut Lontar Castra Proktah (tutur Sang Hyang Yama) tidak wajar Cawa (mayat) itu ditadah, ngeludin wangke ngaran. UPACARA MAWINTEN URAIAN UPACARA Upacara ini bertujuan untuk mohon waranugraha akan mempelajari ilmu pengetahuan seperti kesusilaan, keagamaan, weda dsbnya. Pemujaan disini diutamakan kehadapan tiga dewa yaitu : betara guru sebagai pembimbing (guru), betara gana, sebagai pelindung serta pembebas daris egala tintangan / kesukaran, dan dewi Saraswati sebagai dewi penguasa ilmu pengetahuan. SUSUNAN UPAKARANYA Sebagai pasaksi adalah : peras, ajuman, daksina, banten “saraswati” dan sebuah cakepan (pustaka). Di depan Sanggar Pasaksi : banten pawintenan serta perlengkapannya/tataban. Untuk yang akan mawinten : tiap orang menghadapi banten-banten peras 1 tanding, byakala, dan segehan untuk bhuta. PENJELASAN BEBERAPA BUAH BANTEN BANTEN SARASWATI Sebuah tamas yang berisi pisang mas, bubur precet 22 takir, bubur dibungkus dengan daun beringin 22 biji (dibungkus dengan keraras 22 biji, air cendana, empehan, madu nyahnyah gula kelapa, serta jajan-jajan yang lain, buah-buahan, canang mererepe, lenge wangi buratwangi, dan canang sari. Di samping itu pada tamas yang lain diisi bunga-bunga yang berwarna putih seperti menuh, gambir yang melukiskan Dewa Gana, tunjung sudamala, cecek dll. BANTEN PAWINTENAN (YANG KECIL) Alasnya adalah kulit sesayut, diatasnya diisi sebuah tumpeng dengan puncaknya telur itik yang direbus, ikannya itik putih yang diguling, dilengkapi dengan buah-buahan, jajan, jaja saraswati 11 buah dllnya. Perlengkapan untuk ngarajah adalah : lekesan dengan ujungnya berisi tunjung biru, pinang 25 buah. Lekesan 25 buah ini dipakai sebagai labahan. Kemudian lekesan yang sama lagi 3 biji tetapi berisi tulisan triaksara (Ang, Ung, Mang). Sirih ini akan ditelan (until). Lain dari pada itu terdapat madu 1 takir dan tangkai sirih sebanyak orang yang akan mawinten. Ini dipakai untuk ngarajah. Ngarajah (rerajahan) dan madu diperlukan apabila diadakan pawintenan Pemangku. Sedangkan pawintenan Saraswati (untuk permulaan belajar) tidak diperlukan rajahan, peguntingan dan madu. TATA UPACARA Pertama dilakukan upacara pelukatan, kemudian peguntingan dna ngerajah. Setelah itu barulah orang yang mewinten muspa selengkapnya. Upacara pawintenan hendaknya dilakukan bersama istri. BRATAN PEMANGKU 1. Diusahakan berambut panjang, kalau dipotong oleh sesame pemangku atau oleh diri sendiri. 2. Pada waktu menjalankan swadarma hendaknya menurut busana pemangku 3. Tidak boleh makan daging sapi dan babi piaraan 4. Dalam hal kematian (kecuntakaan) hendaknya membatasi diri, tidak ikut ngarap sawa dan mengecap sesuatu yang berasal darinya. Dan kegiatannya hanya terbatas pada pelaksanaan upacara. UPACARA PERKAWINAN URAIAN UPACARA Upacara perkawinan adalah merupakan persaksian baik kehadapan I.S.W, maupun kepada masyarakat bahwa kedua orang tersebut mengikatkan diri sebagai suami istri, dan segala akibat perbuatannya menjadi tanggung jawab mereka bersama. Disamping itu upacara tersebut juga merupakan pembersihan terhadap “Sukla swanita” (bibit) serta lahir bathinnya. Hal ini dimaksud agar bibit dari kedua mempelai bebas dari pengaruh-pengaruh buruk (gangguan Bhuta Kala), sehingga kalau keduanya bertemu (terjadi pembuahan) akan terbentuklah sebuah Manik yang sudah bersih. Dengan demikian diharapkan agar roh yang akan menjiwai Manik itu adalah roh yang baik/suci, dan kemudian akan lahirlah seorang anak yang berguna di masyarakat menjadi idaman orang tuanya). Lain dari pada itu, dengan adanya upacara perkawinan secara Agama Hindu, berarti pula bahwa kedua mempelai telah memilih Agama Hindu serta ajaran-ajarannya sebagai pegangan hidup didalam membina rumah tangganya. Selanjutnya menurut beberapa lontar seperti Kuno dresta, Eka pertama dllnya, dikemukakan bahwa hubungan sex (didalam suatu perkawinan) yang tidak didahului dengan upacara pedengan-dengan (pekla-kalaan) dianggap tidka baik, dan disebut Kamakeparagan. Kalau kedua kama itu bertemu atau terjadi pembuahan maka, lahirlah anak yang disebut Rare-dia-diu, yang tidak mendengarkan nasehat orang tua atau ajaran-ajaran agama. Hal ini mungkin ditujukan kepada perkawinan yang direstui / disetujui oleh kedua belah pihak (pihak orang tua si gadis dan pihak orang tua si pemuda). Tetapi di Bali masih sering terjadi perkawinan secara Ngerorod, sehingga kemudian sekali segala upacara akan tertunda sampai tecapainya kata sepakat antara kedua belah pihak. Dan hubungan sex yang mungkin terjadi dalam hal ini, kiranya tidaklah dilakukan dengan penuh kesadaran dan rasa tanggung jawab atas segala akibatnya. Sebagai contoh dapatlah dikemukakan perkainan antara Dewi Sankuntala dengan Prabhu Duswanta, dimana menurut ceritanya perkawinan itu tidak disertai dengan suatu upacara / upacara apapun. Kemudian kalau diperhatikan upacara-upacara didalam perkawinan kiranya dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu : Upacara Madengen-dengenan (=makala-kalaan) adalah merupakan upacara yang terpenting (pokok) didalam perkawinan, karena didalam upacara inilah dilakukan pembersihan secara rokhaniah terhadap bibit kedua mempelai, dan pesaksi atas perkawinannya, baik dihadapan I.S.W dan masyarakat. Oleh karena itu pelaksanaannya sedapat mungkin tidak tertunda. Upacara natab, dan mapejati (ngaba jaja) adalah merupakan penyempurnaan didalam perkawinan. Tujuan adalah untuk membersihkan lahir bathin kedua mempelai, memberikan bimbingan hidup dan menentukan status salah satu pihak. Pelaksanaannya kadang-kadang tertunda beberapa hari tergantung pada keadaan. UPACARA YANG KECIL Untuk penyemputan dimuka rumah si suami Segehan cacahan warna lima, api takep dan tetabuhan. Untuk peresmian perkawinan Banten dengen-denganan (pekala-kalaan), tataban seadanya dan pejati. UPACARA YANG LEBIH BESAR Untuk penyemputan di muka rumah si suami. Seperti diatas, dilengkapi dengan carun patemon Untuk peresmian perkawinan Seperti diatas, dilengkapi dengan carun-petemon dan tataban pula gembal, serta sesayut nganten. PENJELASAN BEBERAPA BUAH BANTEN Banten pedengen-dengenan (pekala-kalaan) yang terdiri dari : peras, ajuman, daksina, suci dengan ikannya telur itik yang direbus, tipat kelanan, sesayut, pengambyan, penyeneng, tulung, sanggah urip, pemubug. (tumpeng kecil 5 buah dialasi dengan kulit sesayut dengan raka-raka dan lauk-lauk), solasan 22 tanding (= nasi yang dialasi dengan taledan kecil), dilengkapi dengan lauk-pauk, ikannya sesate dan lekesan/sirih selengkapnya), bayunan (=penek warna 5 dialasi dengan daun tulujungan ikannya olahan ayam berumbum, dan kulit dari ayam tersebut ditaruh diatasnya dilengkapi dengan kewangen, jika tidak mungkin membuat olahan / sesate maka ayam itu dapat pula dipanggang). Kemudian dilengkapi dengan pabyakalaan, prayascita, lism gelar sanga, tetabuhan, dan beberapa perlengkapan seperti : 1. Tikeh dadakan : adalah sebuah tikar kecil yang dibuat dari daun pandan yang masih hijau. Ini adalah merupakan simbul kesucian di gadis. 2. Kala Sepetan : adalah sebuah bakul yang berisi telur ayam yang mentah, sebutir, batu bulitan sebuah, uang 25, kunir, keladi, andong, kapas, lalu bakul itu ditutupi dengan serabut yang dibelah tiga dan berasal dari sebutir kelapa. Serabut itu diikat dengan benang merah putih dan hitam, diatasnya diisi muncuk dadap dan lidi masing-masing 3 buah. Ini adalah merupakan perwujudan dari pada Sang Kala Sepetan yaitu salah satu Bhuta Kala yang menerima banten pedengen-dengenan. 3. Tegen-tegenan, terdiri dari : cangkul, sebatang tebu, dan cabang dadap. Pada salah satu ujungnya digantungi periyuk yang berisi tutup, dan ujungnya yang lain digantungi bakul berisi uang. 4. Sok pedagangan : adalah sebuah bakul yang berisi beras, kain, bumbuan, rempah-rempah, pohon kunir, keladi dan andong. 5. Penegtegan : biasanya dipakai tiang dari pada Sanggah Kemulan yang disebelah kanan, yaitu diisi sebuah keris lengkap dengan pakaiannya. Ini adalah sebagai simbul kelaki-lakian. 6. Pepegatan : dibuat dari dua buah cabang dadap, yang ditancapkan agak berjauhan dan keduanya dihubungkan dengan benang putih. 7. Tetimpug : dibuat dari beberapa potong bambu yang masih kedua ruasnya. Dalam upacara nanti bambu ini dibakar sampai mengeluarkan bunyi (meletus). Carun patemon yang terletak dijalan : Nasi dialasi dengan bakul, ikannya karangan babi (atau yang lain), nasi yang digulung dengan upih (daun) (ikannya hati) dilengkapi dengan bunga cempaka 2 buah, canang buratwangi, sesari 25 dan tetabuhan. Banten ini dihaturkan kehadapan Sang Bhuta Hulu lembu, Sang Bhuta Harta, dan Sang Bhuta Kilang-kilung. Carun patemon yang terletak diatas pintu Nasi takilan yang ikannya darah mentah yang dialasi dengan limas (tangkih), bawang jae, dan garam. Banten ini dihaturkan kehadapan Sang Bhuta Pila-pilu, Sanghyang Sasarudira, Sanghyang kuladrawa, Sanghyang Ragapanguwus, Kaki Ranggaulung, dan Kaki Rangga tan kewuh. Banten Pejati (Jauman) Peras, ajuman, daksina, suci dengan ikannya itik diguling, tipat kelanan, bantal, jaja kuskus, dan beberapa jenis jajan lainnya, dilengkapi dengan sirih, pinang, tembakau, gambir, rantasan saparadeg (pakaian istel) dan kadang-kadang dilengkapi dengan 2 buah tumpeng lengkap dengan guling babi. Banten ini dihaturkan di Sanggah Kemulan, kemudian diserahkan kepada orang tua si gadis. BEBERAPA MANTERA MANTERA PENGELUKATAN Om Sanghyang Kama Jaya-Kama ratih, sira ta maka uriping carmaning ngulun, yan sira angawe manusa, aja sira amiruda, amrisakiti, wehana pengelukatan luputan luputa ring lara roga, sanut sangkala, sebel kendel, awak ring sariran ipun. Om siddhi rastu, Om, Cri Criambawane sarwa roga winasaya, sarwa papa winasanem, sarwa klesa winase ya namo namah. Mantra natab Banten Pedengen-dengen Om indah ta kita Sang Kala Kali, puniki pabyakala kalane sianu katur ring Sang Kala-kali sedaya, sira reka pakulun angeluwaraken, sakwehing kala, kala pati, kala karapan, kala karongan, kala mujar, kala kapepengan, kala sepetan, kala kapepek, kala cangkingan, kala durbala durbali, kala brahma makadi sakwehing kala heneng ring awak sariran ipun si anu, sami pada kaluwarane de nira betara Siwa wruh ya sira ring Hyang Hyanggani awak sarirania, kejenengana denira Sanghyang Tri purusangkara, kasaksenan denira sanghyang Triodasa-saksi lan ya maruwaten sang kala-kali mundura dulurane rahayu dan nutugang tuwuh ipun si anutunggunen dening bayu pramana, mwang wreddhi putra listu ayu (kadang-kadang dilanjutkan dengan : “Ayu wreddhi”……………………….) TATA UPACARA MEDENGEN-DENGENAN Seperti biasa terlebih dahulu ma-byakala, dan ma-prayascita, kemudian mempelai disuruh duduk menghadap Sanggah Kemulan serta banten medengen-dengen. Setelah banten tersebut dipujai seperlunya lalu kedua mempelai bersembahyang, kemudian diupakarai dengan alat-alat yang ada pada pebersihan seperti : sisig, keramas, segara tepung tawar dsb-nya, lalu diberi pengelukatan, dan kemudian natab banten pedengen-dengenan. Selanjutnya kedua mempelai berjalan mengelilingi Sanggah Kemulan, Sanggar Pesaksi, tiap kali melewati Kala Sepetan kakinya disentuhkan sebagai simbul pembersihan sukla-swanita dan dirinya. Setelah tiga kali, lalu penganten yang laki berbelanja, sedangkan yang perempuan menjual segala yang ada pada “sok bebelanja” (waktu berjalan penganten yang laki memikul tegen-tegenan yang perempuan menjunjung sok bebelanjan). Upacara jual beli ini mungkin sebagai simbul tercapainya kata sepakat untuk memperoleh keturunan. Kemudian dilanjutkan dengan “merobek tikar” (tikar dadakan), dimana pengantin yang peremuan memegang tikar tersebut dan yang laki merobek dengan keris yang berada pada penegtegan. Hal ini merupakan simbul “pemecahan selaput gadis”. Setelah itu kedua mempelai memutuskan benang yang terlentang pada cabang dadap (pepegatan) sebagai tanda bahwa mereka telah melampaui masa remajanya, dan kini berada pada fase yang baru sebagai suami istri. Kemudian bersama-sama menanam pohon kunir, andongan dan keladi di belakang Sanggah Kemulan, dilanjutkan dengan mandi / berganti pakaian. Sore harinya dilakukan upacara melukat, mejaya-jaya dan natab dapetan seadanya, dan akhirnya mepejati (ngaba jaja). Upacara mepejati itu bertujuan menyatakan bahwa mulai saat ini si gadis tidak masih menjadi tanggung jawab dan hak waris keluarganya. Dengan demikian upacara perkawinan dianggap selesai. Demikian sekedar damar sentir untuk menerangi kehidupan beragama dan berbudaya!!!!! DHARMA CARUBAN (Tuntunan Ngebat) Merupakan suatu uraian singkat tentang penyelenggaraan hidangan hidangan masyarakat Bali, baik yang dipergunakan pada waktu pesta, maupun dalam perayaan keagamaan yang berdasasrkan adat Agama Hindu. Bagi masyarakat yang beragama Hindu bahwa setiap melakukan yadnya, baik dewa yadnya, pitra yadnya, Rsi Yadnya, Manusa Yadnya maupun Bhuta Yadnya mulai dari tingkatan yang kecil, sedang dan besar biasanya menyelenggarakan npenyembelihan hewan-hewan yang dipergunakan sebagai ulam sesajen. Adapun hewan yang biasanya disembelih untuk ulam sesajen itu adalah ayam, itik, angsa, babi, sapi, kambing, kerbau, penyu dan lain sebagainya. menurut bentuk dari pada olah-olahan tersebut ada berbagai macam, ada yang keras, ada yang lembab,maupun ada yang encer. Diantara olah-olahan tersebut maka "Lawar" inilah yang menjadi kegemaran masyarakat Bali dari dahulu sampai sekarang. lawar itu banyak coraknya, ada yang serba matang, ada yang serba setengah matang atau pula ada yang serba mentah. Dengan tidak mengesampingkan pendapat dari beberapa ahli kesehatan secara moderen, maka sesungguhnya prinsip-prinsip Dharma Caruban adalah banyak sekali manfaatnya dalam menjamin kesehatan hidangan lawar dan yang sejenisnya. misalkan saja untuk membqasmi bau busuk dalam daging mentah dharma caruban memberikan resep "Langsub" yang terdiri dari rempah rempah : Lada, Cengkeh, Ketumbar, Jebugarum dll, juga adanya daun-daunan seperti : Ginten, Limau, Janggar Ulam dll, dari umbi-umbian seperti : Gamongan, Bangle, Isen, Cekuh, Kunyit, Jahe dan bawang merah/putih. Karena segala perikehidupan Umat Hindu selalu dijiwai oleh agamanya, tidaklah mengherankan jika Dharma Caruban mengajarkan kepada kita dimana pada saat menyembelih hewan baik yang akan dijadikan bahan upacara maupun pesta selalu didahului oleh pengastawan/doa untuk kesucian roh hewan yang akan disembelih. Apabila akan menyembelih hewan (Ngelepas Patik Wenang), terlebih dahulu agar tercapainya kesucian (Sorga) baik yang akan disembelih maupun yang menyembelih serta tujuan dan sasaran dari pada penyelenggarannya, sebab pembunuhan merupakan perbuatan dosa (Imsa Karma), jika sebelum melakukan pembunuhan kita awali dengan permohonan maka dosa yang kita perbuat akan mendapatkan pengampunan dari hyang Maha Pencipta. = Yan noramangkana tan anemu rahayu sang amejah pati wenang ika. Demikanlah tersebut dalam Lontar Patik Wenang. = Apan maha petaka ngardha ingsa, tininda ring rat parasadhu melik, adoh mareng swargan paratre, sasar mareng tambra goh muka tembe. yang maksudnya : Sebab amatlah sengsaranya perbuatan seseorang yang menghianat, akan tercela di dalam dunia, dimana terasing bagi para bijaksana, jauhlah untuk sampai kealam sorga, ketika saat meninggal dunia kelak menderitalah dia jatuh ke lembah penderitaan. Demikian Sang Sutasoma menasihati Harimau dalam Kekawin gubahan Pujangga Mpu Tantular. Jadi apabila kita melakukan suatu yadnya dan penyembelihan terhadap hewan patutlah mengadakan pengelepasan tersebut, adapun doa/pengastawan yang diucapkan ketika akan menyembelih hewan berbeda menurut jenis hewannya. 1. Dwi Pada : hewan yang berkaki dua "Om Swasti swasti sarwa dewa bhuta suka predana purusha sang yoga ya namah, Om Yang Nama Swaha" Maksudnya : Bagi binatang sembelihan yang berkaki dua dan yang sejenisnya rohnya dikembalikan ke arah timur kehadapan Betara Iswara, dengan harapan kelak apabila numitis rohnya itu kedunia akan menjadi manusia yang sakti dan indah perawakanya, tak tercela dan selalu bisa bersedana (beramal) yuang baik serta sepanjang hidupnya selalu berpegangan pada Dharma. 2. Catur Pada : hewan berkaki empat "Om Swasti-swasti sarwa dewa bhuta suka predhana purusa sang yoga ya namah, Om Bang Namah Swaha. Maksudnya : Bagi binatang sembelihan yang berkaki empat seperti kerbau, sapi, babi dan sejenisnya rohnya dikembalikan ke arah selatan kehadapan Betara Brahma. 3. Asta Pada : hewan berkaki delapan "Om Swasti-swasti sarwa dewa bhuta suka predhana purusa sang yoga ya namah, Om Ung Namah Swaha. maksudnya : Bagi binatang sembelihan yang berkaki delapan seperti ketam, Udang dan sejenisnya rohnya dikembalikan ke arah Utara kehadapan Betara Wisnu. 4. Halaku - laku Dada : berjalan dengan Dada "Om Swasti-swasti sarwa dewa bhuta suka predhana purusa sang yoga ya namah, Om Tang Namah Swaha. Maksudnya : bagi binatang sembelihan yang berjalan dengan dada maka rohnya dikembalikan ke arah barat kehadapan Betara Mahadewa. 5. Sahang Samidha : kayu-kayu bakar "Om Swasti-swasti sarwa dewa bhuta suka predhan purusa sang yoga ya namah, Om Nang Namah Swahya. Maksudnya : bila menggunakan kayu bakar /menebang pohon roh kayu tersebut dikembalikan ke arah tenggara kehadapan betara Mahesora. 6. Daun-daunan "Om Swasti-swasti sarwa dewa bhuta suka predhana purusa sang yoga ya namah, Om Mang Namah Swaha. Maksudnya : bila menggunakan daun-daunan lebih lebih untuk kepentingan yadnya rohnya dikembalikan ke arah barat daya kehadapan Bethara Ludra. 7. Suku Tunggal : berkaki satu "Om Swasti-swasti sarwa dewa bhuta suka predhana purusa sang yoga ya namah, Om Sing namah Swaha Maksudnya : bagi penyembelihan binatang yang berkaki satu rohnya dikembalikan ke arah barat laut kehadapan bhatara Sangkara. 8. Durpada (......) "Om Swasti-swasti sarwa dewa bhuta suka predhana purusa sang yoga ya namah, Om Wang Namah Swaha. Maksudnya : apabila menyembelih binatang yang deyet (........) maka rohnya dikembalikan ke arah timur laut ke hadapan Bhatara Shambu. 9. Salwiring we : Jenis Ikan "Om Swasti-swasti sarwa dewa bhuta suka predhana purusa sang yoga ya namah, Om yang namah swaha, Ung Siwa nirmala namah swaha, Ong ong sada siwa nirmala dhirgaya nama swaha, Ong ong Prama Siwa Niroga namah swaha, Ong ong sama sampurna namah swaha. maksudnya : bila menyembelih segala jenis ikan rohnya dikembalikan ke arah tengah kehadapan Bhatara Siwa Selain dari pada doa/ pengastawa yang dilakukan pada waktu menyembelih hewan, maka upakara/bebanten sebagai alat untuk mmohonkan restu Hyang Widhi atas tercapainya kesucian roh hewan yang disembelih dan keselamatan si penyembelih. Adapun banten/upakara yang sederhana mungkin dalam memulai penyembelihan adalah : a. Banten akan menyembelih : sebuah canang sari, segehan kepel yang lengkap dengan tetabuhannya serta tirta yang dimohon di tugu/ sanggah. b. Bebangket pada daging yang telah terpotong-potong yang akan diolah : Isen, Jahe, Kunyit dan Minyak Kelapa. c. Doa akan mulai menyembelih : Ih Sudha malung, iki labaan sirane, aja sira agresianin bawi iki (binatang yg disembelih), matulak ta sira ring sida malung. Barulah mulai menyembelih. OLAH-OLAHAN. Telah diatur oleh para leluhur kita dari jaman dahulu bahwasanya jenis hidangan/olah-olahan yang terdapat dalam upacara adat Agama Hindu khususnya di Pulau Bali dapat dibeda-bedakan dalam tiga jenis : 1. Jenis Olahan yang Kering, dalam jenis ini kita dapati dalam bermacam-macam bentuk seperti Sesate, Gorengan, Brengkes, Urutan, Lempet dan Gubah. 2. Jenis Olahan yang Lembab, dalam jenis ini kita dapati bentuk seperti Lawar, Tum, Balung, Timbungan, Oret, Semuwuk. 3. Jenis Olahan yang Cair, dalam jenis ini kita dapati dalam bentuk kekomoh, Ares. Sesate : Walaupun disebut sesate, namun bukan semua sesate itu sama, baik namanya, ramuannya demikian pula rasanya. berbagai jenis sesate yang ada di Bali antarta lain : a) Sate Lembat atau Kreta Semaya, sate ini bahannya terdiri dari daging yang ditumbuk sehingga lumat, berisi gula aren, dan kelapa yang diparut dengan bumbu sebagai berikut : ragi, mica, ginten, tingkih, bawang merah, bawang putih, trasi, kulit jeruk purut, cabai, cekuh, kunyit, garam, santen. Tangkainya bambu raut lalu dililit. b) Sate Asem : dibuat dapri pada daging, kulit, semuanya terpotong potong, serta ditusuk dengan bambu raut yang runcing. c) Sate Pusut : bahannya dari hati yang direbus dipotong-potong lalu ditusuk dalam bambu raut yang runcing dan diisi tiga potong dalam satu tangkai. d) Sate Empol : Sate ini juga disebut sate Kwinda, yang bahannya adalah daging, urat setelah direbus lalu tusuk pada katiknya. e) Sate Kablet : Bahannya adalah daging dan kulit setelah direbus lalu dipotong-potong dan setelah ditusuk sate tersebut dililit dengan daging yang tertumbuk lumat lalu direbus. Gorengan : Olah-olahan Gegorengan ini tidaklah halnya seperti sate, melainkan hanya satu jenis, dimana daging, tulang, perut, hati, paru-paru, limpa, dan yang lainnya setelah dipotong-potong lalu digoreng diberi garam. Brengkes : Brengkes pada umumnya digoreng, untuk bumbu menyesuaikan dengan daging yang dipakai. - Brengkes Sapi Bumbunya : bawang putih, bawang merah, minyak kelapa, cekuh, tinggih, tumbah, cabai, mica, ginten, jahe, bangle, sere, garam. setelah diaduk lalu digoreng. - brengkes Babi bumbunya sama seperti brengkes Sapi hanya tidak diisi daun Ginten dan Bangle. - Brengkes Lele bumbunya :bawang merah, bawang putih, minyak kelapa,garam dan cabai. - Brengkes Lindung bumbunya : sama dengan bumbu brengkes sapi. Urutan : Urutan walaupun terdiri dari daging yang lembab seperti lemak/muluk dan daging tetapi karena cara memasaknya dengan cara menggoreng maka termasuk olahan kering. Urutan ini juga sering disebut dengan "lemah Pinanah". Adapun bahannya adalah : Usus Muda, daging dan muluk yang telah dipotong-potong. Bumbunya : bawang, jahe, isen, cekuh, ketumbar, sere tabia/cabai. Atau yang lebih lengkapnya dipakai base gede. Adapun yang disebut Kacengro yaitu urutan yang bumbunya terdiri dari bawang putih, cabai bun, mica, ginten, kancah kencur. Lempet : Lempet terdiri daripada : isi otak/polo, dicampur dengan daging, tulang muda, lalu ditumbuk. bumbunya baik dengan base gede. Adapun cara memasaknya yaitu setelah dibungkus dengan daun pisang yang menyerupai bantal lalu di panggang. Gubah : Gubah ini dibuat daripada kulit yang sedikit berisi lemak, kemudian diurap dengan kunyit yang lumat dan diberi garam secukupnya lalu digoreng setengah matang. Adapun besarnya Gubah ini adalah selebar telapak tangan, jika bahannya dari daging yang di iris-iris dicampur bumbu lalu dikeringkan maka disebut dengdeng. Lawar : Lawar ada bermacam-macam jenisnya menurut bahan dagingnya, demikian pula bumbunya. berbagai macam lawar yang terdapat dalam olahan adalah : - Lawar Tulen : lawar semacam ini terdiri dari daging paha mentah yang dilumat dengann metektek, kemudian dicampur dengan darah mentah, diisi serapah yaitu kulit direbus setengah matang kemudian diiris-iris tipis serta dicampur dengan bumbu yang lengkap. - Lawar Penyon : bahannya dari daging yang ditektek sangat lumatnya kemudian dicampur dengan kelapa yang diparut, sedeikit darah sehingga warnanya sedikit kemerahan, kadang kala dicampur dengan buah cempedak yang muda direbus dan ditektek pula, lalu dicampur dengan bumbu : bawang merah, bawang putih, cekuh, merica, asem limau, mba/bawang goreng. - Lawar Batu Rubuh/ Lawar Padmara : lawar ini adalah campuran dari lawar tulen dengan lawar Penyon, yang mana ditambah lagi dengan serapah dari daging yang diiris-iris dan kelapa yang digobed. - Lawar Petak : bahannya dari daging dan kulit yang telah matang lalu diiris-iris sangat lumatnya, lalu dicampur dengan kelapa yang diparut serta diberi santen kane( santen dari kelapa yang dipanggang), tetapi lawar ini tidak dikasi darah. - Lawar Pepahit/ lawar Subakti/Wisnu Murti yang mana bahannya terdiri dari daun-daunan dan buah buahan yang rasanya agak pahit seperti daun belimbing, buah paya yang sebelumnya direbus kemudian ditektek hingga lumat, setelah lumat dicampur dengan lawar petak, dan darah mentah sekedar dan diisi pula perut besar yang telah matang (betuko/kekondo) dengan bumbu : mica, ginten, tingkih, cabai, bawang putih, ketumbar, sere, isen, emba matang yang direbus api (tambus). Tum : Tum ini terbuat dari daging yang dicampur dengan tulang muda demikian pula urat yang ditumbuk hingga lumat lalu dicampur dengan kelapa yang diparut serta diberi bumbu lengkap. bungkusnya segitiga, jika dibungkus memanjang maka akan jadi berengkes. Balung : Balung atau bebalungan disebut juga jangan ulam, yang bahannya terdiri dari balung-balung yang dipotong-potong, kemudian diisi bumbu : Isen, bawang merah/putih, sere, ginten, gula bali, santen lalu di dadah (lablab). Timbungan : Timbungan menurut macam bumbunya ada dua macam : timbungan biasa yang bumbunya terdiri dari bawang merah/putih, gamongan, kemiri, cekuh, bangle, isen, ketumbar, merica, ginten, sere dan santen. Timbungan Kesatryan dengan bumbu seperti tersebut di atas lalu ditambah minyak kelapa dan daun jangan ulam. Oret : oret terbuat dari perut muda yang dicampur dengan tepung dan kuning telor serta bumbunya yang lengkap kemudian direbus/ dipanggang. Semuwuk : Semuwuk terbuat dari perut muda diisi hati dan tepung yang sudah tertumbuk alus dan lumat dicampur dengan santen kelapa dan diberi bumbu selengkapnya lalu direbus pada air mendidih. Kekomoh : Kekomoh disebut juga cobor yang bahan-bahannya dari darah yang mentah dicampur dengan hati dan daging yang lumat dan kadang dicampur pula dengan paru yang matang lalu diberi bumbu yang lengkap serta asam secukupnya kemudian diencerkan dengan air yang telah matang dan didinginkan. Ares : Ares bahannya dari batang pohon pisang muda, diiris-iris, dicampur pula dengan daging dan balung, setelah diisi bumbu lalu diberi air dan dilablab hingga mata

Kutipan dari blog ampura lupa namanya

MAKNA BEBANTENAN MAKNA BANTEN BANTEN PEJATI a. Daksina Alasnya memakai wakul / srembeng / katung yang terbuat dari janur / slepan / blarak, kemudian di dalamnya diisi tampak, uang, porosan / base tempel, beras secukupnya, sebutir kelapa yang telah dibersihkan, 7 buah kojong yang masing-masing berisi kluwek, kemiri, bumbu-bumbuan, kacang-kacangan, telor itik mentah 1, papeselan (5 jenis dedaunan seperti : daun salak, daun durian, daun nangka, daun manggis dan daun duku) dan buah-buahan (pisang). Kelapa disisipi benang berwarna putih, memakai sampyan payasan atau sampyan pusung, canang sari dan sesari daksina : adalah simbol stana Tuhan, simbol makro kosmos b. Peras Alasnya tamas / aledan / ceper, berisi kulit peras kemudian disusun di atasnya beras, benang dan base tempel serta uang. Diisi buah-buahan dan pisang secukupnya, kue, tumpeng 2 buah, rerasmen (lauk pauk) yang dialasi kojong rangkat, sampyan peras, canang sari peras adalah jenis banten permohonan agar upacara tersebut sukses (prasida) c. Soda / Ajuman Alasnya tamas / aledan : berisi buah, pisang, kue dan nasi berbentuk penek (bundar) 2 buah, rerasmen yang dialasi Tri Kona, sampyan plaus / petangas, canang sari Soda / ajuman dipakai sarana untuk memuliakan, mengagungkan Hyang Widhi dan lambang keteguhan / kokoh. d. Ketipat Kelanan Alas tamas / aledan / ceper berisi buah, kue dan pisang, ketupat 6 buah (1 kelan) rerasmen dialasi tri kona ditambah 1 butir telor mateng, sampyan plaus / petangas, lambang terkendalinya sadripu sehingga ada keseimbangan. e. Penyeneng / Tehenan / Pabuat Jenis jejaitan yang di dalamnya beruang tiga masing-masing berisi beras, benang, uang, nasi aon (nasi dicampur abu gosok) dan porosan adalah jejaitan yang berfungsi sebagai alat untuk nuntun, menurunkan prabhawa Hyang Widhi (antena receiver) Mantra : Oṁ kaki penyeneng nini panyeneng kajenengan iru sanghyang Brahma Wisnu Iswara Chandra Lintang terang gana Oṁ Shri ya namah swaha f. Pasucian/ Pangresikan Alas ceper yang di dalamnya berisi 7 buah tangkih kecil yang masing-masing tangkih berisi bedak (dari tepung), bedak kuning (tepung berwarna kuning), ambuh (kelapa diparut), kakosok (kue rengginang dibakar hingga gosong), daun kembang sepatu dirajang, pasta (asem,jeruk) dan minyak wangi. Di atasnya diisi takir dan aseban air cendana, dibuatkan sampyan payasan, sisir terbuat dari janur dan cerin dari janur. Mantra Pasucian/Pangresikan: Oṁ asta sastra empu sarining visesa Tepung tawar amunahaken angilangaken sahananing sebel kandel Cuntakaning pebhaktyaning hulun Oṁ sanut sang kala pegat Pegat rampung sahananing visesa Oṁ shri Devi bhatrimsa yogini ya namah Oṁ gagana murcha ya namah svaha. g. Segehan Alasnya aledan / ceper diisi 12 tangkih dan 1 trikona dan masing-masing berisi nasi dengan lauk pauk bawang, jahe, garam. Pejati Katur ring Sanghyang Catur Lokaphala : 1. Peras : kepada Sanghyang Iswara 2. Daksina : kepada Sanghyang Brahma 3. Tipat : kepada Sanghyang Wisnu 4. Soda : kepada Sanghyang Mahadewa h. Beberapa makna filosfis dalam pejati 1. Srembeng / wakul / srobong / katung adalah lambang Hukum Rta yaitu hukum abadi Tuhan 2. Tampak dara merupakan simbol keseimbangan baik makro kosmos maupun mikro kosmos 3. Porosan / base tumpel merupakan lambang dari konsep Tuhan sebagai Brahma (pinang), Wisnu (sirih), Iswara (kapur) dan Mahadewa (plawa) 4. Kelapa simbol pawitra (air keabadian / amertha) atau lambang alam semesta yang terdiri dari 7 lapisan sapta loka karena ternyata kelapa terdiri dari 7 lapisan dari kulit luar hingga air di dalamnya. 5. Kluwek/Pangi lambang pradhana / prakerti / unsur kebendaan / perempuan 6. Kemiri lambang purusa / unsur kejiwaan / laki-laki 7. Papeselan lambang Panca Dewata ; daun duku : Iswara; daun manggis : Brahma; daun durian : Mahadewa; daun salak: Wisnu; dan daun nangka : Siwa 8. Bumbu-bumbuan dan kacang-kacangan lambang sad rasa dan lambang kemakmuran 9. Beras lambang ibu pertiwi (Anantha Boga) 10. Benang pada daksina lambang naga Anantha Boga, Bhasuki dan Taksaka dalam proses pemutaran mandara giri untuk mencari amertha. Benang disini juga berarti alat/media penghubung antara pemuja dan yang dipuja 11. Telor mentah (itik) simbol awal dari kehidupan / getar-getar kehidupan, lambang bhuana alit. Telor terdiri dari 3 lapisan seperti pada manusia yaitu badan wadag, badan roh dan badan penyebab 12. Sesari pada daksina sebagai lambang saripati dari pekerjaan 13. Sampyan payasan / pusung / simbol dari konsep utpati, sthiti dan pralina (tri kona) 14. Aled peras / kulit peras untuk dapat berhasil diperlukan persiapan yaitu pikiran benar, ucapan benar, pandangan benar dan tujuan benar 15. Daun plawa lambang kesejukanè Bunga lambang cetusan perasaanè Bija benih-benih kesucianè Ari lambang pawitra / amerthaè Api saksi dan pendetanya Yajñaè 16. Tri kona : upti, sthiti, pralina 17. Tamas : cakra atau perputaran hidup atau windu (simbol kekosongan yang murni/ananda) 18. Ceper : catur marga (bhakti, karma, jnana dan raja marga) i. Mantra Pejati ( Daksina, Ajuman, Katipat Kelanan) Oṁ Puspa Danta ya namah svaha (dalam hati) Oṁ Siva sutram yajna pavitram paramam pavitram Prajapatir yogayusyam Balam astu teja paranam Guhyanam triganam trigunatmakam Oṁ namaste bhagavan Agni Namaste bhagavan Harih Namaste bhagavan Isa Sarva bhaksa utasanam Tri varna bhagavan Agni Brahma Visnu Mahesvara Saktikam pastikanca raksananca saiva bhicarukam. Oṁ Paramasiva Tanggohyam Siva Tattva Parayanah Sivasya Pranata Nityam Candhisaya Namostute Oṁ Naividyam Brahma Visnuca Bhoktam Deva Mahesvaram Sarva Vyadi Na Labhate Sarva Karyanta Siddhantam. Oṁ Jayarte Jaya mapnuyap Ya Sakti Yasa Apnoti Siddhi Sakalam Apnuyap Paramasiva Labhate ya namah svaha j. Mantra Canang Sari Oṁ Puspa Danta ya namah svaha (dalam hati) Oṁ tamolah panca pacara guru paduka bhyo namah swaha Oṁ shri Deva Devi Sukla ya namah svaha k. Mantra ngayabang upakara Oṁ Puspa Danta ya namah svaha (dalam hati) Oṁ Deva Bhatyam Maha Sukham Bojanam Parama Saamerthan Deva Baksya Mahatustam Boktra Laksana Karanam Oṁ Bhuktyantu Sarva Ta Deva Bhuktyantu Triloka Natha Sagenah Sapari Varah Savarga Sada Sidha Sah Oṁ Deva Boktra Laksana ya namah Deva Tripti Laksana ya namah Treptya Paramesvara ya namah svaha l. Mantra Peras Oṁ Puspa Danta ya namah svaha (dalam hati) Oṁ Pañca wara bhawet Brahma Visnu sapta wara waca Sad wara Isvara Devasca Asta wara Śiva jnana Oṁ kāra muktyate sarva peras prasidha siddhi rahayu ya namah svaha. m. Pemercikan Tirtha ke semua upakara Oṁ Pratama Sudha, Dvitya Sudha Tritya Sudha Caturti Sudha Pancami Sudha Sudha Sudha Variastu Ya namah svaha. Oṁ Puspam Samarpayami Oṁ Dupam Samarpayami Oṁ Toyam Samarpayami Sarva Baktyam Samarpayami n. Mantra Segehan Oṁ Puspa Danta Ya namah svaha (dalam hati) Oṁ Atma Tattvātma suddha mām svaha Oṁ svasti-svasti sarva bhūta suka pradhana ya namah svaha Oṁ Śāntiḥ Śāntiḥ Śāntiḥ Oṁ . o. Mantra Metabuh Arak Berem Oṁ ebek segara, ebek danu Ebek banyu premananing hulun ya namah swaha. DAKSINA Daksina berarti Brahma, dan Brahma menjadi Brahman, yaitu Sang Hyang Widhi. Beberapa komponen pembentuk daksina antara lain : a. Bebedogan ( tempatnya ) Merupakan simbul bumi, cerminan dari Sang Hyang Ibu Pertiwi b. Tapak dara, yang berada didasar bedog Merupakan simbul Swastika sebagai sumber pengatur seisi alam, menjadi cerminan Sang Hyang Rwa Bineda, sehingga kelihatan ada siang ada malam, ada laki – laki ada perempuan, baik dan buruk. c. Beras Merupakan simbul udara sebagai cerminan Sang Hyang Bayu d. Pangi Merupakan simbul sarwa pala bungkah cerminan Sang Hyang Boma e. Pepeselan ( daun – daunan ) Sebagai cerminan Sang Hyang Sangkara f. Gegantusan ( biji – bijian yang dibungkus daun pisang kering ) Merupakan simbul segala biji – bijian alam semesta, sebagai cerminan adanya Jiwatman ( Roh ) g. Tingkih Merupakan simbul bintang atau “ nata “ yalni cerminan Sang Hyang Parama Siwa h. Telur itik Merupakan simbul bulan atau “ ardha Chandra” yakni cerminan Sang Hyang Siwa i. Kelapa Merupakan simbul matahari atau “windu ” yakni cerminan Sang Hyang Sadha Siwa j. Uang kepeng bolong Merupakan simbul “ windu sunia” yakni cerminan “sangkan paran” k. Benang putih Merupakan simbul awan, yakni cerminan Sang Hyang Aji Aksara l. Porosan Merupakan simbul silih asih, cerminan dari Sang Hyang Semarajaya Semara Ratih m. Canang sari Merupakan simbul asta aiswarya yaitu Sang Hyang Dewata Nawa Sanga. Sehingga pada dasarnya Daksina merupakan kekuatan pesaksi yang disebut Tria Dasa Saksi ( Tutur Tapeni Yadnya ) Om Swastyastu, Om Agni Wijaya Jagatpati ya namaha, Om Visvadeva ya namaha, Om Aim Kalim namo Durgayai namaha, Om Shri Guru Bhyo namah Harih Om, Namame smaranam padame sharanam A. Pendahuluan Seiring dengan pesatnya perkembangan Iptek dan gencarnya penyiaran agama baik yang dilakukan oleh PHDI, Departemen Agama, LSM, Organisasi Kepemudaan, Banjar dan Desa Adat, membuat perkembangan umat Hindu terutama dari sisi kualitas semakin menggembirakan. Hal ini tampak dengan semarak diadakannya acara-acara keagamaan baik dalam bidang ritual, kesenian, seminar keagamaan, munculnya kelompok – kelompok kajian Veda, sekeha pesantian, kelompok meditasi dan sebagainya. Kondisi ini menggambarkan adanya penyadaran akan eksisitensi sebagai hamba Hyang Widhi, dengan selalu mendekatkan diri kepadaNya melalui jalan Bhakti, dengan melakukan pemujaan ataupun dengan Upacāra yajña. Namun di balik semua kemeriahan dan ketaatan itu, belum kita rasakan ada dampaknya terhadap kehidupan Umat Hindu secara umum, justru semakin banyaknya konflik yang terjadi, rasa kebersamaan, kesetaraan dan toleransi di antara sesama umat Hindu semakin menipis, masih adanya diskriminasi dalam kehidupan beragama (apalagi di Bali), dengan dalih ”Aywa Wera” dan masih banyaknya oknum yang mengobjekkan umatnya sendiri, dengan memanfaatkan berbagai kelemahan dan ketidaktahuan umat, demi keuntungan pribadi dan kelompok mereka sendiri, dengan mengatakan ’kamu tidak boleh membuat ini ataupun itu, karena kamu orang sudra/panjak, berasal dari non- Bali dan tadinya non- Hindu, kamu tidak boleh memada-mada’. Berbeda dari apa yang terdapat dalam susastra Veda, bahwa semua umat berhak dan wajib mengetahui, meresapi, menghayati dan melaksanakan segala kewajiban agama sebagai sebuah Dharma sesuai dengan guna dan swadharmanya masing-masing, terlepas dari siapa mereka, apa warna kulitnya, dari kelahiran mana mereka berasal, apa jabatannya, semuanya harus tunduk kepada hukum hukum agama, baik Sruti Smrti, Sila, Acara dan Ātma nastusti (Manawadharmasastra, II.6). Ajaran Agama tidak cukup hanya diketahui dan dimengerti saja, harus dibarengi dengan penghayatannya, dari semua itu pengamalan dalam bentuk perilaku sehari-hari kita di dalam bermasyarakat itulah yang paling utama. Semakin sering kita sembahyang, beryajña, membuat Upakāra hendaknya kita dapat meningkatkan sikap, moral dan perilaku kita menuju kualitas yang lebih baik dan benar sesuai dengan kaidah Dharma. Karena setiap Upacāra dan Upakāra yang kita buat pada dasarnya merupakan penjabaran ajaran agama dan memiliki hakekat sebagai pembelajaran diri, dalam menata hidup dan kehidupan sehingga dapat meniti ke tujuan utama kelahiran ini, yaitu ”Mokshartam Jagadhita” Setiap Upacāra (proses untuk mendekatkan diri dengan Brahman) agama selalu disertai dengan Upakāra (sarana yang dipakai sebagai media pemujaan Brahman), baik dalam wujud kecil (sederhana/kanistama), menengah (madhyama) maupun besar (mewah/uttama), hendaknya dibarengi dengan memahami akan tujuan Upacāra tersebut dan memahami makna Upakāra nya. Oleh karena itu Upacāra dan Upakāra harus mengacu kepada sastra-sastra agama, bukan hanya dilandasi dengan ”Gugon Tuwon, Anak Mula Keto” Banten dalam agama Hindu adalah bahasa agama. Ajaran suci Veda sabda suci Tuhan itu disampaikan kepada umat dalam berbagai bahasa. Ada yang meggunakan bahasa tulis seperti dalam kitab Veda Samhita disampaikan dengan bahasa Sanskerta, ada disampaikan dengan bahasa lisan. Bahasa lisan ini sesuai dengan bahasa tulisnya. Setelah di Indonesia disampaikan dengan bahasa Jawa Kuno dan di Bali disampaikan dengan bahasa Bali. Disamping itu Veda juga disampaikan dengan bahasa Mona. Mona artinya diam namun banyak mengandung informasi tentang kebenaran Veda dan bahasa Mona itu adalah banten. Dalam Lontar Yajña Prakrti disebutkan: “ sahananing bebanten pinaka raganta tuwi, pinaka warna rupaning Ida Bhatara, pinaka anda bhuana” artinya: semua jenis banten (upakāra) adalah merupakan simbol diri kita, lambang kemahakuasaan Hyang Widhi dan sebagai lambang Bhuana Agung (alam semesta) Demikian pula dalam Lontar Tegesing Sarwa Banten, dinyatakan: “ Banten mapiteges pakahyunan, nga; pakahyunane sane jangkep galang” Artinya: Banten itu adalah buah pemikiran artinya pemikiran yang lengkap dan bersih. Bila dihayati secara mendalam, banten merupakan wujud dari pemikiran yang lengkap yang didasari dengan hati yang tulus dan suci. Mewujudkan banten yang akan dapat disaksikan berwujud indah, rapi, meriah dan unik mengandung simbol, diawali dari pemikiran yang bersih, tulus dan suci. Bentuk banten itu mempunyai makna dan nilai yang tinggi mengandung simbolis filosofis yang mendalam. Banten itu kemudian dipakai untuk menyampaikan rasa cinta, bhakti dan kasih. B. Tujuan Yajña Tujuan pokok Yajña, antara lain: 1. Untuk menjabarkan dan menyebarluaskan ajaran Veda yang bersifa rahasia 2. Sebagai sarana menyeberangkan Ātma untuk mencapai Moksha 3. Sebagai sarana untuk menyampaikan permohonan kepada Hyang Widhi. 4. Sebagai sarana untuk menciptakan keseimbangan (tri hita karana). 5. Sebagai sarana untuk menciptakan suasana kesucian dan penebusan dosa. 6. Sebagai sarana pendidikan yang bersifat praktis (Ida Pandita Mpu Jaya Wijayananda, 2004: 11). C. Landasan Yajña: Setiap Yajña yang ingin dibuat/diadakan harus memenuhi kriteria yang terdapat dalam Veda, hal ini dimaksudkan agar yajña tersebut berkualitas Śāttvam, karena hanya kualitas yajña yang Śāttvamlah yang dapat menghantarkan orang yang mengadakan yajña mencapai kemanunggalan dengan Brahman, adapun landasan yajña sesuai dengan Manavadharmasastra, VII.10, yaitu: 1. Iksa; tujuan yang ingin dicapai melalui yajña tersebut harus jelas 2. Sakti; harus disesuaikan dengan tingkat kemampuan yang dimiliki, baik kualitas SDM, maupun pendanaannya, jangan sampai meninggalkan hutang. 3. Desa; disesuaikan dengan tempat dimana yajña itu akan dilakukan, kearifan daerah setempat (lokal genius) harus dihargai sehingga tidak ada kesan pemaksaan 4. Kala; situasi atau keadaan wilayah, masyarakatnya juga harus diperhatikan sehingga yajña tersebut efektif dan efisien serta bermanfaat positif 5. Tattva; harus merujuk pada ketentuan sastra agama baik Sruti, Smrti, maupun Nibandha. Disamping hal tersebut di atas, agar yajña tersebut berkualitas Śāttvam harus memenuhi standar/mutu seperti apa yang telah ditetapkan dalam Bhagavadgītā, XVII. 11-14, yaitu: 1. Sraddha; dilakkan dengan penuh keyakinan dan kemantapan hati 2. Sastra; sesuai dengan petunjukk sastra 3. Gita; terdapat lagu-lagu pujian kepada Hyang Widhi 4. Mantra;terdapat doa-doa pujaan yang dihaturkan untuk memeuliakan Hyang Widhi 5. Lascarya; dilakukan dengan penuh kesadaran dan ketulusan hati 6. Daksina; pemberian penghormatan berupa rsi yajña kepada Sang Sadhaka 7. Annaseva; menjamu dengan senang dan tulus setiap tamu dengan makanan dan minuman yang menyehatkan badan dan rohani 8. Nasmita; tidak ada unsur pamer atau jor-joran. E. Tujuan Upacāra Secara umum tujuan diadakanya Upacāra menyangkut empat hal, yaitu: 1. Yang bersifat umum dan kepercayaan adalah: untuk melenyapkan pengaruh yang kurang baik; mengundang atau menambahkan pengaruh-pengaruh yang baik dan memberikan kekuatan; untuk memperoleh tujuan hidup sekala-niskala; sebagai pernyataan umum yang dimaksud menurut tujuan Upacāra itu sendiri. 2. Sebagai pembinaan moral (budhi) sehingga memungkinkan berkembangnya sifat-sifat: welas asih dan pengampunan; tahan uji; bebas dari iri hati; meningkatnya kesucian rohani; wajar dan tenang dalam menghadapi segala cobaan hidup; suka berderma dan tidak rakus/lobha. 3. Untuk pengembangan kepribadian dari Avidya (kegelapan bati) menuju Vidya (memiliki pengetahuan) menuju Vijñana (bijaksana) menuju Kstrajña (kesadaran illahi). 4. Untuk pengembangan spiritual sehingga terbebasnya Ātma dari belenggu samsara atau manunggaling kawulo lan gusti F. Fungsi Upakāra Secara Umum 1. Sebagai linggih dan perwujudan Hyang Widhi 2. Sebagai sarana cetusan angayu bagia (persembahan) 3. Seagai sarana permohonan 4. Sebagai sarana pensucian lahir-batin G. Upakāra yang dipakai secara rutin 1. HANGKEN MASAIBAN Babanten: ngayat rikale wusan meratengan, antuk ajengan lan saruntutannya saha ngangga dupa/asep, genahe mebanten ring palinggih-palinggih pamekas ring Ide Hyang Brahma, Visnu, Hyang Sri, Bhatara Guru, miwah sane lian-lianan; patut kalaksana yang satunggil wuwusan meratengan, mesaiban dumun wawu raris dados mejengan, ngangge mantre: OM SANG BHUTA PRETHA YA NAMAH 2. HANGKEN KLIWON: Maturan ring genah-genah suci : canang genten lemgawangi, canang sari. Mesegah kepelan putih, ring natar merajan, katur ring Bhuta bucari, ring natar pekarangan mesegah pateh katur ring Sang Kala Bhucari, ring dengen/lawang taler mesegah pateh katur ring Hyang Dhurga Bhucari. 3. HANGKEN KAJENG KLIWON: Mesegeh kepelan warna tiga (putih, barak, selem), genahe masegeh pateh kadi nuju kaliwon, maweweh maturan ring palinggih-palinggih pengijeng sane wenten. 4. HANGKEN PURNAMA: Maturan ring Hyang Ratih : yan nuju sasih karo, Kasa, Katiga, Kalima, Kaenem, Kapitu, Kawulu, Kasanga, Jyestha, Sadha: Canang genten, lengawangi-buratwangi, canang sari, canang pareresikan, canang payasan, masegeh segehan kepelan putih .Muang yan sasih kalima maweweh maturan penek kuning lan cangan raka. Masegeh cacahan putih, utamannya antuk segehan agung, genahe masegeh patah kadi ring ajeng, maweweh ring kahyangan-kahyangan manut amongan. 5. HANGKEN TILEM: Yang nuju sasih kasa, Karo, Katiga, Kapat, Kalima, Kadasa, Jyestha muang Sadha, maturan ring Hyang Surya: Canang genten lengawangi-buratwangi, cangan sari pabersihan, canang payasan, penek kuning, cangan raka, yan nuju sasih Kaenem aturane maweweh : manut onggahan ring bhuta-yajña. 6. HANGKEN TILEM KAPITU: Siva Ratri sajabaning kadi ring ajeng, mawuwuh maturan pangabaktian ring Ida Hyang Siva saha upakāra : sekar bang putih ireng lan kawangen majinah 11 medaging daun bila 6 bidang. 7. HANGKEN TILEMING SASIH KAENEM, KAWULU: Sinalih tunggil ring Tilem inucap, ngawentenang Bhuta yajña, sane mawasta nanggluk merana, nganggen caru sakasidan, maka serana nunas karahajengan sajeroning kahuripan lan selanturnya, pangastawa ring Hyang Ludra maweweh suci asoroh jangkep lan sesayut-sesayut byakala. 8. HANGKEN TILEMING KASANGA: Ngelaksanayang tawur Kasanga paling alit antuk caru manca sato, tan sejeroning dese pakarangan manut sakasidan desa punika, ring pakarangan masegeh kepelan mawarna tiga, sagehan nasi sasab 108 tanding lan segehan agung ; caru punika katur ring Sang Bhuta Kala, ring Sang Kala Raja, nasi kepel sane mawarna lima, katur ring sang parabalan Sang Bhuta Kala Raja Sari, genah mecaru ring pempatan. 9. HANGKEN PAGER WESI: Maturan ring Hyang Iswara/ring genah-genah suci: canang sari, canang maraka lan sasayut pageh urip. 10. HANGKEN TUMPEK LANDEP: Maturan ring Hyang Pasupati : canang raka, canang sari, sesayut jayeng perang, saha pangodalan senjata minakadi : tumbak, keris miwah sekancan punika. 11. HANGKEN GALUNGAN: Maturan ring Hyang Paramestiguru : canang meraka, canang canang lengawangi-buratwangi, penek, pasucian, sodan, banten guru, lan pasuguh lianan sakasidan, saha memenjor jangkep madaging pala bungkah-pala gantung raka matah-lebeng. 12. HANGKEN KUNINGAN: Maturan ring Hyang Paramestiguru; canang wangi-wangi, canang pasucian, cangan raka, sodan, penek kuning maulam kuning taluh, ring penataran ngaturang segehan ring sang Bhuta Galungan sareng ring para iringan Idane suri, nanging maturan paling lambat tajeg Surya mangda sampun puput. Ring angga sarira natab sesayut prayascita, segehan kuning, panyeneng maka pangenteg bayu – sabda – idep. 13. HANGKEN TUMPEK WARIGA/TUMPEK BUBUH: Maturan ring Hyang Sangkara; canang wangi-wangi, bubuh gendar, peras tepeng raka-raka, panyeneng genahe ngilehang ring tegal ring sawah 14. HANGKEN TUMPEK UYE: Tumpek puniki pawotonan sarwa ubuh-ubuhan ring Hyang Ludra : canang raka, katipat bagia, balayag paneneng, tebusan sida malungguh, sano kawidhi-widananin sakancan ubuhan-ubuhan minakadi :ayam, banteng, paksi, miwah sakancan punika. 15. HANGKEN TUMPEK WAYANG: Maturan ring Hyang Iswara: canang raka, canang wangi-wangi, pasucian, peras ajengan, sasayut pala kerti, sarengang ring pangodalan sarwa tatangguran minakadi : gong, gambang, angklung, wayang, gender miwah sekancan punika. 16. HANGKEN SANISCARA UMANIS WATUGUNUNG: Maturan ring Hyang Saraswati; suci peras daksina, penek, kembang payas, sasayut saraswati, raka-raka, canang wangi-wangi, puniki katur ring pustaka-pustaka ring pangodalan sakasidan. 17. HANGKEN REDITE PAING SINTA/BANYU PINARUH: Maturan ring Hyang Saraswati : asuci laksana, cangan unggahan masirat toya anyar. 18. HANGKEN COMA PON SINTA/COMA RIBEK: Maturan ring Hyang Sriamertha : odalan beras : canang burat wangi, canang raka, beras kuning, tobasan amerta rawuh sai. 19. HANGKEN ANGGARA WAGE SINTA/SABUH MAS: Maturan ring Hyang Mahadeva : odalan sarwa berana : canang burat wangi, canang raka, beras kuning, tebasan bagia satata sai. 20. HANGKEN REDITE UMANIS UKIR: Maturan ring Hyang Guru : canang burat wangi, tebasan pageh urip. 21. HANGKEN ANGGARA KLIWON KULANTIR: Maturan ring Hyang Mahadeva : canang genten, segehan kepel putih, soda putih kuning. 22. HANGKEN ANGGARA KLIWON JULUNGWANGI: Maturan ring Hyang Sri :canang genten. 23. HANGKEN WERASPATI WAGE SUNGSANG/SUCI MANIK JALA: Maturan ring Hyang Pawitra : pararebuan, sodan, canang genten, segehan agung, ring lebuh ring natar pakarangan, ring natar pamrajan segehan cacan. 24. HANGKEN SUKRA KLIWON SUNGSANG/SUCI MANIK BALI : Maturan ring Hyang pawitra : parerebuan, sodan, cangan genten, segehan agung ring lebuh, ring pamarajan ring natar pakarangan segehan cacan. 25. HANGKEN REDITE PAING DUNGULAN/PANYSEKEBAN Maturan ring pemayung ring sang Butha amangku rat, ring sang butha kala dungulan saha Upakāra : segehan manca warna tiga tanding. 26. HANGKEN COMA PAING DUNGULAN/PANYAJAAN GALUNGAN Maturan ring Hyang Kala tiga : segehan manca warna tiga tanding, genahe maturan ring lebuh, ring natar sanggah, ring natar pakarangan, banten mapamayuh sekadi ring ajeng. 27. HANGKEN ANGGARA WAGE DUNGULAN/PANAMPAHAN GALUNGAN Maturan ring Hyang Kala tiga,kadi ring ajeng : sodan, pabyakalan, tebasan galungan, panyeneng lan canang gentan. 28. HANGKEN WERESPATI UMANIS DUNGULAN/MANIS GALUNGAN Maturan ring Hyang Dharma : banten penganyaran, katipat maulam sakasidan, canang genten, genahe maturan ring bale miwah ring pamerajan. 29. HANGKEN SUKERA PAING DUNGULAN/PANGEREBAGAN Maturan ring Hyang Widhi : suwarnaning katipat maulam sukasidan, canang genten meraka tape. 30. HANGKEN REDITE WAGE KUNINGAN/ULIHAN JAWA Maturan ring Hyang Pramesti Guru : sodan, segehan cacan, canang genten 31. HANGKEN SOMA KLIWON KUNINGAN/ULIHAN BALI: Maturan ring Htyang Pramwsti Guru : Sang butha Galungan : canang burat wangi, canang genten, sodan, segehan kepel. 32. HANGKEN SUKERA WAGE KUNINGAN/PENAMPAHAN KUNINGAN: Maturan ring sang Kala Galungan : mapasuguh jajaron matah, canang genten, sodan maulam sukasidan. 33. HANGKEN BUDHA KLIWON PAHANG/PEGAT WAKAN Maturan ring Hyang Licin : canang burat wangi, canang sari, segehan kepel. 34. HANGKEN SUKERA WAGE WAYANG/KALA PAKSA Maturan ring Maha Kala: Bayakalan Linggian maselat nganggen pandan. 35. HANGKEN BUDHA WAGE KELAWU: Maturan ring Hyang Sedhana, ngodalin seraja Berana : canang lenga-wangi-buratwangi, tebasan bagia sotata suci. 36. HANGKEN SUKRA UMANIS KELAWU: Maturan ring Hyang Sri ngodalin pantun canang burat wangi, pangeresikan, sodan, tebasan amerta rawuh sai. (No.1 s/d 36 bersumber dari Lontar Mpu Lutuk dan Lontar Sundari Gama; Koleksi Pribadi) H. Cara Membuat Dan Makna Filosofis Beberapa Upakāra : 1. CANANG SARI ”Canang sari inggih punika sarin kasucian kayun bhakti ring Hyang Widhi tunggal. Napkala ngaksara kahiwangan-kahiwangan”.- Canang sari yaitu inti dari pikiran dana niat yang suci sebagai tanda bhakti/hormat kepada Hyang Widhi ketika ada kekurangan saat sedang menuntut ilmu kerohanian (lontar Mpu Lutuk Alit). Canang sari adalah suatu Upakāra /banten yang selalu menyertai atau melengkapi setiap sesajen/persembahan, segala Upakāra yang dipersiapkan belum disebut lengkap kalau tidak di lengkapi dengan canang sari, begitu pentingnya sebuah canang sari dalam suatu Upakāra /bebanten. Apakah sebenarnya makna yang terkandung dalam sebuah canang sari?. Canang sari sebagai lambang angga sarira serta hidup dan kehidupan. Yaitu: ü Ceper. Ceper adalah sebagai alas dari sebuah canang, yang memiliki bentuk segi empat. Ceper adalah sebagai lambang angga-sarira (badan), empat sisi dari pada ceper sebagai lambang/nyasa dari Panca Maha Bhuta, Panca Tan Mantra, Panca Buddhindriya, Panca Karmendriya. Keempat itulah yang membentuk terjadinya Angga-sarira (badan wadag) ini. ü Beras. Beras atau wija sebagai lambang/nyasa Sang Hyang Ātma , yang menjadikan badan ini bisa hidup, Beras/wija sebagai lambang benih, dalam setiap insan/kehidupan diawali oleh benih yang bersumber dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang berwujud Ātma . Ceper sebagai lambang/nyasa angga-sarira/badan tiadalah gunanya tanpa kehadiran Sang Hyang Ātma . Tak ubahnya bagaikan benda mati, yang hanya menunggu kehancurannya. Maka dari itulah di atas sebuah ceper juga diisi dengan beras, sebagai lambang/nyasa Sang Hyang Ātma . Maka dari itulah hidup kita di belenggu oleh Citta dan Klesa, Ātma menimbulkan terjadinya Citta Angga-sarira (badan kasar) menimbulkan terjadinya klesa, itulah yang menyebabkan setiap umat manusia memiliki kelebihan dan kekurangannya. ü Porosan. Sebuah Porosan terbuat dari daun sirih, kapur/pamor, dan jambe atau gambir sebagai lambang/nyasa Tri-Premana, Bayu, Sabda, dan Idep (pikiran, perkataan, dan perbuatan). Daun sirih sebagai lambang warna hitam sebagai nyasa Bhatara Visnu, dalam bentuk tri-premana sebagai lambang/nyasa dari Sabda (perkataan), Jambe/Gambir sebagai nyasa Bhatara Brahma, dalam bentuk Tri-premana sebagai lambang/nyasa Bayu (perbuatan), Kapur/Pamor sebagai lambang/nyasa Bhatara Iswara, dalam bentuk Tri-premana sebagai lambang/nyasa Idep (pikiran). Suatu kehidupan tanpa dibarengi dengan Tri-premana dan Tri Kaya, suatu kehidupan tiadalah artinya, hidup ini akan pasif, karena dari adanya Tri-premana dan Tri Kaya itulah kita bisa memiliki suatu aktivitas, tanpa kita memiliki suatu aktivitas kita tidak akan dapat menghadapi badan ini. Suatu aktivitas akan terwujud karena adanya Tri-Premana ataupun Tri-kaya. ü Tebu dan pisang. Di atas sebuah ceper telah diisi dengan beras, porosan, dan juga diisi dengan seiris tebu dan seiris pisang. Tebu atapun pisang memiliki makna sebagai lambang/nyasa amrtha. Setelah kita memiliki badan dan jiwa yang menghidupi badan kita, dan tri Pramana yang membuat kita dapat memiliki aktivitas, dengan memiliki suatu aktivitaslah kita dapat mewujudkan Amrtha untuk menghidupi badan dan jiwa ini. Tebu dan pisang adalah sebagai lambang/ nyasa Amrtha yang diciptakan oleh kekuatan Tri Pramana dan dalam wujud Tri Kaya. ü Sampian Uras. Sampian uras dibuat dari rangkaian janur yang ditata berbentuk bundar yang biasanya terdiri dari delapan ruas atau helai, yang melambangkan roda kehidupan dengan Astaa iswaryanya/delapan karakteristik yang menyertai setiap kehidupan umat manusia. Yaitu : Dahram (Kebijaksanaan), Sathyam (Kebenaran dan kesetiaan), Pasupati (ketajaman, intelektualitas), kama (Kesenangan), Eswarya (kepemimpinan), Krodha (kemarahan), Mrtyu (kedengkian, iri hati, dendam), Kala ( kekuatan). Itulah delapan karakteristik yang dimiliki oleh setiap umat manusia, sebagai pendorong melaksanakan aktivitas, dalam menjalani roda kehidupannya. ü Bunga. Bunga adalah sebagai lambang/nyasa, kedamaian, ketulusan hati. Pada sebuah canang bunga akan ditaruh di atas sebuah sampian uras, sebagai lambang/nyasa di dalam kita menjalani roda kehidupan ini hendaknya selaludilandasi dengan ketulusan hati dan selalu dapat mewujudkan kedamaian bagi setiap insan. ü Kembang Rampai. Kembang rampai akan ditaruh di atas susunan/rangkaian bunga-bunga pada suatu canang, kembang rampai memiliki makna sebagai lambang/nyasa kebijaksanaan. Dari kata kembang rampai memiliki dua arti, yaitu: kembang berarti bunga dan rampai berarti macam-macam, sesuai dengan arah pengider-ideran kembang rampai di taruh di tengah sebagai simbol warna brumbun, karena terdiri dari bermacam-macam bunga. Dari sekian macam bunga, tidak semua memiliki bau yang harum, ada juga bunga yang tidak memiliki bau, begitu juga dalam kita menjalani kehidupan ini, tidak selamanya kita akan dapat menikmati kesenangan adakalanya juga kita akan tertimpa oleh kesusahan, kita tidak akan pernah dapat terhindar dari dua dimensi kehidupan ini. Untuk itulah dalam kita menata kehidupan ini. Untuk itulah dalam kita menata kehiupan ini hendaknya kita memiliki kebijaksanaan. ü Lepa. Lepa atau boreh miyik adalah sebagai lambang/nyasa sebagai sikap dan prilaku yang baik. Boreh miyik/lulur yang harum, lalau seseorang memaki lulur, pasti akan dioleskan pada kulitnya, jadi lulur sifat di luar yang dapat disaksikan oleh setiap orang. Yang dapat dilihat ataupun disaksikan oleh orang lain adalah prilaku kita, karena prilakunyalah seseorang akan disebut baik ataupun buruk, seseorang akan dikatakan baik apabila dia selalu berbuat baik, begitu juga sebaliknya seseorang akan dikatakan buruk kalau di selalu berbuat hal-hal yang tidak baik. Boreh miyik sebagai lambang/nyasa perbuatan yang baik. ü Minyak wangi. Minyak wangi/miyik-miyikan sebagai lambang/nyasa ketenangan jiwa atau pengendalian diri, minyak wangi biasanya diisi pada sebuah canang. Sebagai lambang/nyasa di dalam kita menata hidup dan kehidupan ini hendaknya dapat dijalankan dengan ketenangan jiwa dan pengendalian diri yang baik, saya umpamakan seperti air yang tenang, di dalam air yang kita akan dapat melihat jauh ke dalam air, sekecil apapun benda yang ada dalam air dengan gampang kita dapat melihatnya. Begitu juga dalam kita menjalani kehidupan ini, dengan ketenangan jiwa dan pengendalian diri yang mantap kita akan dapat menyelesaikan segala beban hidup ini. Canang adalah pada dasarnya sebagai wujud dari perwakilan kita untuk menghadap kepada-Nya. Kalau kita dapat meresapi dan menghayati serta melaksanakannya dalam kehidupan sehari-hari, seperti apa yang terkandung dalam makna Canang sari di atas, pasti bhakti kita akan diterima oleh Ida Sang Hyang Widhi Wasa, dan kita dapat mengarungi kehidupan ini dengan damai sejahtera sekala niskala. Karena ketaqwaan seseorang beragama bukanlah dinilai dari seringnya mereka sembahyang atau menghaturkan persembahan yang mewah-mewah, melainkan sejauh mana mereka dapat merealisasikan dalam bentuk prilakunya dalam bermasyarakat. Karena suatu ajaran Agama tidak hanya cukup untuk diresapi ataupun dihayati saja, melainkan harus dipraktekan dalam kehidupan nyata sehari-hari di dalam masyarakat. 2. CANANG GENTEN: Metaled antuk ceper, wyadin marupa kadi reringgitan, taledanne kasusunin antul plawa, porosan antuk sedah (sirih0, madaging apuh (kapur), lan jambe (pinang) mategul antuk talin porosan, susunin wadah lengis, sekar lan pandan arum. “Suksamannya panunggalan kayun suci jagi parek ring Hyang Widhi Brahma, Visnu, Iswara, punika saranane , jambe-apuh lan sirih” – Maknanya yaitu sebagai wujud penyatuan pikiran dan niat yang suci karena akan menghadap Hyang Widhi dalam prabhawa sebagai Brahma, Visnu, Iswara, inti persembahannya adalah pinang, kapur dan sirih.( Lontar Mpu Lutuk Alit) 3. CANANG LENGA WANGI: Campuran minyak kelapa ring adeng, miyik-miyikan minyak ireng, campurin malem lan menyan, minyak putih burat wangi, campurin kelapa ring akah cendana, menyan, majegahu, seranane minakadi menyan majegahu lan cendana mateges sang Tri Purusa. 4. CANANG NYAHNYAH GRINGSING: Dasar antuk ceper madaging jaja kakiping, pisang mas, nyahnyah gringsing (melakar antuk injin menyahnyah) mabungkus antuk tangkih do keraras, madaging porosan, wadah uras lan sekar. 5. CANANG GANTAL: Masaih ring Canang Genten, maweweh lekesan kekalih (2), matusuk antuk serat wyadin mategul antuk talin porosan, duwur porosanne madaging wadah uras lan sekar. 6. CANANG TUBUNGAN: Pateh sekadi Canang Genten, nanging porosanne antuk base tubungan (ijengan), muncuk lekesanne matampak dara mategul antuk talin porosan, duwur porosanne susunin wadah uras lan sekar. 7. CANANG PANGERESIKAN: Taled antuk ceper madaging tangkih 7 siki, suang-suang madaging sisig (beras menyahnyah ngantos puwun), kakosok kuning (tepung mecampur kunyit), kakosok putih (beras putih mecampur antuk tepung), tepung tawar/tepung beras sekar mesisir, madaging segahu, sesarik/minyak , kapas lan ambuh antuk don bungan pucuk/waru masisir. Pada intinya pesucian merupakan alat-alat yang dipakai untuk menyucikan Ida Bhatara dalam suatu Upacāra keagamaan. Secara instrinsik mengandung makana filosofis bahwa sebagai manusia harus senantiasa menjaga kebersihan phisik dan kesucian rohani (cipta , rasa dan karsa), karena Hyang Widhi itu maha suci maka hanya dengan kesucian manusia dapat mendekati dan menerima karunia Beliau. 8. CANANG PAYASAN: taled antuk tangkih bucu telu, masusun antuk jejahitan payasan, palawa, porosan, wadah uras lan sekar. 9. BANTEN DAPETAN (Untuk OTONAN) Banten Dapetan dapat dibuat/ditata di atas sebuah tamas/taledan yang isinya; buah, pisang, kue, tumpeng putih 1 buah, lauk sedapatnya, penyeneng, sampyan jaet guak, canang sari (Lontar Mpu Lutuk, lp. 11a). Dapetan berasal dari akar kata “dapet” mendapatkan akhiran An, yang dalam bahasa Indonesia memiliki arti yang didapatkan, ditemukan atau dihasilkan. Banten Dapetan sebagai lambang/nyasa dari Karma Wasana, semua yang kita alami, yang kita temukan/dapatkan dan kita hasilkan dalam kehidupan ini, baik ataupun buruk, suka maupun duka, pintar ataupun bodoh, kaya maupun miskin, keberhasilan ataupun kegagalan semua itu tiada lain disebabkan oleh Karma wasana kita sendiri, yang harus kita terima pada kehidupan sekarang ini. Hendaknya kita dapat mensyukurinya, dengan mensyukuri dua dimensi kehidupan yang menimpa kehidupan kita, sebagai hasil dari perbuatan kita, kita tidak akan terbebani olehnya (Ida Pandita Mpu Jaya Wijayananda, 2004: 78). Untuk mendapatkan suatu Dapetan yang baik, hendaknya mulai sekaranglah kita mempersembahkan Dapetan (Karma wasana) yang baik, agar dalam kehidupan nanti kita dapat menikmati suatu kehidupan yang lebih baik. Kehidupan kita yang sekarang adalah merupakan refleksi dari kehidupan terdahulu, dan sebagai dasar dari kehidupan yang akan datang, karena kita yakin dan percaya dengan hukum Karmaphala. Sekecil apapun perbuatan yang pernah kita lakukan, pasti akan mendapatkan pahala yang setimpal, walaupun hanya dalam pikiran sekalipun. Untuk itu marilah kita berusaha untuk selalu dapat mempersembahkan Dapetan (aktivitas karma-karma yang baik, sehingga nantinya kita dapat menuai hasil yang penuh dengan kebajikan-kebajikan. 10. PERAS (untuk OTONAN) Yang menjadi unsur-unsur Peras, yaitu: 1. Alasnya Tamas/ taledan/ Ceper; berisi aled/ kulit peras, kemudian disusun di atasnya beras, benang, base tampel/porosan, serta uang kepeng/recehan. Diisi buah-buahan, pisang, kue secukupnya, dua buah tumpeng, rerasmen/lauk pauk yang dialasi kojong rangkat, sampyan peras, canang sari. Pada prinsipnya Banten Peras memiliki fungsi sebagai permohonan agar semua kegiatan tersebut sukses (prasidha) 2. Aled/kulit peras, porosan/base tampel, beras, benang, dan uang kepeng; merupakan lambang bahwa untuk mendapatkan keberhasilan diperlukan persiapan yaitu: pikiran yang benar, ucapan yang benar, pandangan yang benar, pendengaran yang benar, dan tujuan yang benar. 3. Dua buah tumpeng; lambang kristalisasi dari duniawi menuju rohani, mengapa dua tumpeng karena sesungguhnya untuk dapat menghasilkan sebuah ciptaan maka kekuatan Purusa dan Pradhana (kejiwaan/laki-laki dengan kebendaan/perempuan) harus disatuakan baru bisa berhasil (Prasidha), tumpeng adalah lambang keuletan orang dalam meniadakan unsur-unsur materialis, ego dalam hidupnya sehingga dapat sukses menuju kepada Tuhan. 4. Tamas; lambang Cakra atau perputaran hidup atau Vindu (simbol kekosongan yang murni/ananda). 5. Ceper/ Aledan; lambang Catur marga (Bhakti, Karma, Jnana, Raja Marga) 6. Kojong Ragkat, tempat lauk pauk; memiliki makna jika ingin mendapatkan keberhasilan harus dapat memadukan semua potensi dalam diri (pikiran, ucapan, tenaga dan hati nurani). 7. Sampyan peras; terbuat dari empat potong janur dibentuk menyerupai parabola di atasnya, merupakan lambang dari kesiapan diri kita dalam menerima intuisi, inisiasi, waranugraha dari Hyang Widhi yang nantinya akan kita pakai untuk melaksanakan Dharma. 11. AJUMAN /SODA Yang menjadi unsur-unsur banten Ajuman/Soda: 1. Alasnya tamas/taledan/cepe; berisi buah, pisang dan kue secukupnya, nasi penek dua buah, rerasmen/lauk-pauk yang dialasi tri kona/ tangkih/celemik, sampyan plaus/petangas, canang sari. Sarana yang dipakai untuk memuliakan Hyang Widhi (ngajum, menghormat, sujud kepada Hyang Widhi) 2. Nasi penek adalah nasi yang dibentuk sedemikian rupa sehingga berbentuk bundar dan sedikit pipih, adalah lambang dari keteguhan atau kekokohan bhatin dalam mengagungkan Tuhan, dalam diri manusia adalah simbol Sumsuma dan Pinggala yang menyangga agar manusia tetap eksis. 3. Sampyan Plaus/Petangas; dibuat dari janur kemudian dirangkai dengan melipatnya sehingga berbentuk seperti kipas, memiliki makna simbol bahwa dalam memuja Hyang Widhi manusia harus menyerahkan diri secara totalitas di pangkuan Hyang Widhi, dan jangan banyak mengeluh, karunia Hyang Widhi akan turun ketika BhaktaNya telah siap. 12. PENYENENG/ PEBUAT/TEHENAN : Yang membentuk Penyeneng: 1. Jenis jejaitan yang di dalamnya beruang tiga masing-masing berisi beras, benang, uang, nasi aon (nasi dicampur abu gosok) dan porosan, adalah jejahitan yang berfungsi sebagai alat ntuk nuntun, menurunkan Prabhawa Hyang Widhi, agar Baliau berkenan hadir dalam Upacāra yang diselenggarakan. 2. Panyeneng dibuat dengan tujuan untuk membangun hidup yang seimbang sejak dari baru lahir hingga meninggal. 3. Ruang 1, berisi Nasi aon adalah lambang dari Deva Brahma sebagai pencipta alam semesta ini dan merupakan sarana untuk menghilangkan semua kotoran (dasa mala). 4. Ruang 2 berisi beras benang dan uang, lambang dari Deva Visnu yang memelihara alam semesta ini, beras adalah sumber makanan manusia, uang adalah alat transaksi untuk melangsungkan kehidupan, benang sebagai penghubung antara manusia dengan manusia, manusia dengan lingkungan dan manusia dengan Hyang Widhi. 5. Ruang 3 berisi bunga, daun kayu sakti (dapdap), yang ditumbuk dengan kunir dan beras, melambangkan Deva Siva dalam prabhawaNya sebagai Isvara dan Mahadeva yang senantiasa mengarahkan manusia dari yang tidak baik menuju benar, meniadakan (pralina) Adharma dan kembali ke jalan Dharma. Bagian atas dari Penyeneng ini ada jejahitan yang menyerupai Ardhacandra = Bulan, Windu = Matahari, dan Titik = bintang dan teranggana (planet yang lain). 13. SEGEHAN Secara etimologi Segehan artinya Suguh (menyuguhkan), dalam hal ini adalah kepada Bhuta Kala, yang tak lain adalah akumulasi dari limbah/kotoran yang dihasilkan oleh pikiran, perkataan dan perbuatan manusia dalam kurun waktu tertentu. Dengan segehan inilah diharapkan dapat menetralisir dan menghilangkan pengaruh negatik dari libah tersebut. Segehan adalah lambang harmonisnya hubungan manusia dengan semua ciptaan Tuhan. Jahe, secara imiah memiliki sifat panas. Semangat dibutuhkan oleh manusia tapi tidak boleh emosional. Bawang, memiliki sifat dingin. Manusia harus menggunakan kepala yang dingin dalam berbuat tapi tidak boleh bersifat dingin terhadap masalah-masalah sosial (cuek). Garam, memiliki PH-0 artinya bersifat netral, garam adalah sarana yang mujarab untuk menetralisir berbagai energi yang merugikan manusia (tasik pinaka panelah sahananing ngaletehin). Tetabuhan Arak, Berem, Tuak, adalah sejenis alkhohol, dimana alkhohol secara ilmiah sangat efektif dapat dipakai untuk membunuh berbagai kuman/bakteri yang merugikan. Oleh kedokteran dipakai untuk mensteril alat-alat kedokteran. Metabuh pada saat masegeh adalah agar semua bakteri, Virus, kuman yang merugikan yang ada di sekitar tempat itu menjadi hilang/mati. 14. SARANA YANG LAIN Daun/Plawa; lambang kesejukan. Bunga; lambang cetusan perasaan. Bija; lambang benih-benih kesucian. Air; lambang pawitra, amertha. Api; lambang saksi dan pendetanya Yajña. 15. Penjelasan Bahan Banten Menurut Lontar Tegesing Sarwa Banten; Mengenai rerasmen: “ Kacang, nga; ngamedalang pengrasa tunggal, komak, nga; sane kakalih sampun masikian”. Artinya: Kacang-kacangan menyebabkan perasaan itu menjadi menyatu, kacang komak yang berbelah dua itu sudah menyatu. 1. Mengenai Lauk: “ Ulam, nga; iwak nga; hebe nga; rawos sane becik rinengo”. Artinya: Ulam atau ikan yang dipakai sarana rerasmen itu sebagai lambang bicara yang baik untuk didengarkan. 2. Mengenai buah-buahan; “ Sarwa wija, nga; sakalwiring gawe, nga; sana tatiga ngamedalang pangrasa hayu, ngalangin ring kahuripan”. Artinya: Segala jenis buah-buahan merupakan hasil segala perbuatan, yaitu perbuatan yang tiga macam itu (Tri Kaya Parisudha), menyebabkan perasaan menjadi baik dan dapat memberikan penerangan pada kehidupan. 3. Mengenai Kue/Jajan: “ Gina, nga; wruh, uli abang putih, nga; lyang apadang, nga; patut ning rama rena. Dodol, nga; pangan, pangening citta satya, Wajik, nga; rasaning sastra, Bantal, nga; phalaning hana nora, satuh, nga; tempani, tiru-tiruan”. Artinya; Gina adalah lambang mengetahui, Uli merah dan Uli putih adalah lambang kegembiraan yang terang, bhakti terhadap guru rupaka/ ayah-ibu, Dodol adalah lambang pikiran menjadi setia, wajik adalah lambang kesenangan mempelajari sastra, Bantal adalah lambang dari hasil yang sungguh-sungguh dan tidak, dan Satuh adalah lambang patut yang ditirukan. 4. Mengenai bahan porosan: “ Sedah who, nga; hiking mangde hita wasana, ngaraning matut halyus hasanak, makadang mitra, kasih kumasih”. Artinya: Sirih dan pinang itu lambang dari yang membuatnya kesejahteraan/kerahayuan, berawal dari dasar pemikirannya yang baik, cocok dengan keadaannya, bersaudara dalam keluarga, bertetangga dan berkawan. 15. Jenis-jenis Daksina Daksina kelipatan 1 : daksina alit Daksina kelipatan 2: daksina pakala-kalaan (Manusa Yajna). Daksina kelipatan 3: daksina krepa (Rsi Yajna). Daksina kelipatan 4: daksina gede/pamogpog (upacara besar). Daksina kelipatan 5: daksina galahan. MANTRA MENGHATURKAN BANTEN PEJATI Mantra Memohon Tirtha: • Om pancaksaram maha tirtham pawitram papa nasanam papa koti sahasranam agadam bhawet sagaram • Om pancaksaram param brahma pawitram papa nasanam parantam parama jnanam siwa lokam pratam subham • Om namo siwa ityoyam para brahma atmane dewanam para sakti panca dewah panca rsih bhawet agni • Om A-karasca U-akarasca Ma-karo windhu nadhakam pancaksaram maya proktam Om-kara Agni mantranke ya namah swaha Mantra Pejati ( Daksina, Ajuman Tipat kelanan) • Om Siwa sutram yajna pawitram paramam pawitram, Prajapatir yogayusyam, balamastu teja paranam, guhyanam triganam trigunatmakam. • Om namaste bhagawan Agni, namaste bhagawan Harih, namaste bhagawan Isa, sarwa bhaksa utasanam, Tri warna bhagawan Agni Brahma Wisnu Maheswara, Saktikam pastikanca raksananca saiwa bhicarukam. Mantra Panyeneng/Tehenan/Pabuat: • Om Kaki panyeneng Nini Panyeneng kajenengan denira Sanghyang Brahma wisnu Iswara Mahadewa Surya Chandra Lintang Teranggana. Om sri ya namah swaha. Mantra Peras: • Om Panca wara bhawet Brahma, Wisnu sapta wara waca, sad wara Iswara dewasca, asta wara Siwa jnana Omkara muktyate sarwa peras prasidha siddhi rahayu ya namah swaha. Mantra Pasucian: • Om asta sastra empu sarining wisesa tepung tawar amunahaken angilangaken sahananing sebel kandel cuntakaning pebhaktyaning hulun, Om sanut sang kala pegat, pegat rampung sahananing wisesa, om sri dewi bhatrimsa yogini ya namah, Om gagana murcha ya namah swaha. Mantra Segehan: • Om Atma Tattwatma sudha mam swaha Om swasti-swasti sarwa bhuta suka pradhana ya namah swaha. Om shantih shantih shantih Om. Mantra Metabuh Arak Berem: • Om ebek segara ebek danu ebek banyu premananing hulun ya namah swaha. Demikian kupasan upakāra, sehingga dengan pemahaman ini dapat menumbuhkan kesadaran, keyakinan, dan kemantapan umat Hindu dalam membuat dan menghaturkan upakāra dan melaksanakan ajaran agama Hindu yang penuh dengan simbol-simbol, sehingga dapat mengikis dogma “Anak Mula Keto”, di masa yang akan datang. Dan yang terpenting umat dapat menjadi sumber tauladan bagi keluarga dan anak-anaknya, dengan memberikan pelatihan secara konfrehensif sebagai bentuk kepedulian akan tradisi Veda yang penuh dengan Nyasa/simbol, serta dalam penerapan Sistem Pembelajaran Tuntas. Dengan demikian akan terlahir umat yang memiliki kualifikasi kecerdasan IQ (kecerdasan intelek), EQ (kecerdasan emosional), SQ (kecerdasan spiritual), ETQ (kecerdasan etetika) sehingga eksisitensinya sebagai umat Hindu tidak akan memudar. Makna Upacara Ngenteg Linggih Upacara Pemakuhan: Sebagai ungkapan terima kasih kepada Bhagawan Wisma Karma (Dewa seni-bangunan) diwujudkan dengan mohon tirta pemakuh. Peralatan tukang disertakan dalam upacara ini. Banten Pemakuhan, peras, lis, soroan, daksina, canang lenga wangi, canang burat wangi dan ketipat kelanan. Caru ayam putih asoroh eteh-eteh pemakuhan asoroh: bagia, orti, sapsap, ulap-ulap, paso anyar berisi air, daun lalang 11 katih, pengurip-urip darah ayam putih, susur pekeramas, toya cendana, kumkuman, rantasan, seperadeg, semeti, pahat, uang, andel-andel berisi benang. Toya pemakuhan dari undagi yang membuat sikut. Urutan upacara: Ngetok sunduk, mantra: Bhatara semara, angadegang Bhatara Ratih metemuang ageni mastu astu Ang Ah. Ngetok lait, mantra: Ingsun anangun sawen anging I Dewa Gunung Agung magelung aningkahang anangun sawen, ana ring maca pada rambat rangkung panjang umur, jeng, jeng, jeng. Pangurip getih ayam putih, mantra: Mangke sira patini sepisan ngurip kita satuwuk bebataran pinaka bungkah nda. Sendi pinaka pancer nda, degan pinaka punyan nda, Abah-abah pinaka pangpang nda Raab pinaka ron nda, Kelasa pinaka kembang nda, Daging nda, pinaka woh nda, urip kita jati Paripurna urip-urip Penyapsap gidat sesaka, mantra: Pakulun manusan nira anggada kaken sapuha, menyapuha ganda keringetning wewangunan sidhi rastu. Semerti, mantra: Om Upi Sangagawenku teka pada urip, teka pada urip, teka pada urip. Baas Daksina, mantra: Om Siwa sampurna yang namah. Tatebus, mantra: Jaya Ang Ang Ang Ah Upacara Melaspas: Upacara Melaspas bertujuan mensucikan bangunan agar dapat menstanakan Ista Dewata, menyatukan sekala dan niskala. Unsur-unsur sekala adalah bangunan suci, dan unsur niskala adalah Sanghyang Widhi atau Ista Dewata. Pelaksanaan: Menghaturkan upakara pesaksian ke Surya, dan nunas tirtha pelukatan. Nyapsap dengan daun dapdap, lalang, dan toya segara. Matatorek dengan warna merah, putih, hitam, memercikkan tirtha pelukatan, memercikkan tirta pasupati, dan memukul bangunan tanda menguatkan pasak. Sulinggih memuja banten pemelaspas. Upacara Ngenteg Linggih Urutan upacara: 1. Memangguh Kata memangguh berasal dari bahasa Bali: kepangguh atau kepanggih, yang artinya menemukan. Maksudnya adalah menemukan sebidang tanah secara niskala yang kemudian digunakan untuk bangunan Padmasana. Secara skala, bidang tanah diperoleh atau ditemukan dengan membeli, hibah, warisan, dll. Namun secara niskala bidang tanah itu dimohon kepada Sanghyang Widhi, sebagai pemilik dan penguasa semesta. Banten upacara memangguh pada umumnya berdasar banten bebangkit dengan runtutannya. 2. Nyengker Nyengker artinya memberi batas-batas bidang tanah di empat penjuru mata angin, yaitu: utara, selatan, barat dan timur. Batas ini sebagai lanjutan upacara memangguh, dengan pengertian skala dan niskala pula. Secara skala, sengker atau batas berbentuk pagar halaman, dan secara niskala, sengker adalah batas bidang tanah yang dimohonkan ke hadapan Sanghyang Widhi. Pelaksanaan upacara nyengker diwujudkan dengan membubuhkan tepung beras (putih) sekeliling pagar bidang tanah. Bantennya: prayascita, pengulapan, pengambean. 3. Memirak Memirak dalam bahasa Bali berasal dari kata pirak, yang artinya membeli. Memirak juga ditujukan secara niskala kepada Sanghyang Widhi, lebih dimaksudkan sebagai rasa terima kasih atas ijin dan karunia-Nya karena telah memberikan sebidang tanah. Selain itu dengan upacara memirak, kepada Sanghyang Widhi juga mepiuning (memberitahu) tentang perubahan status tanah, yang sebelumnya mungkin berupa sawah, tegalan, dll., dan kini sudah menjadi sebuah halaman Pura. Banten upacara memirak, dasarnya suci ageng dengan runtutannya, dan seekor babi guling sebagai kelengkapannya. Sebagai stana Ida Bhatari Pertiwi, dibuat sebuah daksina lingga yang setelah upacara selesai akan dihaturkan ke Pura Subak. Setelah banten pemirak selesai dipuja oleh Sulinggih, maka bagian-bagian babi guling yakni irisan: kuping, moncong, keempat kaki, dan ekor, direcah menjadi 5, ditempatkan di 5 takir yang sudah berisi nasi jakan. Kelima takir itu diletakkan dan dihaturkan ke pertiwi masing-masing di batas bidang: utara, selatan, barat, dan timur. 4. Mecaru Caru dalam bahasa Bali artinya korban, sedangkan car dalam bahasa Sanskrit artinya keseimbangan dan keharmonisan. Dengan demikian maka caru artinya binatang yang dijadikan korban untuk memohon keseimbangan dan keharmonisan. Yang dimaksud dengan keseimbangan dan keharmonisan adalah Trihitakarana, yaitu tiga hal yang menjadi dasar kehidupan yang baik: parhyangan, pawongan, dan palemahan. Parhyangan adalah hubungan yang seimbang dan harmonis antara manusia dengan Sanghyang Widhi. Pawongan adalah hubungan yang seimbang dan harmonis antara manusia dengan manusia. Palemahan adalah hubungan yang seimbang dan harmonis antara manusia dengan alam. Menurut ajaran agama Hindu-Bali, tanpa ketiga keseimbangan dan keharmonisan itu manusia tidak akan menemukan mokshartam jagaditha. Dalam kaitan ini, Padmasana sebagai stana Sanghyang Widhi, bukanlah hanya niyasa pemujaan saja, tetapi juga untuk memohon keutuhan Trihitakarana menuju mokshartam jagaditha. Banten caru yang umumnya digunakan pada upacara ngenteg linggih Padmasana minimal Rsigana berdasar Manca sanak. 5. Mendem akah-pedagingan Mendem artinya menanam. Akah-pedagingan terdiri dari panca-datu, yaitu: emas, perak, tembaga, besi, dan permata. Kelima unsur (panca –datu) adalah simbol isi bumi, yakni logam dan batu mulia yang diciptakan Sanghyang Widhi pada awal terbentuknya bumi. Akah-pedagingan ditanam pada dasar, dan tengah Padmasana. 6. Memasang orti dan ulap-ulap Orti adalah sejenis jejahitan berbahan daun rontal. Makna orti adalah pemberitahuan bahwa bangunan Padmasana sudah disucikan. Ulap-ulap adalah rerajahan pada secarik kain putih yang bermakna mensakralkan bangunan pelinggih. Orti dipasang di puncak bangunan, dan ulap-ulap dipasang di bawah orti. 7. Mendem bagia-palakerti Bagia artinya bahagia; palakerti artinya hasil dari karma (perbuatan). Isi bagia palakerti adalah berbagai hasil bumi: buah-buahan dan umbi-umbian (pala gantung dan pala bungkah). Bagia-palakerti ditanam di tanah belakang Padmasana bertujuan untuk memohon pahala yang baik kepada Sanghyang Widhi, karena sang maduwe karya telah melaksanakan upacara ngenteg linggih. 8. Memendak Ida Bhatara Kata Ida Bhatara artinya “Maha Kuasa yang menyayangi dan melindungi”. Menstanakan Ida Bhatara di Padmasana, seperti yang diuraikan terdahulu, berarti menstanakan Sanghyang Widhi di bangunan niyasa untuk dipuja. Niyasa (simbol) yang digunakan sebagai pralingga dapat berbagai bentuk, misalnya pretima, gopelan, dan ampilan. Yang umum digunakan adalah ampilan, terdiri dari kotak, daksina lingga, dan runtutannya. Setelah ampilan disucikan dan dipasupati, Ida Bhatara dimohonkan berstana di ampilan itu. Prosesnya dengan muspa ngider bhuwana mulai menghadap ke timur untuk memuja Ishwara, ke selatan untuk memuja Brahma, ke barat untuk memuja Mahadewa, ke utara untuk memuja Wisnu, dan ke timur sekali lagi untuk memuja Tripurusha. 9. Mekalahyas Dengan berpedoman pada lontar Yadnya Prakerti, diyakini bahwa wateking bhuta-kala atau roh-roh liar selalu ingin mendapatkan tirtha amertha dalam usahanya untuk meningkatkan kesucian. Oleh karena itu roh-roh liar ini selalu bersembunyi di tempat-tempat suci dengan harapan bila ada upacara maka mereka secara tidak disengaja akan memperoleh percikan tirtha amertha dari puja-mantra Pandita. Demikian pula dengan kotak ampilan yang dimohonkan sebagai stana Sanghyang Widhi, tidak luput dari gangguan para roh liar ini. Agar hal itu tidak terjadi maka para roh liar diberikan lelabaan agar tidak mengganggu jalannya upacara dan tidak bersembunyi di niyasa kotak ampilan Ida Bhatara. Lelabaan itu disebut banten kalahyas. Kalahyas terdiri dari dua kata: kala artinya roh liar; hyas artinya menyenangkan. Jadi kalahyas artinya banten untuk menyenangkan roh-roh liar. 10. Melasti Melasti dalam bahasa Bali terdiri dari dua kata: mala artinya kekotoran atau noda; asti artinya dibuang. Jadi melasti yang asalnya mala-asti, artinya menghanyutkan kekotoran. Upacara melasti dilakukan di laut, karena kegiatan melasti meliputi dua tujuan, yaitu: menghilangkan kekotoran, dan memohon tirtha amertha kamandalu, yakni tirtha suci yang diyakini membawa kesucian, kebaikan, kemakmuran, dan kejayaan atau umur panjang. Yang dimaksud dengan tirtha amerta kamandalu, adalah air dari tujuh buah sungai suci di India, di mana Weda diwahyukan oleh Sanghyang Widhi melalui tujuh Maha Rsi (Grtsamada, Wiswamitra, Wamadewa, Atri, Bharadwaja, Wasista, dan Kanwa). Sungai-sungai itu adalah: Gangga, Sindhu, Saraswati, Yamuna, Godhawari, Narmada, dan Sarayu. Oleh karena kita tidak mungkin pergi ke India setiap saat untuk melasti, maka dengan pengertian bahwa ketujuh sungai suci itu bermuara ke laut, dan laut di dunia menyatu, maka diyakini laut di selatan India sebagai muara sungai-sungai suci yang telah mengandung unsur-unsur kesucian, sama dengan laut di mana saja. Oleh karena itu jika melasti ke laut dianggap sama dengan mendapatkan air dari ketujuh sungai suci itu. Karena tujuan melasti seperti yang diuraikan di atas adalah untuk menghanyutkan kekotoran dan mendapatkan tirtha suci, maka kegiatan melasti sering disebut: ANGANYUTAKEN LARA-ROGA TUR SARWANING MALA, LAN AMET TIRTHA AMERTHA KAMANDALU RING TELENGING SAMUDRA artinya menghanyutkan kekotoran dan membuang segala keburukan, serta mendapatkan air suci di tengah lautan. Hanya bila ke laut saja dapat disebut melasti, sedangkan bila ke sumber mata air atau sungai, tidak disebut melasti, tetapi mesucian. Tujuan dan faedahnya tentu berbeda. 11. Ngenteg linggih: Karya Pemungkah dan Pedudusan Ngenteg linggih artinya: mengokohkan kedudukan Ida Bhatara secara niskala di Padmasana; Karya Pemungkah artinya: Memohon kesediaan Ida Bhatara berstana di Padmasana; Pedudusan, yang berasal dari kata: pedius-diusan, artinya pensucian. Prosesi upacara: • Setelah niyasa Ida Bhatara datang dari melasti, maka kotak ampilan diletakkan di sanggar tawang. Di sini Ida Bhatara dihaturi banten catur dan dipuja-mantra oleh Pandita. • Setelah itu niyasa Ida Bhatara diturunkan dari sanggar tawang, melalui titi-mahmah lalu diletakkan di Bale Peselang. • Kemudian Ida Bhatara dihaturi sesajen kemudian di puja-mantra oleh Pandita. • Para peserta upacara, bersembahyang memuja Sanghyang Widhi sebagai pencipta, pemelihara, dan penyelamat dunia. • Selanjutnya barulah niyasa Ida Bhatara di letakkan di Bale Pahiasan, untuk dihaturi sesajen dan dipuja-mantra oleh Pandita. Makna upacara: • Meletakkan niyasa Ida Bhatara di sanggar tawang dan dihaturi banten catur, bermakna niyasa itu mendapat wara-nugraha dari Sanghyang Widhi sebagai Ishwara, Brahma, Mahadewa, dan Wisnu. • Meletakkan niyasa Ida Bhatara di bale peselang, bermakna kehadiran Sanghyang Widhi di alam bwah-loka untuk menganugrahkan kebaikan, kesejahteraan dan kebahagiaan kepada manusia. • Meletakkan niyasa Ida Bhatara di Pahiasan, bermakna sebagai Sanghyang Widhi yang menerima haturan, persembahan, dan pujaan dari manusia yang telah mendapatkan sinar suci-Nya. 12. Pemuspaan Pemuspaan adalah sembahyang bersama, diawali dengan puja trisandya dan dilanjutkan dengan kramaning sembah. Setelah itu tirtha wangsuh-pada dan bija dibagikan oleh Jero Mangku. Ida Pandita mengisi waktu luang itu dengan dharma-wacana. 13. Mesida-karya Upacara mesida-karya biasanya dilaksanakan di hari penyineban Ida Bhatara. Didahului dengan menghaturkan banten banten sida-karya, lalu sembahyang bersama, maka niyasa Ida Bhatara berupa kotak ampilan disimpan di tempat yang baik dan aman, untuk digunakan lagi di hari piodalan Ida Bhatara. Upacara ini bermakna sebagai permohonan dan piuning kehadapan Sanghyang Widhi bahwa rangkaian upacara Ngenteg Linggih telah selesai, serta memohon ampun bila dalam penyelenggaraan upacara ada kekeliruan-kekeliruan. Sampai di sini selesailah semua prosesi sejak membangun Padmasana sampai mengupacarainya, sehingga dengan demikian Padmasana sudah dapat digunakan sebagai niyasa pemujaan Sanghyang Widhi di setiap saat.