Selasa, 31 Maret 2015

Rumah Tradisional Adat Bali

Rumah Tradisional Adat Bali Bali salah satu pulau terindah di dunia yang terletak pada wilayah kesatuan NKRI ini, merupakan wilayah favorit wisatawan manca negara. Masyarakat Bali sangat kuat adat istiadatnya mereka sangat menjunjung tinggi dan menjaga tradisi mereka sampai sekarang. Mayoritas penduduk pulau Bali memeluk agama Hindu, Bali terkenal dengan keunikan berbagai hasil seni-budayanya, Bali juga dikenal dengan sebutan Pulau Dewata dan Pulau Seribu Pura. Di karenakan adat yang sangat kental pada masyarakat Bali inilah sangat mempengaruhi arsitektur pembangunan rumah tinggal mereka. Rumah adat Bali sampai sekarang masih diterapkan dengan kemajuan jaman era moderenisasi tidak dapat menggilasnya begitu saja, pemerintah daerah menerapkan UU mengenai pendirian bangunan di pulau Bali yang harus menerapkan hukum-hukum adat mereka. Rumah Bali harus sesuai dengan aturan Asta Kosala Kosali ajaran terdapat pada kitab suci Weda yang mengatur soal tata letak sebuah bangunan, hampir mirip seperti ilmu Feng Shui dalam ajaran Budaya China. Rumah Bali merupakan penerapan dari pada filosofi yang ada pada masyarakat Bali itu sendiri. Ada tiga aspek yang harus di terapkan di dalamnya, aspek pawongan (manusia / penghuni rumah), pelemahan ( lokasi /lingkungan) dan yang terahir parahyangan. Kedinamisan dalam hidup akan tercapai apabila terwujudnya hubungan yang harmonis antara ke 3 aspek tadi. Untuk itu pembangunan sebuah rumah Bali harus meliputi aspek-aspek tersebut atau yang biasa disebut Tri Hita Karana. Pada umumnya bangunan atau arsitektur tradisional Bali selalu dipenuhi pernik yang berfungsi untuk hiasan, seperti ukiran dengan warna-warna yang kontras tai alami. Selain sebagai hiasan mereka juga mengan arti dan makna tertentu sebagai ungkapan terimakasih kepada sang pencipta, serta simbol-simbol ritual seperti patung. Bali memiliki ciri khas arsitektur yang timbul dari suatu tradisi, kepercayaan dan aktifitas spiritual masyarakat Bali itu sendiri yang diwujudkan dalam berbagai bentuk fisik bangunan yang ada. Seperti rumah, pura (tempat suci umat Hindu), Banjar (balai pertemuan) dan lain-lain. Umumnya Bangunan Rumah Adat Bali terpisah-pisah manjadi banyak bangunan-bangunan kecil-kecil dalam satu area yang disatukan oleh pagar yang mengelilinginya. Seiring perkembangan jaman mulai ada perubahan bangunan tidak lagi terpisah-pisah. Jika dilihat dari sisi geografis, ada dua jenis rumah di bali yaitu rumah adat yang berada di daerah dataran tinggi dan rumah adat di daerah dataran rendah. Rumah yang berada di daerah dataran tinggi pada umumnya berukuran kecil, dan memiliki jumlah ventilasi yang lebih sedikit, dan beratap rendah. Ini dimaksudkan untuk menjaga suhu ruangan tetap hangat. Selain itu pekarangan rumah juga lebih sempit disebabkan kontur tanah yang tidak rata. Aktivitas sehari-hari seperti memasak, tidur, hingga ritual keagamaan dilakukan didalam rumah. Rumah adat bali yang terletak di daerah dataran rendah pada umumny memilki ciri sebaliknya, memiliki banyak ruang terbuka, beratap tinggi, dan berpekarangan luas. Seperti bale daja untuk ruang tidur dan menerima tamu penting, bale dauh untuk ruang tidur dan menerima tamu dari kalangan biasa, bale dangin untuk upacara, dapur untuk memasak, njineng untuk lumbung padi, dan tempat suci untuk pemujaan. Rumah keturunan keluarga raja dan brahmana pekarangannya dibagi menjadi tiga bagian yaitu njaba sisi (pekarangan depan), njaba tengah (pekarangan tengah) dan njero (pekarangan untuk tempat tinggal). Proses pembangunan dimulai dengan pengukuran tanah yang biasa disebut dengan nyikut karang. Kemudian dilaksanakan caru pengerukan karang, adalah ritual persembahan kurban & mohon izin untuk mendirikan rumah hampir sama seperti meembangun rumah adat jawa. Upacara ritual dilakukan peletakan batu pertama yang disebut nasarin, bertujuan untuk memohon kekuatan pada bumi pertiwi agar nanti bangunan rumah menjadi kuat dan kokoh serta pekerja atau tukang dilakukan upacara prayascita untuk memohon bimbingan dan keselamatan dalam bekerja. Jika seluruh ritual sudah dijalankan barulah pembangunan dimulai. Masyarakat Bali selalu memulai dan mengakhiri suatu pembangunan dengan upacara atau ritual. Semua ritual diatas pada intinya bertujuan memberi kharisma pada rumah yang akan didirikan dan untuk menjaga keselarasan hubungan manusia dengan Tuhannya, manusia dengan manusia, & manusia dengan lingkungannya. Rumah Bali yang sesuai dengan aturan Asta Kosala Kosali (bagian Weda yang mengatur tata letak ruangan dan bangunan, layaknya Feng Shui dalam Budaya China)Menurut filosofi masyarakat Bali, kedinamisan dalam hidup akan tercapai apabila terwujudnya hubungan yang harmonis antara aspek pawongan, palemahan, dan parahyangan. Untuk itu, pembangunan sebuah rumah harus meliputi aspek-aspek tersebut atau yang biasa disebut Tri Hita Karana. Pawongan merupakan para penghuni rumah. Palemahan berarti harus ada hubungan yang baik antara penghuni rumah dan lingkungannya. Pada umumnya,bangunan atau arsitektur tradisional daerah Bali selalu dipenuhi hiasan, berupa ukiran, peralatan serta pemberian warna. Ragam hias tersebut mengandung arti tertentu sebagai ungkapan keindahan simbolsimbol dan penyampaian komunikasi. Bentuk-bentuk ragam hias dari jenis fauna juga berfungsi sebagai simbol-simbol ritual yang ditampilkan dalam patung. Berjalan-jalan di seputar Bali tak perlu heran jika di setiap persimpangan jalan, Anda melihat sesajen di atas wadah dari janur dan ada kembang rupa rupi dan dupa yang menyala. Pura (baca: pure) pun bertebaran di segala tempat. Rumah, pertokoan, perkantoran, punya pura. Lalu, apakah Anda pernah melihat keunikan rumah adat Bali di sana? Rumah adat Bali ternyata dibangun sesuai dengan aturan Asta Kosala Kosali (bagian Weda yang mengatur tata letak ruangan dan bangunan, layaknya Feng Shui dalam Budaya China). Menurut filosofi masyarakat Bali, kedinamisan dalam hidup akan tercapai apabila terwujudnya hubungan yang harmonis antara aspek pawongan, palemahan, dan parahyangan. Untuk itu, pembangunan sebuah rumah harus meliputi aspek-aspek tersebut atau yang biasa disebut Tri Hita Karana. Pawongan merupakan para penghuni rumah. Palemahan berarti harus ada hubungan yang baik antara penghuni rumah dan lingkungannya. Pada umumnya, bangunan atau arsitektur tradisional daerah Bali selalu dipenuhi hiasan, berupa ukiran, peralatan serta pemberian warna. Ragam hias tersebut mengandung arti tertentu sebagai ungkapan keindahan simbolsimbol dan penyampaian komunikasi. Bentuk-bentuk ragam hias dari jenis fauna juga berfungsi sebagai simbol-simbol ritual yang ditampilkan dalam patung. Dalam membangun rumah adat, orang Bali sangat mementingkan arah kemana akan menghadap, karena arah sangat penting artinya dalam kepercayaan dan kehidupan suku Bali. Hal-hal yang dianggap keramat atau suci lainnya diletakkan pada arah ke gunung, karena gunung dianggap suci dan keramat, arah-arah ini disebut kaja. Sebaliknya hal-hal yang bisa dan tidak dianggap keramat atau suci diletakkan ke arah laut yang disebut kelod. Dengan demikian pura desa yang diangggap suci diletakkan pada arah gunung (kaja), sedang pura dalem atau kuil yang ada hubungannya dengan kuburan dan kematian diletakkan ke arah laut atau kelod. Demikianlah dalam soal susunan perumahan orang-orang Bali tidak dapat melepaskan diri dari kehidupan keagamaan dan kehidupan adatnya. Pada umumnya bangunan atau arsitektur tradisional daerah Bali selalu dipenuhi dengan hiasan, berupa ukiran, peralatan serta pemberian warna. Ukiran maupun pahatan yang ditempatkan pada bangunan tersebut mengambil tiga kehidupan di bumi, manusia, binatang dan tumbuhan. Ragam hias/ukiran yang dikenakan pada bagian-bagian bangunan dari jenis tumbuhan antara lain: Keketusan yakni motif tumbuhan yang dibuat dengan lengkungan-lengkungan serta bunga-bunga besar dan daun-daun yang lebar, biasanya ditempatkan pada bidang-bidang yang luas. Keketusan ini ada bermacam-macam seperti keketusan wangsa, keketusan bunga tuwung, keketusan bun-bun dan lain-lain. Kekarangan, suatu pahatan dengan motif suatu karangan yang memyerupai tumbuhan lebat dengan daun terurai ke bawah atau menyerupai serumpun perdu. Hiasan ini biasanya dipahatkan pada sudut kebatasan sebelah atas, disebut karang simbar, dan ditempatkan pada sendi tiang tugek disebut karang suring. Pepatran, merupakan hiasan bermotif bunga-bungaan. Misalnya Patra Sari ditempatkan pada bidang yang sempit seperti tiang-tiang dan blandar, patra lainnya adalah patra pid-pid, patra samblung, patra pal, patra ganggong, patra sulur dan lain-lain, semuanya dalam bentuk berulang atau berderet memanjang. Ragam hias tersebut mengandung arti tertentu sebagai ungkapan keindahan simbol-simbol dan penyampaian komunikasi. Bentuk-bentuk ragam hias dari jenis fauna juga berfungsi sebagai simbol-simbol ritual yang ditampilkan dalam patung yang disebut Pratima, patung sebagai bagian dari bangunan berbentuk Bedawang nala. Kadang-kadang sebagai corak magis lengkap dengan huruf simbol mantra-mantra. Misalnya hiasan karang bona berbentuk kepala raksasa yang dilukiskan dari leher ke atas lobang pintu kori Agung atau pada Bade wadah. Hiasan karang sal berbentuk kepala kelelawar bertanduk dengan gigi runcing ditempatkan di atas pintu kori atau pintu rumah tinggal dan beberapa tempat lainnya. Type Bangunan Rumah Tradisional Bali Bangunan perumahan tradisional bali mempunyai beberapa type dari yang terkecil saka pat bangunan bertiang empat. Membesar bertiang enam, bertiang delapan, bertiang sembilan dan bertiang dua belas. Bangunan bertiang dua belas dikembangkan lagi dengan emper kedepan atau kesamping dengan tiang sejajar. Type bangunan Tradisional Bali: 1. Sakepat bangunan bertiang empat. Bangunan sakapat tergolong bangunan sederhana ukuran sekitar 3 m x 2,5 m. Konstruksi bertiang empat denah segi empat, satu balai balai mengikat tiang atau tanpa balai-balai. Atap dengan konstruksi pelana atau limasan. 2. Sakenem. Bangunan sakenem tergolong sederhana berbentuk segi empat panjang, dengan panjang sekitar tiga kalilebar .Ukuran bangunan sekitar 6 m x 2m, mendekati dua kali ukuran sakepat, Konstruksi bangunan terdiri enam tiang berjajar, tiga tiga pada kedua sisi panjang. Keenam tiang disatukan oleh satu balai-balai atau empat tiang pada satu balai- balai dan dua tiang di teben pada satu balai - balai dengan dua sakapandak. Hubungan balai-balai dengan konstruksi perangkai sunduk waton,likah dan galar. Konstruksi atap dengan pelana atau limasan 3. Sakutus. Bangunan tergolong madia bentuk bangunan segi empat panjang, dengan ukuran 5 m x 2,5 m. Konstruksi terdiri dari delapan tiang yang dirangkai empat empat menjadi dua balai-balai. Masing-masing balai memanjang kaja kelod dengan kepala kearah luan kaja. Tiang tiang dirangkaikan dengan sunduk waton/selimar, likah dan galar. Stabilitas konstruksi dengan sistem lait pada pepurus sunduk dengan lubang tiang, senggawang tidak ada pada bangunan sakutus. Sistem konstruksi atap dengan pelana. 4. Tiangsanga. Tergolong bangunan utama bentuk bangunan segi empat panjang, dengan ukuran sekitar 4 m x 5 m tiangnya sembilan. Konstruksi bangunan dengan satu balai - balai mengikat empat tiang di teben tiangnya tiga dengan senggawang sebagai stabilitas. Letak tiang masing-masing pada keempat sudut,tengah-tengah keempat sisi dan ditengan dengan kencut sebagai kepala tiang , Konstruksi atap atap dengan limasan dengan puncak dedeleg, penutup atap alang-alang atau genteng, 5. Sakaroras. Bangunan tergolong utama bentuk bangunan denah bujur sangkar dengan ukuran sekitar 5 m x 5 m, Jumlah tiang dua belas buah, empat empat tiga deret dari luan keteben. Letak tiang empat buah masing-masing sebuah di sudut-sudut, empat buah masing-masing dua buah di sisi luan dan teben. Dua buah masing-masing di sisi samping dan dua buah di tengah dengan kencut sebagai kepala tiang. Dua balai-balai masing-masing mengikat empat-empat tiang dengan sunduk, waton/selimar dan likah sebagai stabilitas ikatan. Empat tiang sederet diteben dengan senggawang sebagai stabilitas tiang. Bangunan tertutup dua sisi terbuka kearah natah, Konstruksi atap atap dengan limasan dengan puncak dedeleg, penutup atap alang-alang atau genteng

PENUNGGUN KARANG

Konsep, sejarah Penunggun Karang atau Sedahan Karang 22 Oktober 2012 pukul 19:13 OM Swastiastu, Penunggun Karang dalam Sastra Dresta disebut Sedahan Karang (di perumahan) untuk membedakan dengan Sedahan Sawah (di sawah) dan Sedahan Abian (di kebun/ tegalan/ abian). Untuk Bali, melindungi senyawa rumah, isi dan penghuni sebuah rumah adalah tugas besar yang tidak dapat ditangani secara efektif oleh dinding dan gerbang saja, terutama ketika berhadapan dengan gangguan mistis. Untuk gangguan Bali mistis nyata seperti yang fisik dan beberapa Bali lebih menekankan pada gangguan mistis ketika berhadapan dengan melindungi masalah rumah karena tidak dapat dirasakan dengan kasat mata dan terbukti lebih sulit untuk menangani daripada gangguan fisik semata. Bali percaya bahwa gangguan mistis harus ditangani oleh wali mistis karena manusia biasa tidak memiliki kekuatan yang cukup untuk menembus ke dalam alam mistis meskipun seseorang memiliki cukup pengetahuan kekuatan mistis dia tidak bisa tetap waspada 24/7 dalam rangka untuk menjaga rumahnya dari serangan mistis. rumah khas Bali biasanya memiliki dua tempat bangunan suci yang keduanya memeiliki fungsi bertindak sebagai wakil penghuni di alam mistis. Tempat suci tersebut terletak di dalam kompleks rumah. Tempat tersebut adalah Sanggah pemerajan dan Sanggah Pengijeng karang Sanggah Pengijeng karang Sering juga disebut dengan Tugu Pengijeng, Penunggun Karang atau Tugun Karang atau Tugu Karang, diterjemahkan secara harfiah menjadi "kuil untuk penjaga rumah" • kata "sanggah / tugu" berarti "tempat / bangunan suci", • kata "pengijeng" berarti penjaga. (berasal dari kata "ngijeng" berarti "untuk menjaga" atau "untuk tinggal di rumah") dan • kata "karang" berarti "halaman rumah". Sanggah pengijeng karang adalah bangunan beratap dengan permanen. ini terletak dalam rumah, Sedahan Karang boleh ditempatkan di mana saja asal pada posisi “teben” jika yang dianggap “hulu” adalah Sanggah Kemulan, kurang lebih di sisi barat laut kompleks rumah atau sisi barat bangunan “bale daja”, memiliki fungsi pelindung, penjaga, wakil dan pengasuh penghuni rumah beserta isi dari pekarangan rumah tersebut. Bangunan ini didedikasikan untuk Kala Raksa, atau Bhatara Kala - dewa roh-roh jahat. Bali percaya bahwa ketika mereka menggunakan dewa roh jahat sebagai wali, logis, tidak ada roh jahat akan berani mengganggu lingkungan rumah dan penghuninya. Seperti hal-hal lain di Bali, tidak ada keseragaman dalam nama dan fungsi dari bangunan kuil ini. Beberapa Bali mengatakan itu didedikasikan untuk Bhatara Surya, matahari. Lain mengklaim memiliki hubungan dengan tepuk kanda (kanda pat) - empat saudara spiritual dari setiap orang Bali. Kuil ini kadang-kadang digambarkan sebagai untuk keluarga. Kata "keluarga" di sini bisa berupa fisik keluarga yang tinggal dalam dinding-dinding rumah atau senyawa untuk pat kanda - keluarga mistis yang tinggal di alam mistis. Sedahan Karang dalam Lontar Sudamala dalam Lontar Sudamala disebutkan bahwa Sang Brahman Tuhan Yang Maha Esa, turun ke semesta dengan dua perwujudan yaitu sang hyang wenang dan sang hyang titah. Setelah itu beliau memiliki fungsi sebagai berikut: • Hyang Titah menguasai alam Mistis termasuk didalamnya alam Dewa dan Bhuta kala, sorga dan neraka bergelar Bethara Siwa yang kemudian menjadi Hyang Guru, sedangkan • Hyang Wenang turun ke mercapada, dunia fana ini berwujud semar atau dalam susatra bali disebut Malen, yang akan mengemban dan mengasuh isi dunia ini. Dalam aplikasinya, Hyang Titah berstana di “hulu” yaitu komplek Sanggah pemerajan, sedangkan Hyang Wenang berstana di “Teben” yaitu di komplek Bangunan Perumahan berupa sedahan karang. Mengenai bentuk bangunan juga menyerupai penokohan yang berstana didalamnya. Misalnya: stana hyang guru selalu diidentikan dengan kemewahan dan diatasnya menggunakan tutup “gelung tajuk” atau sejenisnya sebagai perlambang penguasa sorga. Sedangkan sedahan karang bentuknya menyerupai bentuk pewayangan “Malen” yaitu sederhana tapi kekar dengan atasan menyerupai hiasan “kuncung” seperti bentuk ornament kepala dari wayang semar. Sedahan Karang dalam Lontar Kala Tatwa Dalam lontar Kala Tattwa disebutkan bahwa Ida Bethara Kala bermanifestasi dalam bentuk Sedahan Karang/ Sawah/ Abian dengan tugas sebagai Pecalang, sama seperti manifestasi beliau di Sanggah Pamerajan atau Pura dengan sebutan Pangerurah, Pengapit Lawang, atau Patih. Di alam madyapada, bumi tidak hanya dihuni oleh mahluk-mahluk yang kasat mata, tetapi juga oleh mahluk-mahluk yang tidak kasat mata, atau roh. Roh-roh yang gentayangan misalnya roh jasad manusia yang lama tidak di-aben, atau mati tidak wajar misalnya tertimbun belabur agung (abad ke 18) akan mencari tempat tinggal dan saling berebutan. Untuk melindungi diri dari gangguan roh-roh gentayangan, manusia membangun Palinggih Sedahan. Karena fungsinya sebagai Pecalang, sebaiknya berada dekat pintu gerbang rumah. Jika tidak memungkinkan boleh didirikan di tempat lain asal memenuhi aspek kesucian. Dalam kala tatwa juga disinggung mengenai lahirnya Dewa Kala yang merupakan cikal bakal dari Sedahan Karang, dimana Dewa Kala dikatakan lahir saat dina kajeng klion nemu dina saniscara yang dibali dengan istilah “tumpek”. Jadi baiknya disarankan agar odalan Sedahan Karang disesuaikan dengan hari kelahiran dari Dewa yang berstana disana yaitu saat “tumpek”. Untuk itu silahkan dipilih Tumpek yang mau dijadikan odalan Sedahan Karang dari sekian banyak hari raya Tumpek dibali untuk menghormati keberadaan Dewa Kala. Sedahan Karang dalam Lontar Asta Kosala Kosali dan Asta Bhumi dalam perhitungan dasar Asta Bhumi, pekarangan rumah biasanya dibagi menjadi sembilan, yakni dari sisi kiri ke kanan; nista, madya dan utama serta dr sisi atas ke bawah; nista, madya dan utama. seperti gambar disamping. sehingga terdapat 9 bayangan kotak pembagian pekarangan rumah. adapun pembagian posisi tersebut antara lain: 1. posisi utamaning utama adalah tempat "Sanggah Pemerajan" 2. posisi madyaning utama adalah tempat "Bale Dangin" 3. posisi nistaning utama adalah tempat "Lumbung atau klumpu" 4. posisi madyaing utama adalah tempat "Bale Daje atau gedong" 5. posisi madyaning madya adalah tempat "halaman rumah" 6. posisi nistaning madya adalah tempat "dapur atau pawon / pasucian" 7. posisi nistaning Utama adalah tempat "Sedahan Karang" 8. posisi nistaning Madya adalah tempat "bale dauh, tempat tidur" 9. posisi nistaning Nista adalah tempat "cucian, kamar mandi dll" biasanya digunakan tempat garase sekaligus "angkul- angkul" gerbang rumah. setelah mengetahui posisi yang tepat sesuai dengan Asta Bhumi diatas untuk posisi sedahan karang, selanjutnya menentukan letak bangunan Sedan Karang tersebut. yaitu dengan mengunakan perhitungan Asta Kosala Kosali, dengan sepat atau hitungan tampak kaki atau jengkal tangan. perhitungannya dengan konsep Asta Wara (Sri, Indra, Guru, Yama, Rudra, Brahma, kala, Uma). adapun perhitungannya: • untuk pekarangan yang luas ( sikut satak ), melebihi 4 are atau sudah masuk perhitungan "sikut satak", posisi Sedahan Karang dihitung dengan: dari utara menuju Kala ( 7 tapak ) dan dari sisi barat menuju Yama ( 4 tampak ).adapun alasannya adalah:sesuai dengan fungsi Sedahan karang yaitu sebagai pelindung dan penegak kebenaran yang merupakan dibawah naungan dewa Yama dipati (hakim Agung raja Neraka), serta tetap sebagai penguasa waktu dan semua kekuatan alam yang merupakan dibawah naungan Dewa kala. ini dimaksudkan agar Sedahan Karang berfungsi maksimal sesuai dengan yang telah diterangkan diatas tadi. • untuk pekarangan sempit yaitu pekarangan yang kurang dari 4 are seperti BTN, posisi Sedahan Karang dihitung dengan: dari utara dan barat cukup menuju Sri atau 1 tampak saja. dengan maksud agar bangunan tersebut tetap berguna walau tempatnya cukup sempit, tapi dari segi fungsi tetap sama. menurut bapak Made Purna, salah satu narasumber dari desa Guwang Sukawati. Rumah dikatakan sebagai replika kehidupan kemasyarakatan. dimana setiap bangunan rumah adat bali tersebut memiliki fungsi yang sangat mirip dengan fungsi bangunan / pura di tingkat desa perkaman. diantaranya: • Sanggah Pemerajan merupakan Sorga, tempat berstana dan berkumpulnya istadewata / dewata nawa sanga, atau merupakan simbol Pura Dalem, • Bale Dangin, merupakan simbol Bathara Guru, dimana setiap upacara adat selalu diselenggarakan di bale ini, sehingga bale ini sering juga disebut bale bali (bali = wali = upacara), • Bale Daja, merupakan simbol Bathara Sri Sedhana, simbol kewibawaan, tempat penyimpanan harta benda, sehingga sering juga disebut dengan istilah Gedong, atau Bale penangkilan (tempat tamu menunggu), • Bale Dauh, merupakan simbol Dewa Mahadewa, balai sosial tempat beristirahat, • Bale Delod, biasanya digunakan sebagai dapur atau Paon, merupakan simbol Dewa Brahma, Dewa Agni, merupakan sumber pembakaran, pemunah tapi merupakan sumber kesejahtraan, • Sumur merupakan simbol Dewa Wisnu yang merupakan pemelihara lingkungan rumah, • Bale Lumbung atau Klumpu, merupakan simbol Dewi Sri, tempat menyimpan makanan, • Lebuh tempat ditanamnya Ari-ari, merupakan simbolHyang Bherawi, penguasa kuburan • Sedahan Karang merupakan simbol Hyang Durga Manik, merupakan Pura Prajapatinya atau ulun kuburan di rumah. jadi simbolis Hulu adalah Pura dalem (sanggah pemerajan), Teben adalah lebuh natah, tempat ari-ari yang memiliki pura prajapati bernama Sedahan Karang. Yang perlu diperhatikan, bangunan Palinggih Sedahan harus memenuhi syarat: • pondamennya batu dasar terdiri dari dua buah bata merah masing-masing merajah “Angkara” dan “Ongkara” • sebuah batu bulitan merajah “Ang-Mang-Ung”; berisi akah berupa tiga buah batu: merah merajah “Ang”, putih merajah “Mang”,dan hitam merajah “Ung” dibungkus kain putih merajah Ang-Ung-Mang • di madia berisi pedagingan: panca datu, perabot tukang, jarum, harum-haruman, buah pala, dan kwangen dengan uang 200, ditaruh di kendi kecil dibungkus kain merajah padma dengan panca aksara diikat benang tridatu • di pucak berisi bagia, orti, palakerti, serta bungbung buluh yang berisi tirta wangsuhpada Pura Persyaratan ini ditulis dalam Lontar Widhi Papincatan dan Lontar Dewa Tattwa. Jika palinggih sedahan tidak memenuhi syarat itu, yang melinggih bukan Bhatara Kala, tetapi roh-roh gentayangan itu antara lain Sang Butacuil. Jika sedahan karang di-”urip” dengan benar, maka fungsi-Nya sebagai Pecalang sangat bermanfaat untuk menjaga ketentraman rumah tangga dan menolak bahaya sehingga terwujudlah rumah tangga yang harmonis, bahagia, aman tentram, penuh kedamaian. Sumber : http://cakepane.blogspot.com/2012/10/penunggun-karang-atau-sedahan-karang.html Suksma, OM Shanti, Shanti, Shanti OM

Kamis, 12 Maret 2015

Budaya Bali

Budaya Bali Om Swastiastu, Om Awighnamastu Namo Siddham. Terlebih dahulu, saya haturkan pangaksama mohon maaf sebesar - besarnya ke hadapan Ida Hyang Parama Kawi - Tuhan Yang Maha Esa serta Batara - Batari junjungan dan leluhur semuanya. Agar supaya, tatkala menceriterakan keberadaan para leluhur yang telah pulang ke Nirwana, kami terlepas dari kutuk dan neraka. Kumpulan Mantra Bali Berikut sedikit saya share kan beberapa mantra yang mungkin akan berguna buat para pembaca yaitu: Kanda Mantra / Tingkahing Mamantra : Salewiring mantrayang, yen dereng nyarik, awya mangkana, sidi mantran (tatwan nira) yan mangkana. Mamantra : Yan sira memantra, iki linggihang rumuhun: 1. Bhatara Guru, bonkoling lidah, madyaning lidah. 2. Bhatari Bagawati, pucuking lidah 3. Kalika joti srana, bongkoling lidah 4. Sang Hyang Kedep, madyaning lidah 5. Sang Hyang Sidhi, pucuking lidah 6. Sang Hyang Mandi, Sang Hyang tri mandi ring cipta. 7. Sang Hyang mandi wisesa, bayunta 8. Sang Hyang sarpa mandi, ring sabda 9. Mandi saparaning wuwus Iki Pengater Mantra Ma : Ong ang ung, teka ater 3x, ang ah, teka mandi 3x, ang. Iki Pengurip Mantra Ma : Ang urip ung urip mang urip, teka urip 3x, bayu urip sabda urip idep urip, teka urip 3x, jeneng. Iki Surya Kembar Ma : Ong netranku kadi surya kembar, asing galang teka ulap, asing meleng teka ulap, asing mapas teka ulap, teka ulap 3x, buta teka ulap, dewa betara teka ulap, jadma manusa teka ulap, ong desti leak ulap. Iki Pengasih Ma : Teka sinang 3x, teka waye 3x, paripurna ya namah swaha. Iki Pangurip Mantra (saluwiring mantra wenang) Ma: Ong betare indra turun saking suargan, angater puja mantranku, mantranku sakti, sing pasanganku teka pangan, rumasuk ring jadma menusa, jeneng betara pasupati. Ong ater pujanku, kedep sidi mandi mantranku, pome. Iki Pasupati Ma : Ong sangiang pasupati sakti wisesa angempu wisesa, mewali wastu mantranku ngarep, prekosa aeng angker wastu mantra menadi pasupati, sastra mantra mahasaktyem, ping siyu yuta angker ping siyu sakti, Ong wastu tastasku, Ong ping siyu yuta, Ong Ang Mang swaha, Ong 3x, Ang 3x, Ong 3x. Iki pyolas Sa : roko upinang ping 3, Ma : Om sangiang gni rumusup atine…..gadak uyang atine… aningalin awak sariranku,kedep sidi mandi mantranku, lah pomo. Iki Pangarad Ma : Ih, Semar lungha ametan atmanne …….. ring tengahing (telenging) soca kiwa tengen, gawanen ring awak sariran ingsun, lah poma 3x deleng. Sesirep Reh asidakep Ma : Om brahma sirep, manuse sirep, kala sirep, anata riarepku, teke mendek, masidakep, rep sirep, kukul dungkul kukul, rep sirep. Pangurip sarana Ma : Om bayu sabda idep, urip bayu, urip sabda, urip sarana, uriping urip, ya nama swaha. Urip 3x Pangurip rerajahan Mwang salwiring mati Sa ; wnang Ma : Om aku sakti, urip hyang tunggal, lamun urip sang hyang tunggal, urip sang hyang wisesa, teka urip 3x Pangijeng dewek lwih Sa : keneh Ma : Ih, meme rambut gĕmpĕl, masusu lambih, pyak kaja pyak kelod pyak kangin pyak kauh, lah pada pyak ingsun di tengah, poma 3x Iki Pamancut salwiring guna (kaliput baan guna) Sa : Toya ring batok areng, Utawi: Yeh pasereyan tunun, kayehang wong agring, Ma : idep aku meme bapa pertiwi akasa, saguna japa mantra lekas, sama kamisayan, satru musuhku wus, kabancut 3x. Iki Punggung tiwas Sa : engkahin siwa dwaran wang gering Ma : Om beh sang sem em 6x, waras Sa : yen arep wisesa sakti, genahang padma wredaya ring raga, masarira brahma. Ma : ang brahma ngesam ya namah, (uyup 3x) Penglukatan, Penyepuh ring Raga Sa ; - Nyuh Gading, - Ambengan 9 katih tegul aji benang, - Ketisang tunas lantas anggon mandus. Ma : Ang ung mang, ung man gang, mang ang ung, ang ah, ah ang, mang. (3x) Iki Pamatuh gring Sa : kasuna jangu, Ma : Ih batara bima sakti, anglebak ikang bwana, amepet maga gering kabeh, teke pepet 3x, patuh 3x. Iki Pematuh Leak Agung Sa : sakawenang, Ma : Hih guru metas 3x, kala mimpas 3x, teka patuh 3x. Pamatuh Ma : ingkup patuh 3x, upinang ping 3 Sa : sakawenang, Ma : Idep aku sang hyang tunggal, amatuhana bwana kabeh, surya candra, lintang tranggana, patuh gni banyupatuh, angina patuh, jadma manusa patuh, apan kapan kasidyan nira sang hyang tunggal, amatuhana sakawenang, patuh ingkup. Sa : saka wnang Ma : Om bayu teka, desti lunga, brahma punah, wisnu punah, tunggal punah – punah kita kabeh, tan tuma maha ring awak sariranku, teke punah 3x. Pamatuh sarwa tenget Sa : sekar amanca warna, yeh anyar Ma : Ih, ngadeg batara indra, patuh, batara sangkara, batara brahma, batara wisnu, batara siwa, empu ijambangan nyai, apang melah, poma 3x Pamatuh buta kala ngandang Ma : Om buta kala ngandang – ngandang, teke apatuh ingkup, maring awak sariranku, teka patuh tan tuma ma ring awak sariranku, aku sang hyang licin, tan kasaran kaungkulan, dening buta kala dengen, aku sakti wnang, ang ung mang, kedep sidi mandi mantranku. Pangimpas kala Sa : sakawnang Ma : Om durga singgah, kala singgah, buta singgah, dengen singgah, sing pasyung pada singgah, teka pyak 3x (upinang 3x). Panundung buta kala Sa : wnang Ma : Ih buta kala, away kita ingkẽnẽ, aku rumawak sang hyang brahma, wnang aku amatinin kita, mundůra sira mangkẽ, aja swẽ, tka mundur 3x, tan pawali kita munggwing untat teka mundur 3x. Iki Mantra Mejalan Sa : reh amecik cunguh Ma : Om aku angempet bayun satru musuhku, aku angempet kaketeg satru musuhku, teke sirep. Iki Pangurip bayu Sa : reh angupin, Ma : apurani mulih kebanyumu lekah. Iki Mantra Salwiring Tamba Ma : Ung, Ang, Ong, Mang, Yang, Wang, Ung, wnang angilang lara wigna dentas waras. 3x. Iki Pametus mwang Kakambuh Ma : Om ibu pertiwi, ingsun anjuluktuturut kambut, agung mepengen , gegeran 3x. Iki kaputusan sangut Sa : kedek, Ma : Om kaputusan sangut, metu saking swargan, mengaji sarwa ningasih, betara siwa nembah asih batara iswara asih, teka pada lenglog atine, jengis asih, sing teka pada nyelo ring aku, aku pangawaking sampyan mas, turunan ring swargan agung, poma. Iki Mantran salwiring Karya Sa : yan sira akarya salwiring karya, iki regepang, Ma : batara brahma makarya, batara wisnu anylehin, batara iswara mituduhin. Iki Pangurip Mwang Mresihin (nguripang mwang mresihin salwiring karyanin) Ma : batara brahma makarya, batara wisnu angurip, batara iswara mresihin, teke hning. Iki Pamunah Pnawar Sa : sakawenang, pangan akna. Ma : Om, ak 3x, ik 2x, jah tatawar 3x, dah 3x, ah 3x, hep 2x, sing glar 3x. Iki Sarinning Pancar Sona “Ng” mantra dahat lewih, away wera juga, pingit akna. Ma : Umoring sastra, sastra sapta karana, modra sana kapangan kinum, satus tahun ida tan keneng lara-lara atwa anom manih, dening sarining aji pancar sona, teken 3x. Lekasnya anulak lakan ; ambeng “ng” mekek bayu, sing dadi macelegekan, upin ping3. Iki Pamungkem Sa : muncuk dapdap sekar akna Ma : ung, ang, mang, idep aku anunggal jaran wilis, ngagana lampahku, sapa wani tuminghal uripku, sing madeleng pada bungkem, Kumedap-kumedip bungkem, kumangkang-kumingking bungkem, gajah warak bungkem, teka kekel bungkem. Sa : mica 7 besik, wus amantra sembar akna. Ma : Om kala kalika bungkem, dewa dewi bungkem, dewata dewati bungkem, kumangkung kumingking bungkem, gumatal gumitil bungkem, manusa bungkem, asu bawi bungkem, aku kibungkem, amungkem manusa kabeh, teke bungkem bulangkem, mantranku sidi. Pamungkem leak Sa : yeh anyar sirat akna Ma : Isaya muksana, tananataya, kedep sidi mantranku. Pamungkem cicing Sa : segan kepel 1 Ma : Om brahma bungkem, wisnu bungkem, sakutu kutuning brahma bungkem. 3x Pamungkem tabwan Puja ring sor : Om Om krihi swaha, angrong. Ma : om umah – umah (semburin tri ketuka), Om sring waha swaha. Iki Tatulak Buyung Sa : toya mawadah sibuh cemeng, sekar jepun 1 rinebok ring toya, wus minantra siratin wangke ika ping 3, ilang ikang buyung. Ma : bismi lara, menana kembi lara, sapasang, mulih imingmang cemeng sube dini. Tatulak bebai Sa : toya ring caratan, siratin sang kena babai, ider kiwa nemu glang apisan. Ma : Lenda galuh, sang gara galah, janas aranmu lahmu. Aji papeteng Sa : buk areng sambuk. Ma : Idep aku sarwa pteng, pteng ngaputih. Sa : buktibā kna ring wang. Ma : Ih tekep akasa lawan pratiwi, atekep anakanakan matane wong kabeh, tka pteng dedet kapalingan, jeng. Pangembak pameteng Ma : Ih buta seliwat, sapangempet ring marga agung, sereg 3x, teke pyak 3x. Om diding diding, dedong dewa, magdi durinku, raksa sang mentas, ika mimpas. Iki sarining sang hyang mandi, yan sira arep mangrangsukang busana rēh akna ring sma rumuhun, sira anglekas kawasa sira sakarep, tan alekas. Ma : Ih pajalingang ipajelingung, pajalango 3x. idep aku sarining sang hyang mandi, aku katinggalan, aku tan katon, jeng. Sesirep utama Sa : Sang Hyang Licin. Ma : Om desti sirep, manuse sirep, kebo sampi sirep, sang gumatat gumitit sirep, kumangkung kumingking sirep, gandarwa gandarwi sirep, widyadara widyadari sirep, sami pade sirep, wong manuse kabeh. Reh asidakep Ma : Om brahma sirep, manuse sirep, kala sirep, anata riarepku, teke mendek, masidakep, rep sirep, kukul dungkul kukul, rep sirep. Niyan sang hyang aji susupan Sa : asep asepan adjana kunang, rẽhnya angrana sika, masarira aku mawak batara guru murti sira panca muka, dasa buja, tri netra kita ring sawulu wulu, ingidep iparek ring dewata nawa sanga, lwirnya : wisnu, sambu siwa, waruna. Ma : Om baga bajra, banata dewa purasti guru, pirowaca ada raksa sang mretyu sada, Om wang nang, giri suksma nyjana, dēna marayangku, to dewa sangha. Om dat dewati prasta diswaha sakti. Pangraksa jiwa/urip Ma : Om hrong krong siwastra rajaya namah swah. Pangidep ati Sa : wnang pangan Ma : Pukulun sang hyang tutur mēnget, tutur jadi, sumusup ring adnyana hning, sing tinular isep. 3x leaksih, jadma manusāsih, dewa betarāsih, teka patuh ingkup, asih dẽnawlas, Om yang tunggal prama sakti ya nama. Mandi sakecap Uncar ping 3 Ma : Om ta sakti, sidi pujaning dewa sakti, asidi sakti. Pangurip bayu Sa : sakawenang Ma : Om bayu sugriwa mungguh ring netra kiwa, bayu anggada mungguh ring netra tengen, bayu anoman mungguh ring tungtunging wulat, bayu wayawa mungguh ring idep, bayu ongkara mungguh ring slaning ati, angalapana sakwehing lara, tuju tluh tranjana, ila – ila upa drawa, nguniwēh danda upata, apan nyanu anglebur mala, anglukat lara, teka muksah 3x. Sa : reh angupin Ma : apurani mulih kebanyumu lekah Pangenteg bayu Sa : toya anyar mewadah sibuh cemeng, madaging pucuk bang. Ma : Sabda matemu pada sabda, idep matemu pada idep, bayu matemu pada bayu, urip matemu pade urip 3x Kaputusan Dalang Putih Sa : lunglungan, sumpingakna, yan angamēt tan kawasa lawatin Ma : Idepaku anaking dalang putih, adoh aku tan katututan, parek aku tan kena ginamelan, apan aku anaking dalang putih, tka bungeng – bungeng Iki panglebur lara roga, mwang kenēng upa drawa, mwang dening durjana, mwang ipyan ala, kalebur dēnya Sa : yeh Ma : sang, bang, tang, ang, ing, tirta paritra, ang ung mang enyana, Om mrtha. Pinungkul agung Sa : wnang, reh wnang Ma : Ung, ung batara kala, duk tuman ceba ring pretiwi akasa, Om ang mang. 3x Pangurip sarana Ma : Om bayu sabda idep, urip bayu, urip sabda, urip sarana, uriping urip, ya nama swaha. Urip 3x Pamageh urip/bayu Ma : Om ring siwa dwara, ang ring nabi, mang ring mula kanta. Upin ping 3 (uncar akna sadina – dina) Pangurip rerajahan Mwang salwiring mati Sa ; wnang Ma : Om aku sakti, urip hyang tunggal, lamun urip sang hyang tunggal, urip sang hyang wisesa, teka urip 3x Sarining dewa Lekas akna ring jalan Ma : Idep aku sarining mantra, idep aku sarining dewa, aku maged di marga agung, sing tumingalin sariranku teka asih Pagmeng Sa : idu bang, basmākna Ma : raksasa ring arepku, macan ring wuringku, bwaya ring sukunku, gelap ring luhurku, minaka swaranku, teka rep Pangijeng dewek lwih Sa : keneh Ma : Ih, meme rambut gĕmpĕl, masusu lambih, pyak kaja pyak kelod pyak kangin pyak kauh, lah pada pyak ingsun di tengah, poma 3x Paneduh Salwiring galak Sa ; yeh raupang ping 3 Ma : Pakulun salegatan, mullah, buta teduh dewa teduh angina teduh, Om gni teduh, (syanu………..) teduh, sing kala kon pada teduh, aku dewaning teduh, sing kauca pada teduh Mantra satus Ma : Om tarĕ – tarĕ, turĕ – turĕ, sarwa jagat prewisnu, presolah wicĕt swaha. Yan mahyun asihin ring rat, mantra ping 10 Yan mahyun angilangakna karya, mantra ping 7 Yan mahyun kasubagan mwang kawerdyaning wadwa, mantra ping 6 Yan mahyun angilang akna dengen mwang desti mantra ping 12 Sadananya angusap angga away lupa Ma : Om prajopaya sakti maha mo wani sakaya, yawe namo nama swaha 3x JAPA Nyatur Desa Sanghyang brahma marep daksina, pala dirgayusa Ma : Om ang nama swaha 9x Sanghyang mahadewa marep pascima, kaswastaning sarira Ma : Om tang nama swaha 9x Sanghyang wisnu marep uttara, mangilangang papa klesa mwang satru Ma : Ung, ung nama swaha 9x Sanghyang sada siwa, kasidyan sira, labda jnana awak… Ma : Om ang ung mang nama swaha 9x Pangarad dewa Ma : Om ang mang 3x Uncar akna pacang pules/sirep, uncar ping 9. Ma : Om taya-pangaradan dewa. Pangeseng salwiwing pangan Ma : Ih, bungutku paon, lidahku api wetengku segara, sing manjing, geseng 3x Pangeseng gring ring sariranta Usapang ping 3 Ma : ang ah, ang ring nabi, agni prekreti. Ah ring siwadwara, banyu prekreti. Dudut akna imeme lawan I bapa. Idep imeme matemu lawan I bapa. Wus angidep metu mantra Ma : Ang, gni ring tungtunging lidah. Ah, toya ring madyaning lidah, turun mari tinggal, geseng akna ring madyaning lidah, gseng lebur, anyudang ka segara gni, tke lebur 3x. ang ah. (uncar akna rikala purnama tilem) Mantra wawu bangun Rikalaning matangi, jerih satru desti Ma : Om lpang. Upinang ping 3 Nundung gring Ma : ung ang. Om mang yang wan gung, waras dĕnya. Upin ping 3 Pangijeng dewek Ma : Ih. Cai anggapati, marep ring wuri, ang swaranya, kuning tadah sajinira. Cai mrajapati, marep ring kiwa, ang swaranya, ireng tadah sajinira. Cai banaspati, marep ring tengen, om swaranya, abang tadah sajinira. Cai banaspatiraja, marep ring arep, om swaranya, petak tadah sajinira. Yen ana musuhku dursila ring bli hade bahanga, empu bli apang melah, poma 3x Panawar Sa : uyah Ma : Om segara ring wetengku, brahma ring cangkemku, sing manjing pada geseng, campah tawar 2x (tahap akna) Pamyak kala Ma : dewa pyak, manusa pyak buta dengen pyak, sami pada pyak 3x Ma : Om. Lor pyak 3x, kulon pyak 3x, kidul pyak 3x, wetan pyak 3x, Om. Brahma pyak 3x, wisnu pyak 3x. upinang ping 3 Pamandi swara Ma : Om apitana, batara wisnu batara brahma batara iswara. (uyup ping 3) Gniastra Ma : ang bang, gni astra murub kadi kala rupa, anyapu awu, durga lidek teka geseng, aku sanghyang cintya gni ambalabar, gni ajagat, buta geseng, tan palatu latu, teka geseng 3x Surya putih Iki Pangempet bulu, panyaga dewek, mereh ring capcapane Ma : ah ih uh, mram 3x. ang 3x. ung ang ah. Uyup ping 3 Paklid musuh anak ngiwa Ma : Ah Ang 10x uyup ping 3 pangemit ring margi Sa : reh amecik cunguh Ma : Om aku angempet bayun satru musuhku, aku angempet kaketeg satru musuhku, teke sirep. Iki Panglupa Sa : reh nuding asuku tunggal, apang lupa… Ma : Ih, nini lupa, kaki lupa, manusa lupa, dewa lupa, Om suniya lupa kabeh. Iki Punggung tiwas Sa : engkahin siwa dwaran wang gering Ma : Om beh sang sem em 6x, waras Sa : yen arep wisesa sakti, genahang padma wredaya ring raga, masarira brahma. Ma : ang brahma ngesam ya namah, (uyup 3x) Japa mantra Yan arep ngandupang sarwa wisesa Sa : manusa sakti gnahang ring ampru Ma : Om ang, ung yang sarwa wisesa ya. (uyup 3x) Yan arep dharma sakti Sa : manusa sakti gnahang ring karma, masarira guru Ma : Ung, ang, ung mang siwa murti prama saktyem (uyup 3x) Mantra uttama, yen arep wisesa Sa : tabuh wetista 7x Ma : Om Yen arep kasihan Sa : tabuh sukunta 7x Ma : Om Yen arep ngidih/nunas Sa : tabuh wetista 7x Ma : Om lengleng Yen arep wang istri Sa : tabuh purusta 7x Ma : Om sang Yen arep abusana Sa : dada tabuh 9x Ma : Om sang mulih ring raga utama, utamaning sapta aksara, panunggalan. (panunggalan di ati apang singid).

Upacara Satu Otonan

Ida Pandita Dukuh Celagi Upacara Satu Otonan Upacara ini dilakukan setelah bayi berumur 210 hari, pada saat ini kita akan bertemu dengan hari yang sama seperti saat lahirnya si bayi, dan selanjutnya untuk mengingat dan menyucikan lahir batin dilakukan setiap 210 hari yang membedakan ada beberapa upakara, jenis otonan ada yang disebut otonan tuwun tanah, otonan menek kelih (meningkat dewasa ) otonan setiap enam wuku dan otonan saat meninggal yang merupakan upacara terakhir di manusa yadnya. I. Sarana/ Upakara : a. Sorohan Banten Pengeresikan 1. Banten bayakaonan 2. Banten tebasan Durmanggala 3. Banten Tebasan Prayascita 4. Banten Pengulapan 5. Banten ririan/eteh-eteh pengelukatan. b. Banten Upasaksi ring surya : Banten Pejati, Banten Suci Asoroh jangkep, Klungah Nyuh Gading (1) kinasturi c. Banten Upasaksi ring Bale Agung Banten Pejati dengan tumpeng Putih Kuning dan nasi ajuman warna Putih Kuning , Banten Suci asoroh jangkep. d. Banten munggah ring kemulan. Banten Pejati dengan tumpeng Putih Kuning dan nasi ajuman warna Putih Kuning, Banten Suci asoroh jangkep, tempat tirta untuk mohon tirta pengelukatan Ring Hyang Kemulan. e. Banten pajotoan : hiyunan dimasing-masing pelinggih yang ada seperti tugu karang, pengerurah , perantenan, sumur dan pelinggih lainya bila ada. juga soda yang dipersembahkan kepada para leluhar biasanya ditempatkan dibele tempat upacara atau dipelinggih dewata-dewati bila ada. f. Banten Ayaban : Daksina (2) soroh, Suci jangkep asoroh, Banten Pejati asoroh. Banten Ayaban tumpeng (21) asoroh, atau sesuai memampuan. Banten sambutan, Banten Jejanganan Banten sesayut pemiyak kala. Banten sesayut Bayu rauh sahi, Banten sesayut pengenteng bayu, Banten sesayut Siddha sampurna. Banten sesayut lara melaradan. Banten Kumara asoroh. Banten Pengideng-ideng. Banten Pewintenan saha pemetikan. Banten parurubayan. g. Banten Turun tanah. h. Banten ditempat ari-ari : Di sanggah cucuk banten ajuman putih kuning, canang legewagi buratwangi, kekiping biyu mas, sanggah cucuk digantungi sujang 4 buah berisis toya, berem, tuak, arak. Dibawah sanggah cucuk : Banten Dapetan, Banten Pengideng-ideng asoroh dan nasi kepelan 4 kepel dengan warna masing-masing putih,kuning merah, hitam. i. Banten Penyanggra : Banten Pengedek/panuwuran pemangku, Banten arepan Pemangku . II. Tempat Pelaksanaan : dilakukan didalam lingkungan rumah Setelah selesai rangkaian persembahan diatas, acara selanjutnya jro mangku mulai mengupacarai si bayi dari natab byekala, durmanggala, Prayascita, Pengulapan, dilanjutkan dengan ngelukat dan mesesari, namun sebelumnya untuk penempatan para dewa, atma, kala sibayi di posisinya sesuai diatas dengan puja pengatangan dewa si bayi. diteruskan dengan penjaya-jaya sibayi. Acara dilanjutkan dengan Persembahyangan ( Kramaning Sembah ditambah dengan muspa kepertiwi, ke kawitan ) setelah selesai persembahyangan semua tirta yang dimohon diturunkan di percikkan dahulu dimasing-masing upakara lalu kepada dibayi, baru sibayi natab banten pawetonan dari natab sesayut, pengambian, dapetan terakhir banten peras dan dilanjutkan dengan puja ayu werdhi. Selesai natab banten pawetonan acara dilanjutkan dengan upacara bayi tedun ketanah sebagai simbolis si bayi baru pertama kali menginjakkan kaki ketahan, mohon kehadapan ibu pertiwi untuk menuntun sibayi agar dapat berjalan dengan sempurna dan memberikan energi yang posif terhadap si bayi. Saran : Selain banten pejati di haturkan kepada pertiwi, juga dilengkapi dengan Sangkar yang baru dihiasi dengan jejahitan sasap, tangga menek, tangga tuwun, Tempat yang pakai untuk menurunkan si bayi dilakukan halaman merajan ( Sanggah ) yang tanahnya digambar dengan gambar bedawang dililit naga, ditengah bedawang ditulis aksara Angkara. juga sebuah pane berisikan air, ikan hidup, bungkung gelang dan permata. Tata cara pelaksanaan : Upakara turun tanah dihaturkan terlebih dahulu dengan pengastwa kepertiwi dilanjutkan dengan mantra : Om pukulun kaki citra gotra, nini citra gotri, ingsun amwita nurunaken rare, ameng ameng ring lemah turun ayam, amang-ameng sarwa kencana ratna, Sri Sadhana, ameta urip wara, dirgayusa, teguh timbul, akulit tembaga, awalung wesi, ahotot kawat, mulih maring raga walunane si jabang bayi, den kadi langgenganira, sang hayng surya candra. Mangkana langgeng ne urip si jaban bayi, Om siddhir astu astu. Setelah puja diatas, sibayi dimasukkan kedalam sangkar sebanyak tiga kali dengan puja : Om tebel Akasa, Tebel Pretiwi, mangkana tebel atma jiwitane si jabang bayi. Setelah itu dibayi berjualan kepada masyarakat . (Medagang-dagangan ) Setelah acara diatas sibayi disuruh atau diarahkan oleh orang tuanya untuk mencari segala perhiasan, ikan yang ada didalam pane yang berisikan air. Dari acara diatas kita sudah diberikan suatu pendidikan dalam menghadapi hidup ini supaya menjaga sehatan, diberi dasar perekonomian dan keuletan dalam segala usaha hal ini disimbulkan dari bayi di kurung dalam sangkar, berjualan dan mencari makanan dan kekayaan dengan ulet dan sabar . Setalah persembahan diatas dilakukan persembahyangan (Kramaning sembah) dilanjutkan metirta, mebija . Lalu natab banten pengepungan dan pengilenan banten tersebut kepada si bayi, isi banten pengempungan diberikan untuk dinikmati dan gusinya disentuh-sentuhkan dengan daging dari sesajen tersebut. Setelah itu dibayi natab benten peras pengempungan dan ngelebar banten semuanya. Upacara Tanggal Gigi Pertama Upacara ini bertujuan mempersiapkan si anak untuk mempelajari ilmu pengetahuan . Waktu pelaksanaan : Pelaksanaan upacara tanggal gigi ini dapat dilakukan pada hari otonan sianak setelah tanggal gigi. Atau kalau dilakukan pada saat tanggal gigi upakara yang dibutkan yaitu banten byakala, sesayut, tebasan dan canang sebit sari, upakara ini dipersembahkan kepada dewa surya sebagai saksi, mohon keselamatan sianak. Tata Cara pemujaan : Pemujaan persembahan diaturkan kehadapan Ida sanghyang widhi dan dewa surya sebagai saksi. Si anak ditatabkan biya kala, dilukat setelah itu melakukan persembahyangan terakhir natab banten sesayut dan tebasan. Banten Pengeluhuran kumara ; Canang raka canang legewangi burat wangi, sogohan putih kuning, banten terakhir untuk dikumara karena anak tersebut sudah diemban oleh sanghyang kumara dan sianak tidak lagi menggunakan kumara ditempat tidurnya. OM TAT SAT. OM SANTHI SANTHI SANTHI OM.

Upacara Kelahiran (Jatakarma Samkara )

Ida Pandita Dukuh Celagi Upacara Kelahiran (Jatakarma Samkara ) Upacara ini dilakukan oleh keluarga yang mempunyai anak, sebagai pemangku wajib memberikan tuntunan terhadap beberapa pelaksanaan yang harus dilaksanakan pada saat kelahiran seorang anak seperti : proses mreteka ari-ari dan beberapa upakara yang harus dipersiapkan baik untuk dihaturkan kepada hari-hari maupun kepada si bayi. Pada saat bayi baru lahir sesudah dimandikan kewajiban dari keluarga terutama si ayah agar membisikan mantra Gayatri keteliga si bayi sebanyak tiga kali, supaya bayi tersebut selalu mendapatkan perlindungan . Untuk proses ari-ari agar sebelumnya ari-ari (plasenta ) tersebut dimandikan /dicuci bersih, telah bersih ari-ari tersebut diletakkan pada tempat priyuk tanah yang berisi penutup sebelumnya priyuk tersebut dicuci dan pada dasar dalam priyuk di tulis aksara : OM ANG AH sedangkan pada penutupnya ditulis aksara Omkara, setelah itu plasenta dimasukan kedalam priyuk tadi dengan posisi yang baik dan didalamnya diisi seperti rempah-rempah, bunga-bunga wangi, sedah selasih, lekesan, kawangen dengan jinah 11 keteng, lontar yang panjangnya asangsang gulya dengan tulisan Bali “ Om Sang Tabe Ya Pakulun “ bertuliskan bali dan diisi perlengkapan pelajaran seperti : buku tulis, pensil diatasnya diisi ijuk setelah itu baru ditutup atau juga dapat dipakai sebutir kelapa yang dibelah menjadi 2 yang didalamnya isinya sama seperti diatas, kemudian priyuk atau kelapa tersebut dibungkus dengan kain putih. Kemudian buatkan lobang didepan pintu rumah dimana bayi tersebut ditidurkan, jika bayi tersebut laki-laki ditanam disebelah kanan dari pintu masuk, jika perumpuan ditanam disebelah kiri dari pintu masuk. Setelah dibuatkan lobang kira-kira 35- 40 Cm lobang tersebut disiram sedikat dengan air bersih lalu diasapkan setalah itu ambil ari-ari yang sudah dibungkus tadi dengan kain putih sebelum dimasukkan didalam lobang yang melakukan penanaman mengucapkan atau membacakan puja kehadapan ibu pertiwi sebagai permakluman dan ijin untuk menanam ari-ari dan senantiasa si bayi diberikan perlindungan . Puja : Om Sang Hyang Ibu Pertiwi ,meraga bayu amretha sanjiwani, ngamrethaning sarwa tumuwuh, puniki ari-arin nyane si jabang bayi, kaatur ring Ibu Perthiwi, wehana waranugraha ring si jabang bayi, mangda anutugaken tuwuh ipun, lah poma-poma-poma . Setelah pengucapan sehe diatas baru dilakukan penanaman terhadap ari-ari tersebut dan ditimbun dengan tanah sebelumnya diisi bambu/buluh atau pipa, guna memasukan air nantinya keari-ari tersebut. Setelah itu diatasnya ditindih dengan batu pipih dan ditanam pohon pandan wong, di kurung dengan sangkar ayam agar aman dari hewan lainnya. Untuk tempat sang catur canak dibuatkan sanggah cucuk (sanggah segi tiga ) kalau dulu diatapnya dipakai lapisan kelopak bambo dan ijuk ditancapkan didepan tempat menanam ari-ari tadi. Upakara : Upakara pada saat ini disebut dengan upakara ” Pemapag –Rare “ . Banten yang dihaturkan pada saat penanaman ari-ari : A. Untuk disanggah cucuk canang dengan bunga–bunga yang harum dan tidak boleh berwarna merah. berisi nyanyah geringsing. B. Dibawahnya nasi kepelan empat buah dengan warna masing-masing, kepelan putih, kepelan Merah, kepelan Kuning dan kepelan hitam . Banten ini dihaturkan setiap hari ditempat tersebut. Sedangkan untuk sibayi dibuatkan Banten dapetan asoroh dan jerimpen punggul asoroh, dihaturkan ditempat bayi tidur mohon kepada Ida Sanghyang Widdhi dan para leluhur yang manumadi agar diberikan perlindungan dan keselamatan pada dibayi. Pada upacara ini tidak ada pakai tirta untuk si bayi . Setiap hari selama 7 hari ditempat penanaman ari-ari tersebut dihidupkan tabunan dan lampu. Setelah pusar bayi lepas, dibuatkan upacara yang disebut dengan banten kambuhan, pada saat ini dibuatkan perlengkapan sebuah kumara digantung diatas tempat tidur si bayi dengan bantennya: Canang sari, Nyanyah geringsih, minyik-minyikan ( bungan-bunga yang harum kecuali bunga berwarna merah ) kekiping biyu mas, dikumara dengan dasarnya yaitu beras berisi isi daksina telor ayam kampung. Untuk tali pusarnya yang lepas dibersihkan dikeringkan dan setelah kering dibungkus didalam ketipat kukur berisi anget-angetan (rempah-rempah) dibungkus dengan kain putih digantung di teben/disamping si bayi tidur. Banten yang dihaturkan disanggah cucuk ditempat ari-ari ditanam yaitu : banten punjung putih kuning maulah taluh. Canang geti-geti, canang raka, lenge wangi buratwangi, dibawah sanggah cucuk tempat menanam ari-ari, nasi kepelan 4 kepel menjadi dua tempat. Banten yang dihaturkan di kumaranya si bayi dipersembahkan kepada sang kumara agar memberikan perlindungan dan keteguhan jiwatman sang bayi. Sedangkan untuk disanggah cucuk upakara dipersembahkan kepada Hyang ibu pertiwi mohon perlindungan agar bayi dirgayusa, panjang yusa. Pada saat ini sang catur sanak ditempat penanaman hari-hari diberi tirta pengelukatan. ====Selesai ===== Ida Pandita Dukuh Celagi Upakara Kambuhan ( 42 hari ) Upacara ini dilaksanakan pada saat bayi berumur 42 hari yang sering disebut upacara bulan tujuh hari, tujuan upacara ini untuk membersihkan secara lahir dan bathin sibayi dengan ibunya. Disamping juga untuk membebaskan si bayi dari pengaruh–pengaruh negatif (mala ). A. Saran / Upakara : Upakara yang diperlukan pada bayi yang berumur 42 hari sebagai berikut : 1. Sorohan Banten Pangresikan : - Banten bayakaonan - Banten tebasan Durmanggala - Banten Tebasan Prayascita - Banten Pengulapan - Banten ririan/eteh-eteh pengelukatan . 2. Banten Upasaksi ring Surya : Banten Pejati, Banten Suci Asoroh jangkep, Klungah Nyuh Gading (1) kinasturi. 3. Banten munggah ring Brahma : Banten Pejati dengan tumpeng Merah dan nasi ajuman warna merah, Banten Suci asoroh jangkep, tempat tirta untuk mohon tirta pengelukatan Brahma. 4. Banten munggah ring sumur : Banten Pejati dengan tumpeng Hitam dan nasi ajuman warna Hitam, Banten Suci asoroh jangkep, tempat tirta untuk mohon tirta pengelukatan ring Wisnu. 5. Banten munggah ring kemulan : Banten Pejati dengan tumpeng Putih Kuning dan nasi ajuman warna Puith Kuning, Banten Suci asoroh jangkep, tempat tirta untuk mohon tirta pengelukatan ring Hyang Kemulan. 6. Banten pajotan : hiyunan dimasing-masing pelinggih yang ada seperti tugu karang, pengerurah, dan pelinggih lainnya bila ada juga soda yang dipersembahkan kepada para leluhur biasanya ditempatkan dibale tempat upacara atau dipelinggih dewata-dewati bila ada. 7. Banten Ayaban : Daksina (1) soroh, Suci jangkep asoroh, Banten Soroan asoroh, Banten Ayaban tumpeng (5) asoroh, banten Sesayut Chandra Geni asoroh. 8. Banten pacolongan : Banten Pemali, Banten Pacolongan, Banten Papah bolong asiki, Paangan nyuh kari katur bungsil nyane, ayam luh muani. 9. Banten ditempat ari-ari : Di sanggah cucuk banten peras tulung sayut (satu ) canang lenge wangi burat wangi, banten dapetan, dibawah sanggah cucuk : nasi kepelan empat warna maulam bawang jahe. 10. Banten Penyanggra : Banten Pengedek/panuwuran pemangku, Banten arepan Pemangku. B. Tempat pelaksanaan : Keseluruhan rangkaian upacara kambuhan dilaksanakan didalam lingkungan rumah, didapur, disumur/dipermandian, dihalaman rumah dan disanggah kamulan . Inggih asapunika munggwing palet-paletan rikala jaga ngilenin akambuhan. Setelah selesai rangkaian persembahan diatas, acara selanjutnya jro mangku mulai melakukan pengelukatan kepada si bayi maupun kedua orang tua sibayi, yaitu : 1. Menjalankan eteh-etah pengeresikan kepada si bayi ,juga kepada bajang colongnya, lalu kedua orang tuanya. Setelah selesai menjalankan penyapsapan dilanjutkan dengan natab pabiyakaonan ( Pengastawa diantar oleh jro mangku ) natabnya dibagian bawah (dikaki ). 2. Natab Banten Tebasan Durmagala urutan pelaksanaannya sama seperti diatas. Natabnya dibagian dada. 3. Natab Banten Prayascita urutan pelaksanaannya sama seperti diatas. Natab dibagian kepala. 4. Setelah itu jro mangku melakukan pengelukatan kepada si bayi juga kepada pacolonganya dan kedua orang tuanya dari tirta yang sudah dituwur oleh jerong mangku dilanjutkan dengan pengelukatan tirta yang dimohon dari Bhatara Brahma yang ada didapur, juga tirta yang dimohon ditempat sumur. 5. Setelah selesai pengelukatan si bayi mesesarik dengan mengelang benang Hitam, dan natab banten Pengulapan. 6. Acara sesudah pengelukatan dan pengulapan dilaksanakan si bayi dan kedua orang tuanya melakukan pemuspa bersama di pemerajan, sibapak memangku anaknya si ibu memangku colong papah lalu dilakukan persembahyangan bersama dengan parikramaning sembah. Setelah selesai pemuspan dilaksanakan mohon tirta ring Sanghyang Agni dan Bhatara Guru Tiga Wisesa, Tirta disiratkan pada semua banten dan ditempat ari-arinya, baru si bayi bersama pacolonganya dan kedua orang tuanya dilanjutkan dengan mebija, kemudian setelah pemuspanan tersebut ada tata cara penukaran si anak dengan pacolongan papah, ( biasa dialong dengan si ayahnya yang membawa bayi bahwa sang ibu minta bayinya karena bayinya bukan colong papah, sebelumnya si colong papah ditukar diberikan simbolis makanan dan air yang ada dibanten pecolongan. baru setalah itu diadakan penukaran si bayi dengan colong papah. Lalu colong papah di buang keluar rumah biasanya diletakan dipinggir sungai dengan bebantennya. 7. Acara dilanjutkan dengan natab banten ayaban kepada sibayi (banten pengambian ) mantra : Om Pakulun sanghyang sapta petala, sanghyang sapta dewata,sanghyang besrawana, sangghyang trinadi, panca kosika sira sanghyang premana, mekadi sanghyang Urip, sira hamagehaken ri sthanan nira sowang-sowang, pakenaning hulun hangawruha ri sira, handa raksanan den rahayu, urip waras dirghayusa sang ingambyan. Om Siddhir astu ya namah swaha . 8. Natab Banten Peras Om panca wara bhawed brahma, wisnu sapta wara waca, sad wara iswara dewasca, asta warah siwajneyah. OM kara murciate sarwa pras prasiddha ya namah swaha . Om Sriyam bawantu, sukiam bawantu, purnam bawantu . 9. Dilanjutkan mantra ayuwerdi : OM Ayu werdhir yaso werdhir, wrddhir prajna sukha sriyam, darma sentana wrddhis’ca santute sapta wrddayah. Yatha meru sthito dewah, yawad gangga mahi tale, chandrarkan gagane yawat, tawad wa wijayi bhawed. Om sriyem bawantum, om sukham bawantu, om purnnam bawantu, om sapta werdhir astu . (Si bayi bersama sang Ibu melebar banten Peras ) dengan demikian berakhir sudah upacara 42 hari si bayi. Astungkara. Upacara Tiga Bulan Si Bayi Upacara tiga bulan ini dilakukan setelah si bayi berumur 105 hari diantara beberapa upacara yang berkaitan dengan si bayi upacara ini merupakan hal yang sangat penting, pada upacara inilah yang disebut dengan penyambutan yang artinya mengukuhkan, menyertakan Sanghyang Atma di dalam tubuh sibayi sekaligus penyucian terhadap si bayi, sehingga dalam pelaksanaannya cukup banyak upakara dan puja yang dipakai secara spesifik ( khusus ) dan pada saat inilah si bayi baru diberikan nama dan diperkenalkan kepada warga secara sah, sehinggga jika ada anak yang sudah diupacarai penyambutan jika meninggal wajib diatiwa-tiwa. A. Sarana/ Upakara : 1. Sorohan Banten Pengeresikan : - Banten bayakaonan - Banten tebasan Durmanggala - Banten Tebasan Prayascita - Banten Pengulapan - Banten ririan/eteh-eteh pengelukatan. 2. Banten Upasaksi ring surya : Banten Pejati ,Banten Suci Asoroh jangkep, Klungah Nyuh Gading (1) kinasturi. 3. Banten munggah ring kemulan : Banten Pejati dengan tumpeng Putih Kuning dan nasi ajuman warna Putih Kuning, Banten Suci asoroh jangkep, tempat tirta untuk mohon tirta pengelukatan Ring Hyang Kemulan. 4. Banten pajotan : hiyunan dimasing-masing pelinggih yang ada seperti tugu karang ,pengerurah, perantenan, sumur dan pelinggih lainya bila ada, juga soda yang dipersembahkan kepada para leluhar biasanya ditempatkan dibale tempat upacara atau dipelinggih dewata-dewati bila ada. 5. Banten Ayaban : Daksina (2) soroh. Suci jangkep asoroh, Banten Ayaban tumpeng (21) asoroh, Banten sambutan agung. Banten Jejanganan Banten sesayut pemiyak kala. Banten sesayut Sambut Urip. Banten sesayut lara melaradan Banten Kumara asoroh. Banten Pengideng-ideng. Banten Pewintenan saha pemetikan 6. Sorohan Banten di tempat Ayunan sibayi : Daksina dan suci asoroh. Banten pejati asoroh. Banten peras tulung sayut alit. Daksina suwun-suwunan asiki. Tipat. pisang dialasi piring dan air secangkir. Colong Pusuh yang dihiyang diberikan busana dan bunga. Banten Kumara yang diletakkan dipelangkiran diatas ayunan. 7. Sorohan Banten dibawah (banten yang ditempatkan natar rumah ) a. Banten suci dan pejati asoroh b. Banten ayaban tumpeng 5 c. Banten sorohan asoroh d. Banten sambutan Alit e. Banten Jejanganan f. Banten Jerimpen 2 buah masing-masing pakai tumpeng putih satu dan satunya tumpeng hitam g. Banten Pengakulan h. Nasi Pengakulan i. Banten pengideng-ideng asoroh. j. Banten gelar sanga asoroh k. Banten Pemali asoroh l. Banten duwur lesung m. Tungked buluh /tulup n. Batu bulitan dan telor o. Lesung . p. Pane medaging toya anyar berisi tetuasan berbentuk ikan dan periyasan. 8. Banten Pemali, Banten Pacolongan, Banten Papah bolong asiki, Paangan nyuh kari katut bungsil nyane, ayam luh muani. 9. Banten ditempat ari-ari : - Di sanggah cucuk banten ajuman putih kuning ,canang legewagi buratwangi, kekiping biyu mas, sanggah cucuk digantungi sujang 4 buah berisis toya, berem, tuak, arak. - Dibawah sanggah cucuk : Banten Dapetan, Banten Pengideng-ideng asoroh dan nasi kepelan 4 kepel dengan warna masing-masing putih, kuning merah, hitam. 10. Banten Penyanggra : - Banten Pengedek/panuwuran pemangku, Banten arepan Pemangku. Tempat pelaksanaan : Keseluruhan rangkaian upacara kambuhan dilaksanakan didalam lingkungan rumah. Setelah selesai rangkaian persembahan diatas, acara selanjutnya jro mangku mulai mengupacarai si bayi dan kedua orang tuanya dengan urutan sebagai berikut : Suruh ibu si bayi mengambil anak-anakan dari pusuh atau belego dan si anak di pangku oleh bapaknya. Sedangkan keluarga dekat lainnya membantu membawa daksina suwun-suwunan, Batu bulitan, tongkat/tulup, simbuh dll Acara pengideran bayi, Jika si Bayi laki-laki berputar ke kanan pedandan dengan tulup, kalau perempuan kekiri pedandan dengan tongkat buluh, memutari lesung, dengan runtutan dibantu oleh sanak keluarga pertaman : Daksina suwung-suwung setelah itu si ibu dengan anak anaking pusuh/belogo, setelah itu yang membawa telor, selanjutnya pembawa batu bulitan, terakhir si bayi dengan pakai tongkat. Berputar tiga kali dengan puja pengantar : Sehe : Hangideran sawawu pada sawawu,anak kira si tunggul ametung,putun nira si Kala jarak,sira anak Anakin balego,ingsun anak anaking pusuh,sira anak anaking pusuh, ingsun anak anaking antelu, sira anak anaking antelu,ingsun anak anaking watu, sira anak anaking watu ingsung anak anaking manusa. Setelah pengideran dilakukan penukaran si bayi antara si bapak dengan sang ibu .Selesai dilanjutkan dengan melakukan preteka kehadapan anak-anaking belego atau pusuh yaitu : anak-anakan belego /pusuh tersebut dimandikan ditempat pane yang berisi air yang terletak diatas lesung dengan pane bertuliskan : Ketapa-Ketipi, setelah selesai anak-anakan tersebut diberikan busana sederhana, dihiyas dan dihaturkan tepung tawar tirta, lalu banten pejerimpengan dan banten lainnya di hayab kepada anakan belego /pusuh, Mantra : Ih si bajang Susila, si Bajang Weking, heling sira ri tadah sajin nira, apan kita angawe hala hayu, hulihakna atmaning janma manusa ne manih, haja sira mwah maniwastu pukulun siddha rahayu, seger oger ,urip warasa dirghayusa, tunggunen rahina dalu, manawi kirang tadahan nira, den agung ampurane si bajang bayi, Om Siddhir astu namah swaha . Setelah pengayaban upakara lalu si anak anaking belego/pusuh diayunkan ditempat pengayunan sebanyak tiga kali setelah ini anak-anaking belego dibawa menghadap kepada sang sulinggih /jro mangku yang memimpin upacara disini Jero mangku memusatkan pikiran dengan sarana bunga dengan puja pengulihan dan prelina terhadap anak-anakan belego /pusuh Mantra : Ung Ang Mang setelah pakai anak anaking belego/pusuh dibuka diambil oleh sibayi dan anak-anakan belego/pusuh ditanam (pendem ) disebelah kanan kalau laki-laki dan disebelah kiri kalau perempuan diluar pintu masuk pekarangan rumah . Setelah itu si bayi juga dimandikan dipane tadi, diberi pakai bebalian, gelang benang lalu dibayi ditatabkan segehan kuning. sehabis itu sibayi bersama kedua orang tuanya mabuwu-buwu dilanjutkan dengan natab byakala, durmagala, prayascita dilanjutkan dengan mesesarik. Setelah pengilenan sibayi diatas bayi ditatab banten penyambutan alit yang ada di halaman rumah, mantra : Om Pakulun kaki sambut nini sambut tan edan sambut agung sambut alit , yang sira lunga mengetan mengidul mengulon daweg ulihakane atmane si bajang bayi maka satus kutus satus solas amepek ring angganing si bajang bayi . Lalu ilenan banten penyambutan dan sesarik banten . Kemudian si anak beserta sang ibu dan ayahnya menghadap kepada sang sulinggih atau jro mangku pemimpin upacara untuk melukat : Sakaweruha sperti : Puja srawe, Asta Pungku, dll. Sebelum pengelukatan dilaksanakan kepada si bayi lakukan penempatan kekuatan sibayi seperti : sang Kala ditempatkan pada Mulut sibayi, atmanya dibhrumadhya, dewanya disiwadwara. Sebelumnnya lakukan pengelukatan diberikan Puja pengelepas Awon. Om Pakulun bhatara brahma Wisnu Iswara,manusanira si anu anglepas awon ipun ri bhatara tiga, Pakulun anyudha mala letuh ipun,teka sudha (3X) lepas malan ipun . Om Ani murub angabar-abar saking Madhya, sekalangan murub geninira bhatara siwa,anglukat anglebur sakwehing sungsung baru pati sungsung, edan tangis kageringan, ngumik sukwehing sungsung baru maka108, kalukat kalekburika kabeh, denira tirthanira bhatara siwa,a stu purna jati ya namah . Dilanjutkan dengan Upadraya mantra : Om pang padya namah ( Wasuh suku ) Om argga dwa ya nama ( Wasuh tangan ) Om Jeng jiwa ye namah ( kemuh ) Om Cang Camani ye namah ( meraup) Om Ghrim ksama sampurna ya namah. Setelah selesai pengelukan jro mangku melaksanakan penjaya-jaya kepada si bayi (Dasa Bayu ) mantra : Om perana bayu murti buana. Muka sauna peretistanam. Sidaye siwakwyam bajre. Sarwa mantram sidyam pajam. Om Apani bayu murtinam. Purusa peretista linggam. Sarwa bicari moksanam. Wigna rosah winasanam. Om Samana bayu murtinam. Pratista nyana mulyanam. Sarwa wigna winasanam. Sarwa papa wimurcate. Om Udana bayu murtinam. Anantasana peretiscanam. Sarwa Klesa winasanam. Roga petaka nasanam. Lanjutkan dengan mantra : Om sri ganesa, sri ganesa, sri ganesa raksamam Sri ganesa, sri ganesa, sri ganesa pahimam Om Jaya sri saraswati, jaya sri saraswati jaya sri saraswati raksamam Jaya sri saraswati, jaya sri saraswati, jaya sri saraswati pahimam. Om namah siwaya, Om namah siwaya, Om namah siwaya Namah Om Om namah siwaya, Om namah siwaya, Om namah siwaya Carana Om Om jaya sri Durgha, jaya sri Durgha, Jaya Sri Durgha Raksamam, Om jaya sri kali, jaya sri kali, jaya sri kali pahimam. Om tat sat, om tat sat, om tat sat. Lanjutkan dengan mantra pengurip buana sarira (tiga bersuara ) mesaran benang tatebusan. Om betara guru munggguh ring papusuhan Sanghyang suksma ring ineban, Sanghyang suksma taya ring ungsilan, Sanghyang taya ring sarira Setelah mantra diatas diucapkan didalam hati benang tersebut disentuhkan diujung hidung dibayi agar dapat dihirup 3 X lalu di sentuhkan pada dadanya tiga kali. sehabis itu ambil beras sesarik mantra : Ingsun hangidepan sanghyang tunggal rumasuk ring sariraning sianu, teri sama baktya, nila mantera masi habuta wigeraha ,apan ingsun sanggyang tunggal hamatuhana tri nadi , asing teka patuh ingkup. (berikan sibayi ditempel didada dan kepada kedua orang tuanya untuk ditelan ) Jika pada saat ini dilakukan pemetikan setelah pengelukatan . Tata cara pemetikan : Sarana : Gunting, uang kepeng bendelan untuk gelang tangan yang melakukan pengguntingan, sot mingmang, bunga tunjung putih, cincin , tempat rambut . Mantra gunting : Om Yatawya sakalpanam , suci ikusuma anindih papa klesa winasa, syat. Bang kara mantra Uttamam. Mantra Cincin : Om Heng teja sakalpanam : suci katri maha siddhim, papa klesa winasa syat; Tang kara Uttamam. Mantra seet minmang/panca kosika : Om kusagram kusa wijnyanam,Pawitram papa winasanam, papa klesa winasa syat: mang kara aksara uttamam. Puja saat melakukan pemetikan : Rambut didepan : Om sang sadhya ya namah, anghilangakena papa klesa pataka . Rambut di sebelah kanan : Om Bang Bama dewa ya namah . Rambut di Kiri : Om am aghora ya namah . Rambut dibelakang : Om Tam Tat Purusa ya namah . Rambut di tengah : Om Ing Isana ya namah. Om sarwa papa klesa pataka, lara roga wignam, sasab marana sebel kandelne si pinetik winasaya namah . Setelah pemetikan Setelah acara tersebut diatas dilanjutkan dengan persembahyangan si bayi dan kedua orang tuanya termasuk keluarga ikut mendoakan agar si bayi panjang umur dan selalu mendapatkan perlindungan serta tuntunan yang baik . dengan urutan persembahyangan sebagai berikut : - Muspa puyung. - Muspa Kesurya. - Muspa dengan kewangen (Upasaksi ) mantra : Om Pukulun bhatara Siwa, Sadasiwa, Paramasiwa nguniweh sang hyang tryo dasa saksi, kaki bhagawan penyarikan nini bhagawan penyarikan, kaki penyeneng nini penyeneng, Bhagawan besawarna, iki manusanira angaturan bhakti, pangubakti ipun ngaturan tadah caru penyambutan wong rare, akedik denipun angaturan agung denipun palaku, amalaku kadirga yusanya kaparipurnaning awak sariranipun aweta urip. Om siddir astu tat astu, Om sukam bhawantu, Om purnam bhawantu, Om Dirghayusa bhawantu, Om sapta wreddhyastu, Om awighnam astu. - Muspa dengan Kawangen (mohon panugraha ) - Muspa Puyung. Setelah selesai acara persembahyangan dilakukan penataban banten kepada si bayi : Natab Banten Sesayut : dengan puja sesayut diatas. Atau juga bisa dengan puja : Tebasan Paripurna : Om Atma Paripurna ye namah swaha. Om Jiwita Paripurna ye namah swaha. Om Sarira Paripurna ye namah swaha. Tebasan Pembersihan : Om Ksmung siwa Mertha Ye namah swaha. Om Ksmung Sadha Siwa Mertha Ye namah swaha . Om Ksmung Parama Siwa Mertha Ye namah Suaha . Tebasan Pageh Urip : Om Dirgayusa Jati Ning Nirmala ye namah Swaha. Tebasan Atma Rauh : Om Atma Antaratma, Niratma Suksma Nirmala Ye namah Swaha. Natab Dapetan : Ong Atma tatwatma sudha nirmala ye namah,. Ang ah mertha sanjiwani ye namah. Natab banten pengambian mantra : Om Pakulun sanghyang sapta petala, sanghyang sapta dewata, sanghyang besrawana, sangghyang trinadi, panca kosika, sira sanghyang premana, mekadi sanghyang Urip, sira hamagehaken ri sthanan nira sowing-sowang, pakenaning hulun hangawruha ri sira, handa raksanan den rahayu, urip waras dirghayusa sang ingambyan. Om Siddhir astu ya namah swaha . Natab banten Penyambutan : Om kaki prajapati Nini Prajapati, kaki Samantara, nini Samantara, kaki Cipta gotra, ingsun hanede nugraha, hanyambutan hulapi atmane si cabang bayi menawi atma ipun anganti ring tengahing samudra, ring pinggiring udadhi, ulihaken ring awak sariraniya, tetap apegeh tinunggu de sanghyang tunggal, makadi sanghyang Prana hurip waras dirghayusa, Om siddhir astu swaha. Natab Banten Peras : Om panca wara bhawed brahma, wisnu sapta wara waca, sad wara iswara dewasca, asta warah siwajneyah. OM kara murciate sarwa pras prasiddha ya namah swaha. Om Sriyam bawantu, sukiam bawantu, purnam bawantu. Dilanjutkan mantra ayuwerdi : OM Ayu werdhir yaso werdhir, wrddhir prajna sukha sriyam, darma sentana wrddhis’ca santute sapta wrddayah. Yatha meru sthito dewah, yawad gangga mahi tale, chandrarkan gagane yawat, tawad wa wijayi bhawed. Om sriyem bawantum, om sukham bawantu, om purnnam bawantu, om sapta werdhir astu . (Si bayi bersama sang Ibu melebar banten Peras ) dengan demikian berakhir sudah upacara 3 bulanan si bayi . OM TAT SAT. OM SANTHI SANTHI SANTHI OM.

UPAKARA CARU

Ida Pandita Dukuh Celagi UPAKARA CARU Upakara Caru adalah salah satu dari bagian upakara Bhuta Yadnya sebagai salah satu sarana untuk melaksanakan Sradha dan Bhakti umat Hindu khususnya umat Hindu di Bali. Upakara Caru memiliki beberapa makna dan fungsi yaitu : 1. Upakara Caru sebagai sarana untuk menetralisir kekuatan-kekuatan alam yang bersifat buruk yang dapat menghilangkan keseimbangan hidup antara manusia dengan alam disekitarnya sehingga muncul dimuka bumi bermacam-macam kejadian yang dapat menyengsarakan kehidupan manusia. 2. Upakara Caru sebagai sarana bahasa pengantar dari atmanastuti Umat Hindu di Bali sehingga umat Hindu di Bali dapat terhindar dari katagori Kafir, (sebagai simbul Bahasa Weda). 3. Upakara Caru sebagai sarana penyucian pada Tri Bhuwana ini sehingga proses ekosistem alam ini dapat lestari, seimbang dan berkesinambungan. 4. Upakara Caru sebagai sarana penyupatan terhadap makhluk-makhluk lain, agar makhluk yang disupat dapat meningkatkan kwalitas hidupnya pada kehidupannya dimasa mendatang. 5. Upakara Caru sebagai sarana peleburan dosa-dosa umatnya, karena mendapat kesempatan untuk berbuat kebajikan melalui berkorban suci. 6. Upakara Caru adalah sebagai sarana untuk memohon restu kehadapan Sang Hyang Widhi atas apa yang dimakan oleh umatnya adalah atas ciptaan Beliau. Demikianlah beberapa fungsi dari pelaksanaan upacara pecaruan bagi umat Hindu khususnya umat Hindu di Bali. Pembuatan upakara Caru ini adalah berdasarkan atas konsep "Tri Matra" yaitu : 1. Bhuta Matra ; Yang dimaksud dengan Bhuta Matra adalah melaksanan proses keharmonisan dialam semesta ini salah satunya melalui pelaksanaan upacara pecaruan. 2. Prana Matra ; Prana Matra adalah melaksanakan proses keharmonisan pada Alam Prana (embang) salah satunya melalui pelaksanaan upacara pecaruan. 3. Pradnya Matra ; Yang dimaksudkan dengan Pradnya Matra adalah melaksanaka proses keharmonisan pada Alam Luar Angkasa (langit) salah satunya melalui pelaksanan Upacara pecaruan (Lontar Aji Somya Mandhala). Dengan demikian maka alas dari olah-olahan carunya adalah memakai Sengkwi dengan anyaman (ulatan) daun kelapa tua (selepan) pelepahnya 9 helai sebagai simbul Bhuta Matra, dan letaknya pada upakara caru tersusun dari bawah setelah pengerekan nasinya, dengan sebutan dalam tetandingan disebut "Pajegan", berisi tetandingan lawarnya sebagai berikut: 1. Lawar merahnya diletakkan pada bagian kanan dari yang metanding, adalah sebagai simbul kekuatan "Kala". 2. Lawar hijau (gadang) diletakkan pada bagian kirinya adalah sebagai simbul kekuatan Bhuta". 3. Lawar berwarna putih diletakkan diatas antara lawar merah dengan hijau, adalah sebagai simbul kekuatan "Durga". Tetandingan yang diatas adalah tetandingan yang disebut "Tri Kona" (memakai sarana binatang ayam). Perhitungan sate pajegannya adalah sebagai berikut : Memakai 3 jenis sate yaitu, sate lembat sebagai simbul Kala, sate Galon sebagai simbul Bhuta dan sate serapah sebagai simbul Durga, dengan perhitungannya : Tiga jenis sate tadi diikat dijadikan satu, menjadi satu pesel, dan banyak pesel yang dibuat tergantung dari uripnya (sate pajegan). Kemudian membuat tetandingan yang kedua berada diatas tetandingan pajegan, yang disebut tetandingan "Bayuhan", dengan tetandingannya dialas dengan sebuah sengkuwi dengan ulatan 7 helai sebagai simbul Prana Matra. Tetandingan lawarnya dengan warna dan posisi tempatnya sama dengan tetandingan pada pajegan hanya satenya satu jenis saja (sate lembat) yang jumlahnya tergantung uripnya. Selanjutnya diatas tetandingan bayuhan tersebut dibuat tetandingan lagi yang disebut tetandingan "Ketengan", mengenai alasnya memakai sengkuwi juga namun dengan ulatan, 5 helai sebagai simbul Pradnya Matra. dengan tetandingan lawarnya sama seperti diatas hanya memakai sate satu jenis (sate lembat) dan hanya 1 katih saja. Kemudian diatas tetandingan ketengan ini ditutupkan kubangannya (Belulangnya). Demikian cara merangkai olah-olahan caru dengan sarana unggas, ayam, segala betuk caru ayam. CARA MERANGKAI BANTEN CARU Dibawah ini diberikan contoh cara merangkai banten caru Ayam Brumbun. Kenapa kami memberikan contoh cara merangkai banten caru ayam brumbun?. Karena caru ini merupakan inti dari banten Caru dan dari Caru Ayam Brumbun ini berkembang menjadi caru-caru yang lainnya seperti caru Panca Sata. Panca Musika, dan lain-lainnya. Tetandingannya adalah sebagai berikut : 1. Pertama kali ambil sebuah ngiyu, kemudian didalam ngiyu tersebut diisi 5 buah taledan dengan posisi tempatnya, dibagian timur satu, dibagian selatan satu, dibagian barat ditaruh satu, dibagian utara ditaruh satu, di tengah-tengahnya satu. Selanjutnya pada masing-masing Taledan tersebut diisi raka-raka (pisang, tebu, jajan, porosan silih asih) yang diletakkan dibagian hulunya (pada ujung taledan yang menghadap keluar) serta diisi rerasmen dengan tempatnya kojong rangkat, yang letak rerasmenya sebagai berikut : * Sambal dan garam diletakkan pada kojong kanan. * Ikan-ikan, telur diletakkan pada kojong tengah * Saur, kacang, mentimun, dan terong diletakkan pada kojong kiri Setelah semua berisi rerasmen barulah mulai mengatur untuk mengisi untek (tumpeng kecil) dengan aturan sebagai berikut : 2. Pada taledan yang berada dibagian timur, diisi nasi untek berwana putih sebanyak 5 buah untek, dan memakai satu sampian pusung. 3. Pada taledan yang berada dibagian selatan, diisi nasi untek berwarna merah, sebanyak 9 buah untek, memakai satu sampain pusung. 4. Pada taledan yang dibagian barat, diisi nasi untek berwarna kuning sebanyak 7 buah untek, memakai satu sampian pusung. 5. Pada taledan yang berada dibagian utara, diisi nasi untek berwarna hitam sebanyak 4 buah untek, memakai sampain pusung juga. 6. Pada taledan yang berada ditengah, diisi untek berwarna brumbun sebanyak 8 buah untek berisi sampian pusung. 7. Kemudian membuat nasi pengerekan berwarna brumbun beibentuk menyerupai wujud ayam, dialas dengan daun telujungan pisang udang sabha (muncuk daun pisang) dan diatas nasi pengerekan itu disusunkan 8 buah kwangen, kemudian nasi pengerekan tersebut ditumpukan pada taledan yang berisi untek brumbun yang letaknya di tengah. 8. Selanjutnya diatas nasi pengerekan tersebut disusunkan olah-olahan ayam brumbun yang sudah lengkap dengan belulangnya. 9. Selanjutnya diatas olahan itu ditumpuk dengan segehan sasah brumbun, kacang saur, sebanyak 8 celemik dialas dengan sebuah taledan. 10. Diatas segehannya ditumpuk sebuah taledan lagi sebagai tempat keben-kebenan yang berjumlah 8 buah (sesuai dengan urip Caru) dengan setiap kebennya diisi nasi berumbun, kacang saur, serta diatas keben-kebennya ditumpukkan dengan Cawu berisi nasi berumbun kacang saur berjumlah 8 buah. 11. Selanjutnya paling atas ditumpukkan dengan banten gelar sanga dengan tetandingannya sebagai berikut : - Dialas dengan sebuah taledan, serta pada hulu taledannya diisi raka-raka, porosan, sampian plaus. - Pada tengah-tengah taledannya diisi sarana (eteh-eteh daksina), kecuali telur dan kelapa (beras, porosan, wang kepeng, satu kepeng tingkih, pangi, pepeselan, dan gegantusan). - Diluar eteh-eteh ini, diletakkan celemik sebanyak 9 buah dengan posisi tempatnya melingkar (sesuai dengan'pengideran) dengan setiap celemik berisi nasi brumbun, kacang saur, dan sate gelar sanga lebeng asibak dengan posisi letaknya tangkainya ke tengah, lalu diatasnya disusunkan canang sari. Posisi letak satenya, juga mengarah kesegala penjuru sesuai dengan pengideran, dan tangkai satenya menghadap kedalam. Selanjutnya paling atas diisi sebuah canang sari, dan gelar sanga tersebut ditaruh pada susunan caru paling atas. Dengan demikian selesailah sudah merangkai banten Caru Ayam Brumbun. CARA MENATANYA a. Pertama-tama yang dilakukan adalah menata Banten Ayaban carunya yang letaknya lebih tinggi dari tempat penataan caru. b. Kemudian menata Banten Carunya sebagai berikut : * Pertama-tama menancapkan Sanggah Cucuk terlebih dahulu karena Sanggahnya yang menjadi pedoman hulu. Pada sanggahnya digantungkan lamak sampain, dan sepasang sujang yang berisi arak dan berem. * Pada Sanggahnya diisi banten Soda. * Kemudian dibawahnya (ditanah) diletakan seperangkat banten pejati, banten suci alit asoroh, yang menjadi hulu banten Caru tersebut. * Selanjutnya pada samping kanan dari caru diletakan seperangkat banten pengulapan, beserta alat bunyi-bunyian (Prakpak, sapu, tulud, kukul). Demikianlah cara menata upakara caru pada saat melaksanakan upacara pecaruan baik dalam proporsi besar, sedang dan kecil. PETUNJUK Dibawah ini kami memberikan beberapa petunjuk bagi umat yang senang menekuni tentang pembuatan upakara, khususnya pada upakara Caru, apabila berkeinginan merangkai upakara Caru yang memiliki proporsi yang lebih besar seperti upakara Caru Panca Sata, atau upakara caru Panca Musika ikutilah ketentuan sebagai berikut : Apabila umat akan merangkai upakara Caru Panca Sata, kembali melihat pada banten caru ayam berumbun diambil taledannya yang berisi untek yang wama putihnya dikeluarkan dari ngiyu, kemudian diletakkan dibagian timur, selanjutnya dibuatkan nasi pengerekan putih berbentuk menyerupai ayam putih, dan diatas pengerekannya diisi kwangen 5 buah dan pengerekan itu ditumpukan diatas nasi unteknya tadi. Selanjutnya diatas nasi pengerekan tersebut disusunkan dengan olah-olahan ayarn putih, tulus, dan diatas olahan tersebut disusunkan sebuah taledan lagi berisi segehan sasah putih sebanyak 5 buah, serta diatas segehan disusunkan sebuah taledan berisi keben-kebenan yang berisi nasi putih kacang saur, sebanyak 5 buah dan diatas kebennya disusunkan cawu juga berisi nasi putih, kacang saur sebanyak 5 buah, dan kemudian paling atas disusunkan dengan gelar sanga yang wama nasinya juga putih lengkap dengan sate, demikian selanjutnya pada caru lainnya. MEMBUAT OLAHAN CARU DENGAN UNGGAS (ITIK/ANGSA) Pembuatan olahan caru dengan unggas itik, selalu berdasarkan ketentuan Tri Matra, sedangkan perhitungan tentang macam olahan dan satenya dalam perhitungan Catur Jadma, yaitu olahan 4 (empat) macam, yaitu : 1. Olahan warna putih (soger) sebagai simbul Durga, 2. Olahan warna merah (lawar) sebagai simbul Kala, 3. Olahan warna kuning (penyon) sebagai simbul Paisaca, 4. Olahan gadang (daun-dauan) disebut gegode sebagai simbul Bhuta. Sedangkan macam satenya juga 4 (empat) macam, yaitu : 1. Sate lembat sebagai simbul kekuatan Durga, 2. Sate Galon sebagai simbul kekuatan Bhuta, 3. Sate Serapah sebagai simbul kekuatan Kala 4. Sate Asem sebagai simbul kekuatan Paisaca. CARA MERANGKAI 1. Olahan Pajegan a. Olahannya : Dialas dengan sebuah sengkui dengan ulatari 9 (sembilan) helai, diatasnya diisi olahan dengan posisi tempat sebagai berikut : a. Olahan warna putih (soger) diletakkan pada posisi kanan atas b. Olahan warna merah (lawar) diletakkan pada posisi kanan bawah c. Olahan gadang (gegode) diletakkan pada posisi kiri atas d. Olahan kuning (penyon) diletakkan pada posisi kiri bawah Melihat dari posisi tersebut, dapat memberikan gambaran sebagai bentuk swastika, sebagai kekuatan penyomia (kekuatan Mudra) b. Perhitungan satenya : Sate 4 (empat) macam itu, diikat dijadikan satu ikatan, kemudian banyak ikatannya tergantung uripnya, seperti contoh, caru itik belang kalung yang letaknya ditengah memiliki perhitungan urip pengideran yaitu urip 33, dengan demikian tetandingan pajegannya adalah sebagai berikut : Setelah sengkui berisi olah-olahan dengan posisi seperti tersebut diatas, maka diisi satenya sebanyak 33 ikat. 2. Olahan Bayuhan Mengenai tetandingan bayuhannya, memakai alasnya sebuah sengkui dengan ulatan 7 helai, dengan macam dan posisi tempat olahanriya sama, tetapi memakai satenya hanya satu macam sate macam saja (sate lembat) dan jumlahnya tetap perhitungan urip 33, sehingga diisi satenya sejumlah 33 katih. 3. Olahan Ketengan Mengenai tetandingan ketengannya, juga/alasnya memakai sebuah sengkui dengan ulatan 5 helai daun kelapa tua diisi olahan yang macam dan posisi tempatnya sama, dan berisi sate 3 katih (sate lembat). Kemudian diatas tetandingan ketengan inilah belulangnya di tutupkan dan selanjutnya dirangkai dengan ethika olahan pajegannya paling dibawah, kemudian diatas itu baru olahan bayuhan, dan yang paling atas adalah olahan ketengan dengan belulangnya. MEMBUAT OLAHAN CARU BINATANG (CATUR PADA) Cara membuat olahannya, selalu mengikuti aturan Tri Matra, namun rnembuat olahan adalah lima macam olahan yang disebut Panca Kona, yaitu: 1. Olahan warna putih (soger) sebagai simbul kekuatan Durga 2. Olahan warna merah (lawar) sebagai simbul kekuatan Kala 3. Olahan warna kuning (penyon) sebagai simbul kekuatan Paisaca 4. Olahan warna gadang (gegode) sebagi simbu) kekuatan Bhuta 5. Olahan wama campuran (prembon) sebagai simbul kekuatan Raksasa Sedangkan pembuatan satenya juga sama yakni 5 (lima) macam sebagai berikut: 1. Sate lembat sebagai simbul kekuatan Durga 2. Sate Calon sebagai simbul kekuatan Bhuta 3. Sate Serapah sebagai simbul kekuatan Kala 4. Sate Asem sebagai simbul kekuatan Paisaca 5. Sate Kablet sebagaia simbul kekuatan Raksasa CARA MERANGKAI : 1. Olahan Pajegan Dialas dengan sebuah sengkui dengan ulatan 9 helai daun. kelapa tua (selepan) diatasnya diisi olahan dengan posisi sebagaia berikut ; 1. Olahan warna putih (soger) diletakkan pada posisi kanan atas 2. Olahan warna merah (lawar) diletakkan pada posisi kanan bawah 3. Olahan warna gadang (gegode) diletakkan pada posisi kiri atas 4. Olahan warna kuning (penyon) diletakkan pada posisi kiri bawah 5. Olahan warna campuran (prembon) diletakkan pada posisi di tengah-tengah a. Perhitungan jumlah sate pajegan Jumlah satenya sama seperti diatas, hanya disini memakai sate lima macam diikat dijadikan satu ikatan, sebagai contoh caru binatang kambing memiliki urip 77, maka sate pajegamrya berjumlah 77 pesel, dengan olahan seperti yang dijelaskan di atas. b. Perhitungan sate bayuhan Dengan olahan yang sama, dan memakai sate satu macam (sate lembat) dengan jumlah 77 katih. c. Perhitungan sate ketengan Dengan olahan sama, dan memakai sate satu macam, juga dengan jumlah satenya 77 katih kemudian ditutupkan dengan belulangnya. CATATAN 1. Mengenai pengolahan caru yang sangat penting diperhatikan adalah sebagai berikut : a. Urip dan arah dari caru b. Jenis binatang yang dipakai caru, apakah itu ayam, itik, binatang berkaki empat (catur pada) c. Memperhatikan tentang perhitungan tri matranya diantaranya : - Tri Kona - Catur Jadma Panca Kona Berpegangan dengan ketentuan Tri Matra ini maka, perhitungan jumlah sate dan olahannya tergantung dari urip dan arah peletakan carunya. Demikianlah yang dapat kami sampaikan tentang pembuatan olahan caru berdasarkan petunjuk sastra-sastra agama Hindu yang ada di Bali, dengan harapan agar dapat dipakai pedoman dimasa-masa mendatang. 2. Untuk wewalungan suku pat (kaki empat) disamping sate yang sudah disebutkan diatas ditambah lagi sebuah rangkaian caru sebagai puncaknya yang disebut sate Asta Baya yang terdiri dari : 1. Sate Akasa 2. Sate Pertiwi 3. Sate Watang 4. Sate Lembat 5. Sate Asem 6. Sate Japit 7. Sate Gunting 8. Sate Kuwung Sate ini melambangkan delapan (8) kemahakuasaan Ida Sang Hyang Widhi sebagai manisfestasi penguasa Asta Loka Pala. TETANDINGAN CARU EKA SATA : Pada umumnya tetandingan Caru Eka Sata dilengkapi dengan hal2-hal sebagai berikut : Sebagai dasarnya digunakan nyiru, yang diatasnya diisi taledan, raka-raka selengkapnya. Nasi 5 ceper, masing-masing berisi sekebis raka-raka. Dengan sampyan plaus bunder yang masing-masing berisi : - 1 ceper berisi 5 tumpeng putih dengan 5 buah porosan diikat benang putih. - 1 ceper berisi 9 tumpeng merah dengan 9 porosan diikat benang merah. - 1 ceper berisi 7 tumpeng kuning dengan 7 buah porosan diikat benang kuning. - 1 ceper berisi 4 tumpeng selem dengan 4 buah porosan diikat benang selem. - 1 ceper berisi 8 tumpeng brumbun dengan 8 buah porosan diikat benang 4 warna. Dua sampyan pusung yang dijahitkan sampyan gantung-gantungan, diatasnya diisi raka-raka, sasedep dengan warna tersebut diatas. Benang dan berasnya putih. Penyeneng teenan padma dan coblong. Daksina dengan anaman kelanan. Sengkwi maikuh mekampid lelima. Berisi ebat2ebatan dengan jumlah satenya sebanyak 33 katih. Satu tanding pebresihan payasan, satu soroh tulung sayut. Diatas sengkwi diletakkan belulang ayam brumbun, diberi 4 potong kain warna putih, merah, kuning dan hitam. Selanjutnya 5 buah kwangen ditusuk, 5 buah canang antuk kwangen, 1 tanding canang untuk daksina, 1 tanding canang untuk tipat, 1 tanding canang diatas raka-raka. Jadi perlu 8 buah canang. Nasi lis dan 1 pajeg lis amu-amuan. 1 sange urip. Didalam pelaksanaannya, caru ini tidaklah berdiri sendiri. Bila ingin membuat upacara atau upakara caru eka sata atau caru siap brumbun, maka caru ini mempunyai banten eedan lagi sebagai berikut : - 1 soroh suci. - 1 soroh gelar sanga. - 2 soroh sesayut pengambian. - 1 soroh byakala. - 1 soroh durmangala. - 1 soroh pangulapan. - 1 soroh prayascita. - Tetimpug. - Sanggah cucuk. - Segehan. - Tetabuhan arak brem. TETANDINGAN CARU MANCA SATA : AYAM PUTIH : - Sengkwi 5 ulatan, dibangun hulu ditempatkan suci pras daksina, selanjutnya diatas sengkwi ditata diisi dengan karangan kawisan, bayuhan 5 tanding dan nasi tumpeng putih sepuluh bungkul (5 dandan), ketengan berisi 5 tangkih ajengan sasah putih lengkap dengan lauknya. Segehan cacahan 5 tanding, cau dandan 5 biji bergandengan menjadi satu berisikan nasi putih lengkap dengan lauknya, takep-takepan 5 biji, tumpeng putih 5 biji lengkap dengan ruintutannya, klatkat berisi don tlunjungan berisikan laying-layang ayam putih tulus, kain warna putih, kwangen 1 biji dengan sesari 5 keteng, dibagian sisi caru tersebut dilengkapi dengan banten pangulapan, pengambean, sorohan sesayut, ajuman, tipat kelanan, sangga urip, penyeneng. CARU AYAM BIYING : - Sengkwi 9 ulatan dibagian hulu ditempatkan banten suci, pras, daksina. Pada bagian atas sengkwi ditempatkan karangan kawisan, bayuhan 9 tanding, nasi tumpeng barak 9 dandan (18 biji), ketengan berisikan 9 ajengan sasah merah dan lauknya, segehan cacahan barak 9 tanding, cau dandan 9 biji bergandengan menjadi satu berisikan nasi merah lengkap dengan kelengkapannya, tulung sangkur 9 biji berisikan nasi barak dan lauknya, takep-takepan 9 biji, tumpeng barak 9 biji lengkap dengan kelengkapannya, klatkat berisikan don tlunjungan berisikan layang-layang ayam biying, kwangen dengan sesari 9 keteng, disisinya caru diletakkan banten pengulapan, pengambean, sorohan sesayut, ajuman, tipat kelanan, sangga urip, penyeneng. CARU AYAM PUTIH SYUNGAN : - Sengkwi 7 ulatan dibagian hulu ditempatkan banten suci, pras, daksina. Pada bagian atas sengkwi ditempatkan karangan kawisan, bayuhan 7 tanding, nasi tumpeng kuning 7 dandan (14 biji), ketengan berisikan 7 ajengan sasah kuning dan lauknya, segehan cacahan kuning 7 tanding, cau dandan 7 biji bergandengan menjadi satu berisikan nasi kuning lengkap dengan kelengkapannya, tulung sangkur 7 biji berisikan nasi kuning dan lauknya, takep-takepan 7 biji, tumpeng kuning 7 biji lengkap dengan kelengkapannya, klatkat berisikan don tlunjungan berisikan layang-layang ayam putih syungan, kwangen dengan sesari 7 keteng, disisinya caru diletakkan banten pengulapan, pengambean, sorohan sesayut, ajuman, tipat kelanan, sangga urip, penyeneng. CARU AYAM HITAM : - Sengkwi 4 ulatan dibagian hulu ditempatkan banten suci, pras, daksina. Pada bagian atas sengkwi ditempatkan karangan kawisan, bayuhan 4 tanding, nasi tumpeng hitam 4 dandan (8 biji), ketengan berisikan 4 ajengan sasah hitam dan lauknya, segehan cacahan hitam 4 tanding, cau dandan 4 biji bergandengan menjadi satu berisikan nasi hitam lengkap dengan kelengkapannya, tulung sangkur 4 biji berisikan nasi hitam dan lauknya, takep-takepan 4 biji, tumpeng hitam 4 biji lengkap dengan kelengkapannya, klatkat berisikan don tlunjungan berisikan layang-layang ayam hitam kwangen dengan sesari 4 keteng, disisinya caru diletakkan banten pengulapan, pengambean, sorohan sesayut, ajuman, tipat kelanan, sangga urip, penyeneng. CARU AYAM BRUMBUN : - Sengkwi 8 ulatan dibagian hulu ditempatkan banten suci, pras, daksina. Pada bagian atas sengkwi ditempatkan karangan kawisan, bayuhan 8 tanding, nasi tumpeng brumbun 8 dandan (16 biji), ketengan berisikan 8 ajengan sasah brumbun dan lauknya, segehan cacahan hitam 8 tanding, cau dandan 8 biji bergandengan menjadi satu berisikan nasi brumbun lengkap dengan kelengkapannya, tulung sangkur 8 biji berisikan nasi brumbun dan lauknya, takep-takepan 8 biji, tumpeng brumbun 8 biji lengkap dengan kelengkapannya, klatkat berisikan don tlunjungan berisikan layang-layang ayam brumbun kwangen dengan sesari 8 keteng, disisinya caru diletakkan banten pengulapan, pengambean, sorohan sesayut, ajuman, tipat kelanan, sangga urip, penyeneng.

GNI

GNI Barisan Alunan mantra mengalir bersama semilir angin Menyala terang dari gugusan kecil hingga maha dasyat Melingkar laksana Sumsuma Ida Pinggala Membelit Kala Agni Rudra Bertengger di atas singgasana Kurma Agni Melantuntan melodi kosmis semesta jagat agung dan jagat alit Om Ang Gni Brahma Brahma Gni Gni Raja Raja Gni Gni Jagat Jagat Gni Gni Rudra Rudra Gni Ngadeg Sira Ring Nabi Ang Ang Ang Ang Ang Ang Ang Ang Ang Tri Kala Agni ya namah swaha Guru Mangku Kompyang Rupa Niki guru mangku mantram Surya Narayana ( Wasinawa ). Diucapkan sebelum nganteb sebagai ciri khas waisnawa. OM. EKHI SURYA NARAYANA SAHASRO SUTEJO RASEM JAGAT NATA CIWA LOKAM WISNU ABISEKA SUDHAMAN SWAHA. Adityantu maha tejam, rakta warna rakta barem Sweta padma wredaya stananca. Sarwa papa wisanam. Mntram Maharsi Markandya : Tryambakham, mantram anugrah jiwa kehidupan : OM TRYAMBAKAM YAJAMAHE SUGANDHIM PUSHTIVARDHANAM; URVAARUKAMIVA BANDHANAAN MRITYORMUKSHEEYA MAAMRITAAT. " AYAM ME HASTO BHAGAVAN AYAM ME BHAGAWATTARAH AYAM ME VISVABHESAJO AYAM ME SIVABHIMARSANAH’’

ARTI TANDA-TANDA KEDUTAN

ARTI TANDA-TANDA KEDUTAN Kedutan atau barkedut-kedut yang biasa terjadi di tubuh manusia,terjadi tidak hanya di suatu tempat saja,tetapi sering terjadi di beberapa bagian tubuh.Di alami oleh semua orang,baik pria maupun wanita.Kedutan biasanya berdenyut kencang atau berkedut-kedut di salah satu bagian anggota badan,setiap manusia pasti merasakan apa itu namanya kedutan yang di sadari maupun tidak di sadari karna kedutan pasti punya makna arti tersendiri yang tersembunyi dan mempunyai arti di setiap kedutannya.tanpa harus mendahului kehandak ALLAH bahwa kedutan menandakan apa yang akan terjadi terhadap kita entah besok atau lusa hanya Allah yang tau,yang perlu kita ketahui hanyalah akan terjadinya sesuatu terhadap kita yang menjadikan kita bersyukur atas nikmat Nya,bertawakal dan bersabar diri menghadapi cobaan karena Allah Maha adil tidak akan memberikan cobaan kepada umatnya kecuali dia mampu menghadapinya.karena tau akan arti kedutan kita juga bisa hati-hati dalam berbuat dan memutuskan sesuatu dari segi ucapan,tingkah laku dalam pergaulan dan melakukan pekerjaan sehari-hari dalam beraktifitas,dan extra hati-hati dalam menghadapinya persoalan.namun yang paling utama pasrah akan kehendak Allah dan selalu berdoa akan perlindunggan Nya,karna nasib bisa kita rubah dengan kerja keras dan takdir bisa kita rubah dengan doa,hanya kepada Allah swt lah kita berserah diri,semoga kita termasuk hamba-hamba Allah yang beruntung,amin ya robbal alamin. Arti-arti kedutan Kedutan di ubun-ubun kepala artinya akan mendapatkan kebahagiaan/kesenangan. Kedutan di kepala sebelah kanan artinya akan mendapat sakit. Kedutan di kepala sebelah kiri artinya akan mendapat kemuliaan. Kedutan di seluruh kepala artinya akan melihat yang aneh-aneh atau ajal sudah dekat. Kedutan di dahi artinya akan mendapat harta atau ilmu pengetahuan. Kedutan di tengkuk artinya akan di cintai orang kaya. Kedutan di alis yang kanan artinya akan berbahagia,tetapi akan mendapat kesukaran terlabih dahulu. Kedutan di alis yang kiri artinya akan mendapat kesenangan hati,bertemu keluarga. Kedutan di kelopak mata kanan artinya akan mendapat keuntungan. Kedutan di kelopak mata kiri artinya akan bertemu dengan kekasih/orang yang di cintai. Kedutan di kelopak mata kanan bawah artinya akan bersedih. Kedutan di kelopak mata kiri bawah artinya akan bersedih hati juga. Kedutan di ekor mata kanan sebelah atas artinya akan sembuh dari sakit. Kedutan di ekor mata kiri sebelah atas artinya akan bertemu keluarga yang jauh. Kedutan di ekor mata kanan sebelah bawah artinya akan bertemu orang jauh. Kedutan di ekor mata kiri sebelah bawah artinya akan sakit. Kedutan di biji mata kanan artinya akan bersedih hati. Kedutan di biji mata kiri artinya akan bersuka hati. Kedutan di sekujur hidung artinya akan mencium kekasih. Kedutan di hidung sebelah kanan artinya akan lepas dari penyakit. Kedutan di hidung sebelah kiri artinya akan tercapai cita-cita. Kedutan di pelipis kanan artinya akan mendapat kesukaran,kematian dan sebagainya. Kedutan di pelipis kiri artinya akan mendapat ketenangan hati. Kedutan di telinga kanan artinya akan mendapat kabar yang menyenangkan hati. Kedutan di telinga kiri artinya akan datang keluarga yang jauh. Kedutan di pipi kanan artinya akan panjang usia. Kedutan di pipi kiri artinya akan sembuh dari skit. Kedutan di bibir kanan sebelah atas artinya akan bertengkar mulut. Kedutan di bibir kiri sebelah atas artinya akan menjawab dengan perkataan yang baik. Kedutan di seluruh bibir artinya akan mencium kekasih. Kedutan di pada lidah artinya akan makan enak. Kedutan di anak lidah artinya akan mendapat hura-hura. Kedutan di kerongkongan sebelah kanan artinya akan mendpat kesenangan. Kedutan di kerongkongan sebelah kiri artinya akan dapat harta. Kedutan di leher artinya akan dapat kebajikan. Kedutan di dagu kanan artinya akan berkawan dengan orang kaya. Kedutan di dagu kiri artinya akan bertambah ilmu pengetahuan. Kedutan di bahu kiri artinya akan mendapat hadiah. Kedutan di bahu kanan artinya akan mendapat harta. Kedutan di belikat kanan artinya akan mendapat pakaian baru. Kedutan di belikat kiri artinya akan mendapat harta. Kedutan di hasta kanan artinya akan mendapat ketenangan. Kedutan di hasta kiri artinya akan mendapat harta. Kedutan di lengan kanan artinya akan mendapat kebaikan. Kedutan di lengan kiri artinya akan mendapat kawan baik. Kedutan di sikut kanan artinya akan berkelahi. Kedutan di sikut kiri artinya akan mendapat sakit. Kedutan di telapak tangan kanan artinya akan mengeluarkan uang. Kedutan di telapak tangan kiri artinya akan menerima uang. Kedutan di semua jari kanan artinya akan menerima uang. Kedutan di semua jari kiri artinya akan di senangi orang. Kedutan di ibu jari kanan artinya akan menerima uang dan di hormati orang. Kedutan di ibu jari kiri artinya akan menjadi kepala pengurus. Kedutan di telunjuk kanan artinya akan bertemu keluarga. Kedutan di telunjuk kiri artinya rahasia akan di ketahui orang. Kedutan di kelingking kanan artinya akan mendapat pujian orang. Kedutan di kelingking kiri artinya akan mendapat kabar baik. Kedutan di jari manis kanan artinya akan menerima uang dengan senang hati. Kedutan di jari manis kiri artinya akan mendapat wanita cantik. Kedutan di susu kanan artinya akan berpeluk-pelukan. Kedutan di susu kiri artinya akan berpeluk-pelukan dengan wanita. Kedutan di lambung kanan artinya akan bercinta-cintaan. Kedutan di lambung kiri artinya akan menanggung rindu. Kedutan di belakang kanan artinya akan bertemu orang alim/berilmu. Kedutan di belakang kiri artinya akan di mulyakan orang. Kedutan di dada sebelah kanan artinya akan berpeluk-pelukan dengan wanita. Kedutan di dada sebelah kiri artinya akan mendapat kesengan hati. Kedutan di perut sebelah kanan artinya akan menerima uang banyak. Kedutan di perut sebelah kiri artinya akan kedatangan orang pembesar. Kedutan di pinggang sebelah kanan artinya akan mendapat kebaikan. Kedutan di pinggang sebelah kiri artinya akan mendapat anak. Kedutan di dubur artinya akan mendapat untung. Kedutan di pusar artinya akan dapat uang banyak. Kedutan di tumit kanan artinya akan bepergian. Kedutan di tumit kiri artinya akan mendapat hati senang. Kedutan di pangkal paha kanan artinya ada orang yang menaruh cinta pada kita. Kedutan di pangkal paha kiri artinya akan bersetubuh dengan seseorang. Kedutan di kedua pangkal paha artinya istri akan serong. Kedutan di paha kanan artinya akan bertemu keluarga. Kedutan di paha kiri artinya akan mendapat kebaikan atau menerima uang. Kedutan di lutut kanan artinya akan menerima uang. Kedutan di lutut kiri artinya akan menang berkelahi. Kedutan di betis kanan artinya akan pergi jauh. Kedutan di betis kiri artinya akan senang hati. Kedutan di pergelangan kaki kanan artinya akan mendapat hasutan orang. Kedutan di pergelangan kaki kiri artinya akan mendapat kemuliaan. Kedutan di mata kaki kanan artinya akan bertemu dengan orang jauh. Kedutan di mata kaki kiri artinya akan mendapat kabar baik. Kedutan di jempol kaki kanan artinya akan ada kematian keluarga. Kedutan di jempol kaki kiri artinya akan bertemu sahabat. Untuk orang awam anggota badannya yang sering berkedut di mata dan tangan,dan untuk orang yang punya kelebihan seluruh tanda-tanda kedutan sering berkedut karna daya perasanya yang tajam.

Pemahaman Tuhan pada tingkat Nirguna Brahman.

Warih Sire Agra Manikan Aum, rahajeng sanje semeton Pemahaman Tuhan pada tingkat Nirguna Brahman. Pada tingkat pemahaman Nirguna Brahman, Tuhan disebut sebagai PARAMASIWA. Dalam kitab suci Weda, Tuhan pada tingkat ini mempunyai definisi sebagai berikut: 1. Apramaya, yaitu kemahakuasaan yang sulit dibayangkan melalui panca indra karena beliau sangat halus dan sempurna. 2. Ananta, yaitu kemahakuasaan dilukiskan tiada terbatas, beliau ada di mana-mana, dan beliau mampu merubah segala sesuatu yang diingini olehNya. 3. Aupamya, yaitu kemahakuasaan Hyang Widhi yang sangat sulit mencari bandingannya. Karena semua makhluk yang ada di alam semesta tidak ada menyamai kemahakuasaan-Nya. 4. Anamaya, yaitu yang Maha Suci. Beliau sangat mulia, tidak pernah menderita suatu penyakit. 5. Maha Suksme, yaitu Maha Gaib yang sangat halus. 6. Sarwagata, yaitu Maha ada, Maha Besar meliputi seluruh jagad raya. 7. Dhruwa, yaitu sangat tenang, tiada bergerak, stabil namun Ia berada di mana mana. 8. Awyayam, yaitu Maha sempurna, walaupun Ia mengisi seluruh alam raya semesta, kesempurnaan beliau tiada berkurang. 9. Iswara, yaitu Raja alam semesta. Ia mengatur alam raya semesta, dan tiada satupun kekuatan yang mampu mengatur beliau. 10. Swayambhu, yaitu Absolut dalam segala-galanya, tidak dilahirkan karena Beliau ada dengan sendirinya Oleh-oleh melali jumah Pekak Google. Suksma Kak. Warih Sire Agra Manikan Aum, pada tingkat Nirguna Brahman, Tuhan tidak mempunyai wujud lagi dan juga tidak mempunyai sebutan seperti: Leluhur, Bhatara/i, Dewa/i, Widyadara/i dll. Juga Tuhan tidak dapat disimbulkan/dipersonifikasikan dengan Bangunan Suci, Arca, Pretima, prelingga, busana2, Banten dan segala bentuk persembahan2. Tuhan yang biasa disimbulkan/diwujudkan/dipersonifikasikan adalah pemujaan Tuhan pada tahap pemahaman Tuhan pada tingkat SAGUNA BRAHMAN. Rahayu...