Kamis, 13 Februari 2014

Kutipan dari blog ampura lupa namanya

MAKNA BEBANTENAN MAKNA BANTEN BANTEN PEJATI a. Daksina Alasnya memakai wakul / srembeng / katung yang terbuat dari janur / slepan / blarak, kemudian di dalamnya diisi tampak, uang, porosan / base tempel, beras secukupnya, sebutir kelapa yang telah dibersihkan, 7 buah kojong yang masing-masing berisi kluwek, kemiri, bumbu-bumbuan, kacang-kacangan, telor itik mentah 1, papeselan (5 jenis dedaunan seperti : daun salak, daun durian, daun nangka, daun manggis dan daun duku) dan buah-buahan (pisang). Kelapa disisipi benang berwarna putih, memakai sampyan payasan atau sampyan pusung, canang sari dan sesari daksina : adalah simbol stana Tuhan, simbol makro kosmos b. Peras Alasnya tamas / aledan / ceper, berisi kulit peras kemudian disusun di atasnya beras, benang dan base tempel serta uang. Diisi buah-buahan dan pisang secukupnya, kue, tumpeng 2 buah, rerasmen (lauk pauk) yang dialasi kojong rangkat, sampyan peras, canang sari peras adalah jenis banten permohonan agar upacara tersebut sukses (prasida) c. Soda / Ajuman Alasnya tamas / aledan : berisi buah, pisang, kue dan nasi berbentuk penek (bundar) 2 buah, rerasmen yang dialasi Tri Kona, sampyan plaus / petangas, canang sari Soda / ajuman dipakai sarana untuk memuliakan, mengagungkan Hyang Widhi dan lambang keteguhan / kokoh. d. Ketipat Kelanan Alas tamas / aledan / ceper berisi buah, kue dan pisang, ketupat 6 buah (1 kelan) rerasmen dialasi tri kona ditambah 1 butir telor mateng, sampyan plaus / petangas, lambang terkendalinya sadripu sehingga ada keseimbangan. e. Penyeneng / Tehenan / Pabuat Jenis jejaitan yang di dalamnya beruang tiga masing-masing berisi beras, benang, uang, nasi aon (nasi dicampur abu gosok) dan porosan adalah jejaitan yang berfungsi sebagai alat untuk nuntun, menurunkan prabhawa Hyang Widhi (antena receiver) Mantra : Oṁ kaki penyeneng nini panyeneng kajenengan iru sanghyang Brahma Wisnu Iswara Chandra Lintang terang gana Oṁ Shri ya namah swaha f. Pasucian/ Pangresikan Alas ceper yang di dalamnya berisi 7 buah tangkih kecil yang masing-masing tangkih berisi bedak (dari tepung), bedak kuning (tepung berwarna kuning), ambuh (kelapa diparut), kakosok (kue rengginang dibakar hingga gosong), daun kembang sepatu dirajang, pasta (asem,jeruk) dan minyak wangi. Di atasnya diisi takir dan aseban air cendana, dibuatkan sampyan payasan, sisir terbuat dari janur dan cerin dari janur. Mantra Pasucian/Pangresikan: Oṁ asta sastra empu sarining visesa Tepung tawar amunahaken angilangaken sahananing sebel kandel Cuntakaning pebhaktyaning hulun Oṁ sanut sang kala pegat Pegat rampung sahananing visesa Oṁ shri Devi bhatrimsa yogini ya namah Oṁ gagana murcha ya namah svaha. g. Segehan Alasnya aledan / ceper diisi 12 tangkih dan 1 trikona dan masing-masing berisi nasi dengan lauk pauk bawang, jahe, garam. Pejati Katur ring Sanghyang Catur Lokaphala : 1. Peras : kepada Sanghyang Iswara 2. Daksina : kepada Sanghyang Brahma 3. Tipat : kepada Sanghyang Wisnu 4. Soda : kepada Sanghyang Mahadewa h. Beberapa makna filosfis dalam pejati 1. Srembeng / wakul / srobong / katung adalah lambang Hukum Rta yaitu hukum abadi Tuhan 2. Tampak dara merupakan simbol keseimbangan baik makro kosmos maupun mikro kosmos 3. Porosan / base tumpel merupakan lambang dari konsep Tuhan sebagai Brahma (pinang), Wisnu (sirih), Iswara (kapur) dan Mahadewa (plawa) 4. Kelapa simbol pawitra (air keabadian / amertha) atau lambang alam semesta yang terdiri dari 7 lapisan sapta loka karena ternyata kelapa terdiri dari 7 lapisan dari kulit luar hingga air di dalamnya. 5. Kluwek/Pangi lambang pradhana / prakerti / unsur kebendaan / perempuan 6. Kemiri lambang purusa / unsur kejiwaan / laki-laki 7. Papeselan lambang Panca Dewata ; daun duku : Iswara; daun manggis : Brahma; daun durian : Mahadewa; daun salak: Wisnu; dan daun nangka : Siwa 8. Bumbu-bumbuan dan kacang-kacangan lambang sad rasa dan lambang kemakmuran 9. Beras lambang ibu pertiwi (Anantha Boga) 10. Benang pada daksina lambang naga Anantha Boga, Bhasuki dan Taksaka dalam proses pemutaran mandara giri untuk mencari amertha. Benang disini juga berarti alat/media penghubung antara pemuja dan yang dipuja 11. Telor mentah (itik) simbol awal dari kehidupan / getar-getar kehidupan, lambang bhuana alit. Telor terdiri dari 3 lapisan seperti pada manusia yaitu badan wadag, badan roh dan badan penyebab 12. Sesari pada daksina sebagai lambang saripati dari pekerjaan 13. Sampyan payasan / pusung / simbol dari konsep utpati, sthiti dan pralina (tri kona) 14. Aled peras / kulit peras untuk dapat berhasil diperlukan persiapan yaitu pikiran benar, ucapan benar, pandangan benar dan tujuan benar 15. Daun plawa lambang kesejukanè Bunga lambang cetusan perasaanè Bija benih-benih kesucianè Ari lambang pawitra / amerthaè Api saksi dan pendetanya Yajñaè 16. Tri kona : upti, sthiti, pralina 17. Tamas : cakra atau perputaran hidup atau windu (simbol kekosongan yang murni/ananda) 18. Ceper : catur marga (bhakti, karma, jnana dan raja marga) i. Mantra Pejati ( Daksina, Ajuman, Katipat Kelanan) Oṁ Puspa Danta ya namah svaha (dalam hati) Oṁ Siva sutram yajna pavitram paramam pavitram Prajapatir yogayusyam Balam astu teja paranam Guhyanam triganam trigunatmakam Oṁ namaste bhagavan Agni Namaste bhagavan Harih Namaste bhagavan Isa Sarva bhaksa utasanam Tri varna bhagavan Agni Brahma Visnu Mahesvara Saktikam pastikanca raksananca saiva bhicarukam. Oṁ Paramasiva Tanggohyam Siva Tattva Parayanah Sivasya Pranata Nityam Candhisaya Namostute Oṁ Naividyam Brahma Visnuca Bhoktam Deva Mahesvaram Sarva Vyadi Na Labhate Sarva Karyanta Siddhantam. Oṁ Jayarte Jaya mapnuyap Ya Sakti Yasa Apnoti Siddhi Sakalam Apnuyap Paramasiva Labhate ya namah svaha j. Mantra Canang Sari Oṁ Puspa Danta ya namah svaha (dalam hati) Oṁ tamolah panca pacara guru paduka bhyo namah swaha Oṁ shri Deva Devi Sukla ya namah svaha k. Mantra ngayabang upakara Oṁ Puspa Danta ya namah svaha (dalam hati) Oṁ Deva Bhatyam Maha Sukham Bojanam Parama Saamerthan Deva Baksya Mahatustam Boktra Laksana Karanam Oṁ Bhuktyantu Sarva Ta Deva Bhuktyantu Triloka Natha Sagenah Sapari Varah Savarga Sada Sidha Sah Oṁ Deva Boktra Laksana ya namah Deva Tripti Laksana ya namah Treptya Paramesvara ya namah svaha l. Mantra Peras Oṁ Puspa Danta ya namah svaha (dalam hati) Oṁ Pañca wara bhawet Brahma Visnu sapta wara waca Sad wara Isvara Devasca Asta wara Śiva jnana Oṁ kāra muktyate sarva peras prasidha siddhi rahayu ya namah svaha. m. Pemercikan Tirtha ke semua upakara Oṁ Pratama Sudha, Dvitya Sudha Tritya Sudha Caturti Sudha Pancami Sudha Sudha Sudha Variastu Ya namah svaha. Oṁ Puspam Samarpayami Oṁ Dupam Samarpayami Oṁ Toyam Samarpayami Sarva Baktyam Samarpayami n. Mantra Segehan Oṁ Puspa Danta Ya namah svaha (dalam hati) Oṁ Atma Tattvātma suddha mām svaha Oṁ svasti-svasti sarva bhūta suka pradhana ya namah svaha Oṁ Śāntiḥ Śāntiḥ Śāntiḥ Oṁ . o. Mantra Metabuh Arak Berem Oṁ ebek segara, ebek danu Ebek banyu premananing hulun ya namah swaha. DAKSINA Daksina berarti Brahma, dan Brahma menjadi Brahman, yaitu Sang Hyang Widhi. Beberapa komponen pembentuk daksina antara lain : a. Bebedogan ( tempatnya ) Merupakan simbul bumi, cerminan dari Sang Hyang Ibu Pertiwi b. Tapak dara, yang berada didasar bedog Merupakan simbul Swastika sebagai sumber pengatur seisi alam, menjadi cerminan Sang Hyang Rwa Bineda, sehingga kelihatan ada siang ada malam, ada laki – laki ada perempuan, baik dan buruk. c. Beras Merupakan simbul udara sebagai cerminan Sang Hyang Bayu d. Pangi Merupakan simbul sarwa pala bungkah cerminan Sang Hyang Boma e. Pepeselan ( daun – daunan ) Sebagai cerminan Sang Hyang Sangkara f. Gegantusan ( biji – bijian yang dibungkus daun pisang kering ) Merupakan simbul segala biji – bijian alam semesta, sebagai cerminan adanya Jiwatman ( Roh ) g. Tingkih Merupakan simbul bintang atau “ nata “ yalni cerminan Sang Hyang Parama Siwa h. Telur itik Merupakan simbul bulan atau “ ardha Chandra” yakni cerminan Sang Hyang Siwa i. Kelapa Merupakan simbul matahari atau “windu ” yakni cerminan Sang Hyang Sadha Siwa j. Uang kepeng bolong Merupakan simbul “ windu sunia” yakni cerminan “sangkan paran” k. Benang putih Merupakan simbul awan, yakni cerminan Sang Hyang Aji Aksara l. Porosan Merupakan simbul silih asih, cerminan dari Sang Hyang Semarajaya Semara Ratih m. Canang sari Merupakan simbul asta aiswarya yaitu Sang Hyang Dewata Nawa Sanga. Sehingga pada dasarnya Daksina merupakan kekuatan pesaksi yang disebut Tria Dasa Saksi ( Tutur Tapeni Yadnya ) Om Swastyastu, Om Agni Wijaya Jagatpati ya namaha, Om Visvadeva ya namaha, Om Aim Kalim namo Durgayai namaha, Om Shri Guru Bhyo namah Harih Om, Namame smaranam padame sharanam A. Pendahuluan Seiring dengan pesatnya perkembangan Iptek dan gencarnya penyiaran agama baik yang dilakukan oleh PHDI, Departemen Agama, LSM, Organisasi Kepemudaan, Banjar dan Desa Adat, membuat perkembangan umat Hindu terutama dari sisi kualitas semakin menggembirakan. Hal ini tampak dengan semarak diadakannya acara-acara keagamaan baik dalam bidang ritual, kesenian, seminar keagamaan, munculnya kelompok – kelompok kajian Veda, sekeha pesantian, kelompok meditasi dan sebagainya. Kondisi ini menggambarkan adanya penyadaran akan eksisitensi sebagai hamba Hyang Widhi, dengan selalu mendekatkan diri kepadaNya melalui jalan Bhakti, dengan melakukan pemujaan ataupun dengan Upacāra yajña. Namun di balik semua kemeriahan dan ketaatan itu, belum kita rasakan ada dampaknya terhadap kehidupan Umat Hindu secara umum, justru semakin banyaknya konflik yang terjadi, rasa kebersamaan, kesetaraan dan toleransi di antara sesama umat Hindu semakin menipis, masih adanya diskriminasi dalam kehidupan beragama (apalagi di Bali), dengan dalih ”Aywa Wera” dan masih banyaknya oknum yang mengobjekkan umatnya sendiri, dengan memanfaatkan berbagai kelemahan dan ketidaktahuan umat, demi keuntungan pribadi dan kelompok mereka sendiri, dengan mengatakan ’kamu tidak boleh membuat ini ataupun itu, karena kamu orang sudra/panjak, berasal dari non- Bali dan tadinya non- Hindu, kamu tidak boleh memada-mada’. Berbeda dari apa yang terdapat dalam susastra Veda, bahwa semua umat berhak dan wajib mengetahui, meresapi, menghayati dan melaksanakan segala kewajiban agama sebagai sebuah Dharma sesuai dengan guna dan swadharmanya masing-masing, terlepas dari siapa mereka, apa warna kulitnya, dari kelahiran mana mereka berasal, apa jabatannya, semuanya harus tunduk kepada hukum hukum agama, baik Sruti Smrti, Sila, Acara dan Ātma nastusti (Manawadharmasastra, II.6). Ajaran Agama tidak cukup hanya diketahui dan dimengerti saja, harus dibarengi dengan penghayatannya, dari semua itu pengamalan dalam bentuk perilaku sehari-hari kita di dalam bermasyarakat itulah yang paling utama. Semakin sering kita sembahyang, beryajña, membuat Upakāra hendaknya kita dapat meningkatkan sikap, moral dan perilaku kita menuju kualitas yang lebih baik dan benar sesuai dengan kaidah Dharma. Karena setiap Upacāra dan Upakāra yang kita buat pada dasarnya merupakan penjabaran ajaran agama dan memiliki hakekat sebagai pembelajaran diri, dalam menata hidup dan kehidupan sehingga dapat meniti ke tujuan utama kelahiran ini, yaitu ”Mokshartam Jagadhita” Setiap Upacāra (proses untuk mendekatkan diri dengan Brahman) agama selalu disertai dengan Upakāra (sarana yang dipakai sebagai media pemujaan Brahman), baik dalam wujud kecil (sederhana/kanistama), menengah (madhyama) maupun besar (mewah/uttama), hendaknya dibarengi dengan memahami akan tujuan Upacāra tersebut dan memahami makna Upakāra nya. Oleh karena itu Upacāra dan Upakāra harus mengacu kepada sastra-sastra agama, bukan hanya dilandasi dengan ”Gugon Tuwon, Anak Mula Keto” Banten dalam agama Hindu adalah bahasa agama. Ajaran suci Veda sabda suci Tuhan itu disampaikan kepada umat dalam berbagai bahasa. Ada yang meggunakan bahasa tulis seperti dalam kitab Veda Samhita disampaikan dengan bahasa Sanskerta, ada disampaikan dengan bahasa lisan. Bahasa lisan ini sesuai dengan bahasa tulisnya. Setelah di Indonesia disampaikan dengan bahasa Jawa Kuno dan di Bali disampaikan dengan bahasa Bali. Disamping itu Veda juga disampaikan dengan bahasa Mona. Mona artinya diam namun banyak mengandung informasi tentang kebenaran Veda dan bahasa Mona itu adalah banten. Dalam Lontar Yajña Prakrti disebutkan: “ sahananing bebanten pinaka raganta tuwi, pinaka warna rupaning Ida Bhatara, pinaka anda bhuana” artinya: semua jenis banten (upakāra) adalah merupakan simbol diri kita, lambang kemahakuasaan Hyang Widhi dan sebagai lambang Bhuana Agung (alam semesta) Demikian pula dalam Lontar Tegesing Sarwa Banten, dinyatakan: “ Banten mapiteges pakahyunan, nga; pakahyunane sane jangkep galang” Artinya: Banten itu adalah buah pemikiran artinya pemikiran yang lengkap dan bersih. Bila dihayati secara mendalam, banten merupakan wujud dari pemikiran yang lengkap yang didasari dengan hati yang tulus dan suci. Mewujudkan banten yang akan dapat disaksikan berwujud indah, rapi, meriah dan unik mengandung simbol, diawali dari pemikiran yang bersih, tulus dan suci. Bentuk banten itu mempunyai makna dan nilai yang tinggi mengandung simbolis filosofis yang mendalam. Banten itu kemudian dipakai untuk menyampaikan rasa cinta, bhakti dan kasih. B. Tujuan Yajña Tujuan pokok Yajña, antara lain: 1. Untuk menjabarkan dan menyebarluaskan ajaran Veda yang bersifa rahasia 2. Sebagai sarana menyeberangkan Ātma untuk mencapai Moksha 3. Sebagai sarana untuk menyampaikan permohonan kepada Hyang Widhi. 4. Sebagai sarana untuk menciptakan keseimbangan (tri hita karana). 5. Sebagai sarana untuk menciptakan suasana kesucian dan penebusan dosa. 6. Sebagai sarana pendidikan yang bersifat praktis (Ida Pandita Mpu Jaya Wijayananda, 2004: 11). C. Landasan Yajña: Setiap Yajña yang ingin dibuat/diadakan harus memenuhi kriteria yang terdapat dalam Veda, hal ini dimaksudkan agar yajña tersebut berkualitas Śāttvam, karena hanya kualitas yajña yang Śāttvamlah yang dapat menghantarkan orang yang mengadakan yajña mencapai kemanunggalan dengan Brahman, adapun landasan yajña sesuai dengan Manavadharmasastra, VII.10, yaitu: 1. Iksa; tujuan yang ingin dicapai melalui yajña tersebut harus jelas 2. Sakti; harus disesuaikan dengan tingkat kemampuan yang dimiliki, baik kualitas SDM, maupun pendanaannya, jangan sampai meninggalkan hutang. 3. Desa; disesuaikan dengan tempat dimana yajña itu akan dilakukan, kearifan daerah setempat (lokal genius) harus dihargai sehingga tidak ada kesan pemaksaan 4. Kala; situasi atau keadaan wilayah, masyarakatnya juga harus diperhatikan sehingga yajña tersebut efektif dan efisien serta bermanfaat positif 5. Tattva; harus merujuk pada ketentuan sastra agama baik Sruti, Smrti, maupun Nibandha. Disamping hal tersebut di atas, agar yajña tersebut berkualitas Śāttvam harus memenuhi standar/mutu seperti apa yang telah ditetapkan dalam Bhagavadgītā, XVII. 11-14, yaitu: 1. Sraddha; dilakkan dengan penuh keyakinan dan kemantapan hati 2. Sastra; sesuai dengan petunjukk sastra 3. Gita; terdapat lagu-lagu pujian kepada Hyang Widhi 4. Mantra;terdapat doa-doa pujaan yang dihaturkan untuk memeuliakan Hyang Widhi 5. Lascarya; dilakukan dengan penuh kesadaran dan ketulusan hati 6. Daksina; pemberian penghormatan berupa rsi yajña kepada Sang Sadhaka 7. Annaseva; menjamu dengan senang dan tulus setiap tamu dengan makanan dan minuman yang menyehatkan badan dan rohani 8. Nasmita; tidak ada unsur pamer atau jor-joran. E. Tujuan Upacāra Secara umum tujuan diadakanya Upacāra menyangkut empat hal, yaitu: 1. Yang bersifat umum dan kepercayaan adalah: untuk melenyapkan pengaruh yang kurang baik; mengundang atau menambahkan pengaruh-pengaruh yang baik dan memberikan kekuatan; untuk memperoleh tujuan hidup sekala-niskala; sebagai pernyataan umum yang dimaksud menurut tujuan Upacāra itu sendiri. 2. Sebagai pembinaan moral (budhi) sehingga memungkinkan berkembangnya sifat-sifat: welas asih dan pengampunan; tahan uji; bebas dari iri hati; meningkatnya kesucian rohani; wajar dan tenang dalam menghadapi segala cobaan hidup; suka berderma dan tidak rakus/lobha. 3. Untuk pengembangan kepribadian dari Avidya (kegelapan bati) menuju Vidya (memiliki pengetahuan) menuju Vijñana (bijaksana) menuju Kstrajña (kesadaran illahi). 4. Untuk pengembangan spiritual sehingga terbebasnya Ātma dari belenggu samsara atau manunggaling kawulo lan gusti F. Fungsi Upakāra Secara Umum 1. Sebagai linggih dan perwujudan Hyang Widhi 2. Sebagai sarana cetusan angayu bagia (persembahan) 3. Seagai sarana permohonan 4. Sebagai sarana pensucian lahir-batin G. Upakāra yang dipakai secara rutin 1. HANGKEN MASAIBAN Babanten: ngayat rikale wusan meratengan, antuk ajengan lan saruntutannya saha ngangga dupa/asep, genahe mebanten ring palinggih-palinggih pamekas ring Ide Hyang Brahma, Visnu, Hyang Sri, Bhatara Guru, miwah sane lian-lianan; patut kalaksana yang satunggil wuwusan meratengan, mesaiban dumun wawu raris dados mejengan, ngangge mantre: OM SANG BHUTA PRETHA YA NAMAH 2. HANGKEN KLIWON: Maturan ring genah-genah suci : canang genten lemgawangi, canang sari. Mesegah kepelan putih, ring natar merajan, katur ring Bhuta bucari, ring natar pekarangan mesegah pateh katur ring Sang Kala Bhucari, ring dengen/lawang taler mesegah pateh katur ring Hyang Dhurga Bhucari. 3. HANGKEN KAJENG KLIWON: Mesegeh kepelan warna tiga (putih, barak, selem), genahe masegeh pateh kadi nuju kaliwon, maweweh maturan ring palinggih-palinggih pengijeng sane wenten. 4. HANGKEN PURNAMA: Maturan ring Hyang Ratih : yan nuju sasih karo, Kasa, Katiga, Kalima, Kaenem, Kapitu, Kawulu, Kasanga, Jyestha, Sadha: Canang genten, lengawangi-buratwangi, canang sari, canang pareresikan, canang payasan, masegeh segehan kepelan putih .Muang yan sasih kalima maweweh maturan penek kuning lan cangan raka. Masegeh cacahan putih, utamannya antuk segehan agung, genahe masegeh patah kadi ring ajeng, maweweh ring kahyangan-kahyangan manut amongan. 5. HANGKEN TILEM: Yang nuju sasih kasa, Karo, Katiga, Kapat, Kalima, Kadasa, Jyestha muang Sadha, maturan ring Hyang Surya: Canang genten lengawangi-buratwangi, cangan sari pabersihan, canang payasan, penek kuning, cangan raka, yan nuju sasih Kaenem aturane maweweh : manut onggahan ring bhuta-yajña. 6. HANGKEN TILEM KAPITU: Siva Ratri sajabaning kadi ring ajeng, mawuwuh maturan pangabaktian ring Ida Hyang Siva saha upakāra : sekar bang putih ireng lan kawangen majinah 11 medaging daun bila 6 bidang. 7. HANGKEN TILEMING SASIH KAENEM, KAWULU: Sinalih tunggil ring Tilem inucap, ngawentenang Bhuta yajña, sane mawasta nanggluk merana, nganggen caru sakasidan, maka serana nunas karahajengan sajeroning kahuripan lan selanturnya, pangastawa ring Hyang Ludra maweweh suci asoroh jangkep lan sesayut-sesayut byakala. 8. HANGKEN TILEMING KASANGA: Ngelaksanayang tawur Kasanga paling alit antuk caru manca sato, tan sejeroning dese pakarangan manut sakasidan desa punika, ring pakarangan masegeh kepelan mawarna tiga, sagehan nasi sasab 108 tanding lan segehan agung ; caru punika katur ring Sang Bhuta Kala, ring Sang Kala Raja, nasi kepel sane mawarna lima, katur ring sang parabalan Sang Bhuta Kala Raja Sari, genah mecaru ring pempatan. 9. HANGKEN PAGER WESI: Maturan ring Hyang Iswara/ring genah-genah suci: canang sari, canang maraka lan sasayut pageh urip. 10. HANGKEN TUMPEK LANDEP: Maturan ring Hyang Pasupati : canang raka, canang sari, sesayut jayeng perang, saha pangodalan senjata minakadi : tumbak, keris miwah sekancan punika. 11. HANGKEN GALUNGAN: Maturan ring Hyang Paramestiguru : canang meraka, canang canang lengawangi-buratwangi, penek, pasucian, sodan, banten guru, lan pasuguh lianan sakasidan, saha memenjor jangkep madaging pala bungkah-pala gantung raka matah-lebeng. 12. HANGKEN KUNINGAN: Maturan ring Hyang Paramestiguru; canang wangi-wangi, canang pasucian, cangan raka, sodan, penek kuning maulam kuning taluh, ring penataran ngaturang segehan ring sang Bhuta Galungan sareng ring para iringan Idane suri, nanging maturan paling lambat tajeg Surya mangda sampun puput. Ring angga sarira natab sesayut prayascita, segehan kuning, panyeneng maka pangenteg bayu – sabda – idep. 13. HANGKEN TUMPEK WARIGA/TUMPEK BUBUH: Maturan ring Hyang Sangkara; canang wangi-wangi, bubuh gendar, peras tepeng raka-raka, panyeneng genahe ngilehang ring tegal ring sawah 14. HANGKEN TUMPEK UYE: Tumpek puniki pawotonan sarwa ubuh-ubuhan ring Hyang Ludra : canang raka, katipat bagia, balayag paneneng, tebusan sida malungguh, sano kawidhi-widananin sakancan ubuhan-ubuhan minakadi :ayam, banteng, paksi, miwah sakancan punika. 15. HANGKEN TUMPEK WAYANG: Maturan ring Hyang Iswara: canang raka, canang wangi-wangi, pasucian, peras ajengan, sasayut pala kerti, sarengang ring pangodalan sarwa tatangguran minakadi : gong, gambang, angklung, wayang, gender miwah sekancan punika. 16. HANGKEN SANISCARA UMANIS WATUGUNUNG: Maturan ring Hyang Saraswati; suci peras daksina, penek, kembang payas, sasayut saraswati, raka-raka, canang wangi-wangi, puniki katur ring pustaka-pustaka ring pangodalan sakasidan. 17. HANGKEN REDITE PAING SINTA/BANYU PINARUH: Maturan ring Hyang Saraswati : asuci laksana, cangan unggahan masirat toya anyar. 18. HANGKEN COMA PON SINTA/COMA RIBEK: Maturan ring Hyang Sriamertha : odalan beras : canang burat wangi, canang raka, beras kuning, tobasan amerta rawuh sai. 19. HANGKEN ANGGARA WAGE SINTA/SABUH MAS: Maturan ring Hyang Mahadeva : odalan sarwa berana : canang burat wangi, canang raka, beras kuning, tebasan bagia satata sai. 20. HANGKEN REDITE UMANIS UKIR: Maturan ring Hyang Guru : canang burat wangi, tebasan pageh urip. 21. HANGKEN ANGGARA KLIWON KULANTIR: Maturan ring Hyang Mahadeva : canang genten, segehan kepel putih, soda putih kuning. 22. HANGKEN ANGGARA KLIWON JULUNGWANGI: Maturan ring Hyang Sri :canang genten. 23. HANGKEN WERASPATI WAGE SUNGSANG/SUCI MANIK JALA: Maturan ring Hyang Pawitra : pararebuan, sodan, canang genten, segehan agung, ring lebuh ring natar pakarangan, ring natar pamrajan segehan cacan. 24. HANGKEN SUKRA KLIWON SUNGSANG/SUCI MANIK BALI : Maturan ring Hyang pawitra : parerebuan, sodan, cangan genten, segehan agung ring lebuh, ring pamarajan ring natar pakarangan segehan cacan. 25. HANGKEN REDITE PAING DUNGULAN/PANYSEKEBAN Maturan ring pemayung ring sang Butha amangku rat, ring sang butha kala dungulan saha Upakāra : segehan manca warna tiga tanding. 26. HANGKEN COMA PAING DUNGULAN/PANYAJAAN GALUNGAN Maturan ring Hyang Kala tiga : segehan manca warna tiga tanding, genahe maturan ring lebuh, ring natar sanggah, ring natar pakarangan, banten mapamayuh sekadi ring ajeng. 27. HANGKEN ANGGARA WAGE DUNGULAN/PANAMPAHAN GALUNGAN Maturan ring Hyang Kala tiga,kadi ring ajeng : sodan, pabyakalan, tebasan galungan, panyeneng lan canang gentan. 28. HANGKEN WERESPATI UMANIS DUNGULAN/MANIS GALUNGAN Maturan ring Hyang Dharma : banten penganyaran, katipat maulam sakasidan, canang genten, genahe maturan ring bale miwah ring pamerajan. 29. HANGKEN SUKERA PAING DUNGULAN/PANGEREBAGAN Maturan ring Hyang Widhi : suwarnaning katipat maulam sukasidan, canang genten meraka tape. 30. HANGKEN REDITE WAGE KUNINGAN/ULIHAN JAWA Maturan ring Hyang Pramesti Guru : sodan, segehan cacan, canang genten 31. HANGKEN SOMA KLIWON KUNINGAN/ULIHAN BALI: Maturan ring Htyang Pramwsti Guru : Sang butha Galungan : canang burat wangi, canang genten, sodan, segehan kepel. 32. HANGKEN SUKERA WAGE KUNINGAN/PENAMPAHAN KUNINGAN: Maturan ring sang Kala Galungan : mapasuguh jajaron matah, canang genten, sodan maulam sukasidan. 33. HANGKEN BUDHA KLIWON PAHANG/PEGAT WAKAN Maturan ring Hyang Licin : canang burat wangi, canang sari, segehan kepel. 34. HANGKEN SUKERA WAGE WAYANG/KALA PAKSA Maturan ring Maha Kala: Bayakalan Linggian maselat nganggen pandan. 35. HANGKEN BUDHA WAGE KELAWU: Maturan ring Hyang Sedhana, ngodalin seraja Berana : canang lenga-wangi-buratwangi, tebasan bagia sotata suci. 36. HANGKEN SUKRA UMANIS KELAWU: Maturan ring Hyang Sri ngodalin pantun canang burat wangi, pangeresikan, sodan, tebasan amerta rawuh sai. (No.1 s/d 36 bersumber dari Lontar Mpu Lutuk dan Lontar Sundari Gama; Koleksi Pribadi) H. Cara Membuat Dan Makna Filosofis Beberapa Upakāra : 1. CANANG SARI ”Canang sari inggih punika sarin kasucian kayun bhakti ring Hyang Widhi tunggal. Napkala ngaksara kahiwangan-kahiwangan”.- Canang sari yaitu inti dari pikiran dana niat yang suci sebagai tanda bhakti/hormat kepada Hyang Widhi ketika ada kekurangan saat sedang menuntut ilmu kerohanian (lontar Mpu Lutuk Alit). Canang sari adalah suatu Upakāra /banten yang selalu menyertai atau melengkapi setiap sesajen/persembahan, segala Upakāra yang dipersiapkan belum disebut lengkap kalau tidak di lengkapi dengan canang sari, begitu pentingnya sebuah canang sari dalam suatu Upakāra /bebanten. Apakah sebenarnya makna yang terkandung dalam sebuah canang sari?. Canang sari sebagai lambang angga sarira serta hidup dan kehidupan. Yaitu: ü Ceper. Ceper adalah sebagai alas dari sebuah canang, yang memiliki bentuk segi empat. Ceper adalah sebagai lambang angga-sarira (badan), empat sisi dari pada ceper sebagai lambang/nyasa dari Panca Maha Bhuta, Panca Tan Mantra, Panca Buddhindriya, Panca Karmendriya. Keempat itulah yang membentuk terjadinya Angga-sarira (badan wadag) ini. ü Beras. Beras atau wija sebagai lambang/nyasa Sang Hyang Ātma , yang menjadikan badan ini bisa hidup, Beras/wija sebagai lambang benih, dalam setiap insan/kehidupan diawali oleh benih yang bersumber dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang berwujud Ātma . Ceper sebagai lambang/nyasa angga-sarira/badan tiadalah gunanya tanpa kehadiran Sang Hyang Ātma . Tak ubahnya bagaikan benda mati, yang hanya menunggu kehancurannya. Maka dari itulah di atas sebuah ceper juga diisi dengan beras, sebagai lambang/nyasa Sang Hyang Ātma . Maka dari itulah hidup kita di belenggu oleh Citta dan Klesa, Ātma menimbulkan terjadinya Citta Angga-sarira (badan kasar) menimbulkan terjadinya klesa, itulah yang menyebabkan setiap umat manusia memiliki kelebihan dan kekurangannya. ü Porosan. Sebuah Porosan terbuat dari daun sirih, kapur/pamor, dan jambe atau gambir sebagai lambang/nyasa Tri-Premana, Bayu, Sabda, dan Idep (pikiran, perkataan, dan perbuatan). Daun sirih sebagai lambang warna hitam sebagai nyasa Bhatara Visnu, dalam bentuk tri-premana sebagai lambang/nyasa dari Sabda (perkataan), Jambe/Gambir sebagai nyasa Bhatara Brahma, dalam bentuk Tri-premana sebagai lambang/nyasa Bayu (perbuatan), Kapur/Pamor sebagai lambang/nyasa Bhatara Iswara, dalam bentuk Tri-premana sebagai lambang/nyasa Idep (pikiran). Suatu kehidupan tanpa dibarengi dengan Tri-premana dan Tri Kaya, suatu kehidupan tiadalah artinya, hidup ini akan pasif, karena dari adanya Tri-premana dan Tri Kaya itulah kita bisa memiliki suatu aktivitas, tanpa kita memiliki suatu aktivitas kita tidak akan dapat menghadapi badan ini. Suatu aktivitas akan terwujud karena adanya Tri-Premana ataupun Tri-kaya. ü Tebu dan pisang. Di atas sebuah ceper telah diisi dengan beras, porosan, dan juga diisi dengan seiris tebu dan seiris pisang. Tebu atapun pisang memiliki makna sebagai lambang/nyasa amrtha. Setelah kita memiliki badan dan jiwa yang menghidupi badan kita, dan tri Pramana yang membuat kita dapat memiliki aktivitas, dengan memiliki suatu aktivitaslah kita dapat mewujudkan Amrtha untuk menghidupi badan dan jiwa ini. Tebu dan pisang adalah sebagai lambang/ nyasa Amrtha yang diciptakan oleh kekuatan Tri Pramana dan dalam wujud Tri Kaya. ü Sampian Uras. Sampian uras dibuat dari rangkaian janur yang ditata berbentuk bundar yang biasanya terdiri dari delapan ruas atau helai, yang melambangkan roda kehidupan dengan Astaa iswaryanya/delapan karakteristik yang menyertai setiap kehidupan umat manusia. Yaitu : Dahram (Kebijaksanaan), Sathyam (Kebenaran dan kesetiaan), Pasupati (ketajaman, intelektualitas), kama (Kesenangan), Eswarya (kepemimpinan), Krodha (kemarahan), Mrtyu (kedengkian, iri hati, dendam), Kala ( kekuatan). Itulah delapan karakteristik yang dimiliki oleh setiap umat manusia, sebagai pendorong melaksanakan aktivitas, dalam menjalani roda kehidupannya. ü Bunga. Bunga adalah sebagai lambang/nyasa, kedamaian, ketulusan hati. Pada sebuah canang bunga akan ditaruh di atas sebuah sampian uras, sebagai lambang/nyasa di dalam kita menjalani roda kehidupan ini hendaknya selaludilandasi dengan ketulusan hati dan selalu dapat mewujudkan kedamaian bagi setiap insan. ü Kembang Rampai. Kembang rampai akan ditaruh di atas susunan/rangkaian bunga-bunga pada suatu canang, kembang rampai memiliki makna sebagai lambang/nyasa kebijaksanaan. Dari kata kembang rampai memiliki dua arti, yaitu: kembang berarti bunga dan rampai berarti macam-macam, sesuai dengan arah pengider-ideran kembang rampai di taruh di tengah sebagai simbol warna brumbun, karena terdiri dari bermacam-macam bunga. Dari sekian macam bunga, tidak semua memiliki bau yang harum, ada juga bunga yang tidak memiliki bau, begitu juga dalam kita menjalani kehidupan ini, tidak selamanya kita akan dapat menikmati kesenangan adakalanya juga kita akan tertimpa oleh kesusahan, kita tidak akan pernah dapat terhindar dari dua dimensi kehidupan ini. Untuk itulah dalam kita menata kehidupan ini. Untuk itulah dalam kita menata kehiupan ini hendaknya kita memiliki kebijaksanaan. ü Lepa. Lepa atau boreh miyik adalah sebagai lambang/nyasa sebagai sikap dan prilaku yang baik. Boreh miyik/lulur yang harum, lalau seseorang memaki lulur, pasti akan dioleskan pada kulitnya, jadi lulur sifat di luar yang dapat disaksikan oleh setiap orang. Yang dapat dilihat ataupun disaksikan oleh orang lain adalah prilaku kita, karena prilakunyalah seseorang akan disebut baik ataupun buruk, seseorang akan dikatakan baik apabila dia selalu berbuat baik, begitu juga sebaliknya seseorang akan dikatakan buruk kalau di selalu berbuat hal-hal yang tidak baik. Boreh miyik sebagai lambang/nyasa perbuatan yang baik. ü Minyak wangi. Minyak wangi/miyik-miyikan sebagai lambang/nyasa ketenangan jiwa atau pengendalian diri, minyak wangi biasanya diisi pada sebuah canang. Sebagai lambang/nyasa di dalam kita menata hidup dan kehidupan ini hendaknya dapat dijalankan dengan ketenangan jiwa dan pengendalian diri yang baik, saya umpamakan seperti air yang tenang, di dalam air yang kita akan dapat melihat jauh ke dalam air, sekecil apapun benda yang ada dalam air dengan gampang kita dapat melihatnya. Begitu juga dalam kita menjalani kehidupan ini, dengan ketenangan jiwa dan pengendalian diri yang mantap kita akan dapat menyelesaikan segala beban hidup ini. Canang adalah pada dasarnya sebagai wujud dari perwakilan kita untuk menghadap kepada-Nya. Kalau kita dapat meresapi dan menghayati serta melaksanakannya dalam kehidupan sehari-hari, seperti apa yang terkandung dalam makna Canang sari di atas, pasti bhakti kita akan diterima oleh Ida Sang Hyang Widhi Wasa, dan kita dapat mengarungi kehidupan ini dengan damai sejahtera sekala niskala. Karena ketaqwaan seseorang beragama bukanlah dinilai dari seringnya mereka sembahyang atau menghaturkan persembahan yang mewah-mewah, melainkan sejauh mana mereka dapat merealisasikan dalam bentuk prilakunya dalam bermasyarakat. Karena suatu ajaran Agama tidak hanya cukup untuk diresapi ataupun dihayati saja, melainkan harus dipraktekan dalam kehidupan nyata sehari-hari di dalam masyarakat. 2. CANANG GENTEN: Metaled antuk ceper, wyadin marupa kadi reringgitan, taledanne kasusunin antul plawa, porosan antuk sedah (sirih0, madaging apuh (kapur), lan jambe (pinang) mategul antuk talin porosan, susunin wadah lengis, sekar lan pandan arum. “Suksamannya panunggalan kayun suci jagi parek ring Hyang Widhi Brahma, Visnu, Iswara, punika saranane , jambe-apuh lan sirih” – Maknanya yaitu sebagai wujud penyatuan pikiran dan niat yang suci karena akan menghadap Hyang Widhi dalam prabhawa sebagai Brahma, Visnu, Iswara, inti persembahannya adalah pinang, kapur dan sirih.( Lontar Mpu Lutuk Alit) 3. CANANG LENGA WANGI: Campuran minyak kelapa ring adeng, miyik-miyikan minyak ireng, campurin malem lan menyan, minyak putih burat wangi, campurin kelapa ring akah cendana, menyan, majegahu, seranane minakadi menyan majegahu lan cendana mateges sang Tri Purusa. 4. CANANG NYAHNYAH GRINGSING: Dasar antuk ceper madaging jaja kakiping, pisang mas, nyahnyah gringsing (melakar antuk injin menyahnyah) mabungkus antuk tangkih do keraras, madaging porosan, wadah uras lan sekar. 5. CANANG GANTAL: Masaih ring Canang Genten, maweweh lekesan kekalih (2), matusuk antuk serat wyadin mategul antuk talin porosan, duwur porosanne madaging wadah uras lan sekar. 6. CANANG TUBUNGAN: Pateh sekadi Canang Genten, nanging porosanne antuk base tubungan (ijengan), muncuk lekesanne matampak dara mategul antuk talin porosan, duwur porosanne susunin wadah uras lan sekar. 7. CANANG PANGERESIKAN: Taled antuk ceper madaging tangkih 7 siki, suang-suang madaging sisig (beras menyahnyah ngantos puwun), kakosok kuning (tepung mecampur kunyit), kakosok putih (beras putih mecampur antuk tepung), tepung tawar/tepung beras sekar mesisir, madaging segahu, sesarik/minyak , kapas lan ambuh antuk don bungan pucuk/waru masisir. Pada intinya pesucian merupakan alat-alat yang dipakai untuk menyucikan Ida Bhatara dalam suatu Upacāra keagamaan. Secara instrinsik mengandung makana filosofis bahwa sebagai manusia harus senantiasa menjaga kebersihan phisik dan kesucian rohani (cipta , rasa dan karsa), karena Hyang Widhi itu maha suci maka hanya dengan kesucian manusia dapat mendekati dan menerima karunia Beliau. 8. CANANG PAYASAN: taled antuk tangkih bucu telu, masusun antuk jejahitan payasan, palawa, porosan, wadah uras lan sekar. 9. BANTEN DAPETAN (Untuk OTONAN) Banten Dapetan dapat dibuat/ditata di atas sebuah tamas/taledan yang isinya; buah, pisang, kue, tumpeng putih 1 buah, lauk sedapatnya, penyeneng, sampyan jaet guak, canang sari (Lontar Mpu Lutuk, lp. 11a). Dapetan berasal dari akar kata “dapet” mendapatkan akhiran An, yang dalam bahasa Indonesia memiliki arti yang didapatkan, ditemukan atau dihasilkan. Banten Dapetan sebagai lambang/nyasa dari Karma Wasana, semua yang kita alami, yang kita temukan/dapatkan dan kita hasilkan dalam kehidupan ini, baik ataupun buruk, suka maupun duka, pintar ataupun bodoh, kaya maupun miskin, keberhasilan ataupun kegagalan semua itu tiada lain disebabkan oleh Karma wasana kita sendiri, yang harus kita terima pada kehidupan sekarang ini. Hendaknya kita dapat mensyukurinya, dengan mensyukuri dua dimensi kehidupan yang menimpa kehidupan kita, sebagai hasil dari perbuatan kita, kita tidak akan terbebani olehnya (Ida Pandita Mpu Jaya Wijayananda, 2004: 78). Untuk mendapatkan suatu Dapetan yang baik, hendaknya mulai sekaranglah kita mempersembahkan Dapetan (Karma wasana) yang baik, agar dalam kehidupan nanti kita dapat menikmati suatu kehidupan yang lebih baik. Kehidupan kita yang sekarang adalah merupakan refleksi dari kehidupan terdahulu, dan sebagai dasar dari kehidupan yang akan datang, karena kita yakin dan percaya dengan hukum Karmaphala. Sekecil apapun perbuatan yang pernah kita lakukan, pasti akan mendapatkan pahala yang setimpal, walaupun hanya dalam pikiran sekalipun. Untuk itu marilah kita berusaha untuk selalu dapat mempersembahkan Dapetan (aktivitas karma-karma yang baik, sehingga nantinya kita dapat menuai hasil yang penuh dengan kebajikan-kebajikan. 10. PERAS (untuk OTONAN) Yang menjadi unsur-unsur Peras, yaitu: 1. Alasnya Tamas/ taledan/ Ceper; berisi aled/ kulit peras, kemudian disusun di atasnya beras, benang, base tampel/porosan, serta uang kepeng/recehan. Diisi buah-buahan, pisang, kue secukupnya, dua buah tumpeng, rerasmen/lauk pauk yang dialasi kojong rangkat, sampyan peras, canang sari. Pada prinsipnya Banten Peras memiliki fungsi sebagai permohonan agar semua kegiatan tersebut sukses (prasidha) 2. Aled/kulit peras, porosan/base tampel, beras, benang, dan uang kepeng; merupakan lambang bahwa untuk mendapatkan keberhasilan diperlukan persiapan yaitu: pikiran yang benar, ucapan yang benar, pandangan yang benar, pendengaran yang benar, dan tujuan yang benar. 3. Dua buah tumpeng; lambang kristalisasi dari duniawi menuju rohani, mengapa dua tumpeng karena sesungguhnya untuk dapat menghasilkan sebuah ciptaan maka kekuatan Purusa dan Pradhana (kejiwaan/laki-laki dengan kebendaan/perempuan) harus disatuakan baru bisa berhasil (Prasidha), tumpeng adalah lambang keuletan orang dalam meniadakan unsur-unsur materialis, ego dalam hidupnya sehingga dapat sukses menuju kepada Tuhan. 4. Tamas; lambang Cakra atau perputaran hidup atau Vindu (simbol kekosongan yang murni/ananda). 5. Ceper/ Aledan; lambang Catur marga (Bhakti, Karma, Jnana, Raja Marga) 6. Kojong Ragkat, tempat lauk pauk; memiliki makna jika ingin mendapatkan keberhasilan harus dapat memadukan semua potensi dalam diri (pikiran, ucapan, tenaga dan hati nurani). 7. Sampyan peras; terbuat dari empat potong janur dibentuk menyerupai parabola di atasnya, merupakan lambang dari kesiapan diri kita dalam menerima intuisi, inisiasi, waranugraha dari Hyang Widhi yang nantinya akan kita pakai untuk melaksanakan Dharma. 11. AJUMAN /SODA Yang menjadi unsur-unsur banten Ajuman/Soda: 1. Alasnya tamas/taledan/cepe; berisi buah, pisang dan kue secukupnya, nasi penek dua buah, rerasmen/lauk-pauk yang dialasi tri kona/ tangkih/celemik, sampyan plaus/petangas, canang sari. Sarana yang dipakai untuk memuliakan Hyang Widhi (ngajum, menghormat, sujud kepada Hyang Widhi) 2. Nasi penek adalah nasi yang dibentuk sedemikian rupa sehingga berbentuk bundar dan sedikit pipih, adalah lambang dari keteguhan atau kekokohan bhatin dalam mengagungkan Tuhan, dalam diri manusia adalah simbol Sumsuma dan Pinggala yang menyangga agar manusia tetap eksis. 3. Sampyan Plaus/Petangas; dibuat dari janur kemudian dirangkai dengan melipatnya sehingga berbentuk seperti kipas, memiliki makna simbol bahwa dalam memuja Hyang Widhi manusia harus menyerahkan diri secara totalitas di pangkuan Hyang Widhi, dan jangan banyak mengeluh, karunia Hyang Widhi akan turun ketika BhaktaNya telah siap. 12. PENYENENG/ PEBUAT/TEHENAN : Yang membentuk Penyeneng: 1. Jenis jejaitan yang di dalamnya beruang tiga masing-masing berisi beras, benang, uang, nasi aon (nasi dicampur abu gosok) dan porosan, adalah jejahitan yang berfungsi sebagai alat ntuk nuntun, menurunkan Prabhawa Hyang Widhi, agar Baliau berkenan hadir dalam Upacāra yang diselenggarakan. 2. Panyeneng dibuat dengan tujuan untuk membangun hidup yang seimbang sejak dari baru lahir hingga meninggal. 3. Ruang 1, berisi Nasi aon adalah lambang dari Deva Brahma sebagai pencipta alam semesta ini dan merupakan sarana untuk menghilangkan semua kotoran (dasa mala). 4. Ruang 2 berisi beras benang dan uang, lambang dari Deva Visnu yang memelihara alam semesta ini, beras adalah sumber makanan manusia, uang adalah alat transaksi untuk melangsungkan kehidupan, benang sebagai penghubung antara manusia dengan manusia, manusia dengan lingkungan dan manusia dengan Hyang Widhi. 5. Ruang 3 berisi bunga, daun kayu sakti (dapdap), yang ditumbuk dengan kunir dan beras, melambangkan Deva Siva dalam prabhawaNya sebagai Isvara dan Mahadeva yang senantiasa mengarahkan manusia dari yang tidak baik menuju benar, meniadakan (pralina) Adharma dan kembali ke jalan Dharma. Bagian atas dari Penyeneng ini ada jejahitan yang menyerupai Ardhacandra = Bulan, Windu = Matahari, dan Titik = bintang dan teranggana (planet yang lain). 13. SEGEHAN Secara etimologi Segehan artinya Suguh (menyuguhkan), dalam hal ini adalah kepada Bhuta Kala, yang tak lain adalah akumulasi dari limbah/kotoran yang dihasilkan oleh pikiran, perkataan dan perbuatan manusia dalam kurun waktu tertentu. Dengan segehan inilah diharapkan dapat menetralisir dan menghilangkan pengaruh negatik dari libah tersebut. Segehan adalah lambang harmonisnya hubungan manusia dengan semua ciptaan Tuhan. Jahe, secara imiah memiliki sifat panas. Semangat dibutuhkan oleh manusia tapi tidak boleh emosional. Bawang, memiliki sifat dingin. Manusia harus menggunakan kepala yang dingin dalam berbuat tapi tidak boleh bersifat dingin terhadap masalah-masalah sosial (cuek). Garam, memiliki PH-0 artinya bersifat netral, garam adalah sarana yang mujarab untuk menetralisir berbagai energi yang merugikan manusia (tasik pinaka panelah sahananing ngaletehin). Tetabuhan Arak, Berem, Tuak, adalah sejenis alkhohol, dimana alkhohol secara ilmiah sangat efektif dapat dipakai untuk membunuh berbagai kuman/bakteri yang merugikan. Oleh kedokteran dipakai untuk mensteril alat-alat kedokteran. Metabuh pada saat masegeh adalah agar semua bakteri, Virus, kuman yang merugikan yang ada di sekitar tempat itu menjadi hilang/mati. 14. SARANA YANG LAIN Daun/Plawa; lambang kesejukan. Bunga; lambang cetusan perasaan. Bija; lambang benih-benih kesucian. Air; lambang pawitra, amertha. Api; lambang saksi dan pendetanya Yajña. 15. Penjelasan Bahan Banten Menurut Lontar Tegesing Sarwa Banten; Mengenai rerasmen: “ Kacang, nga; ngamedalang pengrasa tunggal, komak, nga; sane kakalih sampun masikian”. Artinya: Kacang-kacangan menyebabkan perasaan itu menjadi menyatu, kacang komak yang berbelah dua itu sudah menyatu. 1. Mengenai Lauk: “ Ulam, nga; iwak nga; hebe nga; rawos sane becik rinengo”. Artinya: Ulam atau ikan yang dipakai sarana rerasmen itu sebagai lambang bicara yang baik untuk didengarkan. 2. Mengenai buah-buahan; “ Sarwa wija, nga; sakalwiring gawe, nga; sana tatiga ngamedalang pangrasa hayu, ngalangin ring kahuripan”. Artinya: Segala jenis buah-buahan merupakan hasil segala perbuatan, yaitu perbuatan yang tiga macam itu (Tri Kaya Parisudha), menyebabkan perasaan menjadi baik dan dapat memberikan penerangan pada kehidupan. 3. Mengenai Kue/Jajan: “ Gina, nga; wruh, uli abang putih, nga; lyang apadang, nga; patut ning rama rena. Dodol, nga; pangan, pangening citta satya, Wajik, nga; rasaning sastra, Bantal, nga; phalaning hana nora, satuh, nga; tempani, tiru-tiruan”. Artinya; Gina adalah lambang mengetahui, Uli merah dan Uli putih adalah lambang kegembiraan yang terang, bhakti terhadap guru rupaka/ ayah-ibu, Dodol adalah lambang pikiran menjadi setia, wajik adalah lambang kesenangan mempelajari sastra, Bantal adalah lambang dari hasil yang sungguh-sungguh dan tidak, dan Satuh adalah lambang patut yang ditirukan. 4. Mengenai bahan porosan: “ Sedah who, nga; hiking mangde hita wasana, ngaraning matut halyus hasanak, makadang mitra, kasih kumasih”. Artinya: Sirih dan pinang itu lambang dari yang membuatnya kesejahteraan/kerahayuan, berawal dari dasar pemikirannya yang baik, cocok dengan keadaannya, bersaudara dalam keluarga, bertetangga dan berkawan. 15. Jenis-jenis Daksina Daksina kelipatan 1 : daksina alit Daksina kelipatan 2: daksina pakala-kalaan (Manusa Yajna). Daksina kelipatan 3: daksina krepa (Rsi Yajna). Daksina kelipatan 4: daksina gede/pamogpog (upacara besar). Daksina kelipatan 5: daksina galahan. MANTRA MENGHATURKAN BANTEN PEJATI Mantra Memohon Tirtha: • Om pancaksaram maha tirtham pawitram papa nasanam papa koti sahasranam agadam bhawet sagaram • Om pancaksaram param brahma pawitram papa nasanam parantam parama jnanam siwa lokam pratam subham • Om namo siwa ityoyam para brahma atmane dewanam para sakti panca dewah panca rsih bhawet agni • Om A-karasca U-akarasca Ma-karo windhu nadhakam pancaksaram maya proktam Om-kara Agni mantranke ya namah swaha Mantra Pejati ( Daksina, Ajuman Tipat kelanan) • Om Siwa sutram yajna pawitram paramam pawitram, Prajapatir yogayusyam, balamastu teja paranam, guhyanam triganam trigunatmakam. • Om namaste bhagawan Agni, namaste bhagawan Harih, namaste bhagawan Isa, sarwa bhaksa utasanam, Tri warna bhagawan Agni Brahma Wisnu Maheswara, Saktikam pastikanca raksananca saiwa bhicarukam. Mantra Panyeneng/Tehenan/Pabuat: • Om Kaki panyeneng Nini Panyeneng kajenengan denira Sanghyang Brahma wisnu Iswara Mahadewa Surya Chandra Lintang Teranggana. Om sri ya namah swaha. Mantra Peras: • Om Panca wara bhawet Brahma, Wisnu sapta wara waca, sad wara Iswara dewasca, asta wara Siwa jnana Omkara muktyate sarwa peras prasidha siddhi rahayu ya namah swaha. Mantra Pasucian: • Om asta sastra empu sarining wisesa tepung tawar amunahaken angilangaken sahananing sebel kandel cuntakaning pebhaktyaning hulun, Om sanut sang kala pegat, pegat rampung sahananing wisesa, om sri dewi bhatrimsa yogini ya namah, Om gagana murcha ya namah swaha. Mantra Segehan: • Om Atma Tattwatma sudha mam swaha Om swasti-swasti sarwa bhuta suka pradhana ya namah swaha. Om shantih shantih shantih Om. Mantra Metabuh Arak Berem: • Om ebek segara ebek danu ebek banyu premananing hulun ya namah swaha. Demikian kupasan upakāra, sehingga dengan pemahaman ini dapat menumbuhkan kesadaran, keyakinan, dan kemantapan umat Hindu dalam membuat dan menghaturkan upakāra dan melaksanakan ajaran agama Hindu yang penuh dengan simbol-simbol, sehingga dapat mengikis dogma “Anak Mula Keto”, di masa yang akan datang. Dan yang terpenting umat dapat menjadi sumber tauladan bagi keluarga dan anak-anaknya, dengan memberikan pelatihan secara konfrehensif sebagai bentuk kepedulian akan tradisi Veda yang penuh dengan Nyasa/simbol, serta dalam penerapan Sistem Pembelajaran Tuntas. Dengan demikian akan terlahir umat yang memiliki kualifikasi kecerdasan IQ (kecerdasan intelek), EQ (kecerdasan emosional), SQ (kecerdasan spiritual), ETQ (kecerdasan etetika) sehingga eksisitensinya sebagai umat Hindu tidak akan memudar. Makna Upacara Ngenteg Linggih Upacara Pemakuhan: Sebagai ungkapan terima kasih kepada Bhagawan Wisma Karma (Dewa seni-bangunan) diwujudkan dengan mohon tirta pemakuh. Peralatan tukang disertakan dalam upacara ini. Banten Pemakuhan, peras, lis, soroan, daksina, canang lenga wangi, canang burat wangi dan ketipat kelanan. Caru ayam putih asoroh eteh-eteh pemakuhan asoroh: bagia, orti, sapsap, ulap-ulap, paso anyar berisi air, daun lalang 11 katih, pengurip-urip darah ayam putih, susur pekeramas, toya cendana, kumkuman, rantasan, seperadeg, semeti, pahat, uang, andel-andel berisi benang. Toya pemakuhan dari undagi yang membuat sikut. Urutan upacara: Ngetok sunduk, mantra: Bhatara semara, angadegang Bhatara Ratih metemuang ageni mastu astu Ang Ah. Ngetok lait, mantra: Ingsun anangun sawen anging I Dewa Gunung Agung magelung aningkahang anangun sawen, ana ring maca pada rambat rangkung panjang umur, jeng, jeng, jeng. Pangurip getih ayam putih, mantra: Mangke sira patini sepisan ngurip kita satuwuk bebataran pinaka bungkah nda. Sendi pinaka pancer nda, degan pinaka punyan nda, Abah-abah pinaka pangpang nda Raab pinaka ron nda, Kelasa pinaka kembang nda, Daging nda, pinaka woh nda, urip kita jati Paripurna urip-urip Penyapsap gidat sesaka, mantra: Pakulun manusan nira anggada kaken sapuha, menyapuha ganda keringetning wewangunan sidhi rastu. Semerti, mantra: Om Upi Sangagawenku teka pada urip, teka pada urip, teka pada urip. Baas Daksina, mantra: Om Siwa sampurna yang namah. Tatebus, mantra: Jaya Ang Ang Ang Ah Upacara Melaspas: Upacara Melaspas bertujuan mensucikan bangunan agar dapat menstanakan Ista Dewata, menyatukan sekala dan niskala. Unsur-unsur sekala adalah bangunan suci, dan unsur niskala adalah Sanghyang Widhi atau Ista Dewata. Pelaksanaan: Menghaturkan upakara pesaksian ke Surya, dan nunas tirtha pelukatan. Nyapsap dengan daun dapdap, lalang, dan toya segara. Matatorek dengan warna merah, putih, hitam, memercikkan tirtha pelukatan, memercikkan tirta pasupati, dan memukul bangunan tanda menguatkan pasak. Sulinggih memuja banten pemelaspas. Upacara Ngenteg Linggih Urutan upacara: 1. Memangguh Kata memangguh berasal dari bahasa Bali: kepangguh atau kepanggih, yang artinya menemukan. Maksudnya adalah menemukan sebidang tanah secara niskala yang kemudian digunakan untuk bangunan Padmasana. Secara skala, bidang tanah diperoleh atau ditemukan dengan membeli, hibah, warisan, dll. Namun secara niskala bidang tanah itu dimohon kepada Sanghyang Widhi, sebagai pemilik dan penguasa semesta. Banten upacara memangguh pada umumnya berdasar banten bebangkit dengan runtutannya. 2. Nyengker Nyengker artinya memberi batas-batas bidang tanah di empat penjuru mata angin, yaitu: utara, selatan, barat dan timur. Batas ini sebagai lanjutan upacara memangguh, dengan pengertian skala dan niskala pula. Secara skala, sengker atau batas berbentuk pagar halaman, dan secara niskala, sengker adalah batas bidang tanah yang dimohonkan ke hadapan Sanghyang Widhi. Pelaksanaan upacara nyengker diwujudkan dengan membubuhkan tepung beras (putih) sekeliling pagar bidang tanah. Bantennya: prayascita, pengulapan, pengambean. 3. Memirak Memirak dalam bahasa Bali berasal dari kata pirak, yang artinya membeli. Memirak juga ditujukan secara niskala kepada Sanghyang Widhi, lebih dimaksudkan sebagai rasa terima kasih atas ijin dan karunia-Nya karena telah memberikan sebidang tanah. Selain itu dengan upacara memirak, kepada Sanghyang Widhi juga mepiuning (memberitahu) tentang perubahan status tanah, yang sebelumnya mungkin berupa sawah, tegalan, dll., dan kini sudah menjadi sebuah halaman Pura. Banten upacara memirak, dasarnya suci ageng dengan runtutannya, dan seekor babi guling sebagai kelengkapannya. Sebagai stana Ida Bhatari Pertiwi, dibuat sebuah daksina lingga yang setelah upacara selesai akan dihaturkan ke Pura Subak. Setelah banten pemirak selesai dipuja oleh Sulinggih, maka bagian-bagian babi guling yakni irisan: kuping, moncong, keempat kaki, dan ekor, direcah menjadi 5, ditempatkan di 5 takir yang sudah berisi nasi jakan. Kelima takir itu diletakkan dan dihaturkan ke pertiwi masing-masing di batas bidang: utara, selatan, barat, dan timur. 4. Mecaru Caru dalam bahasa Bali artinya korban, sedangkan car dalam bahasa Sanskrit artinya keseimbangan dan keharmonisan. Dengan demikian maka caru artinya binatang yang dijadikan korban untuk memohon keseimbangan dan keharmonisan. Yang dimaksud dengan keseimbangan dan keharmonisan adalah Trihitakarana, yaitu tiga hal yang menjadi dasar kehidupan yang baik: parhyangan, pawongan, dan palemahan. Parhyangan adalah hubungan yang seimbang dan harmonis antara manusia dengan Sanghyang Widhi. Pawongan adalah hubungan yang seimbang dan harmonis antara manusia dengan manusia. Palemahan adalah hubungan yang seimbang dan harmonis antara manusia dengan alam. Menurut ajaran agama Hindu-Bali, tanpa ketiga keseimbangan dan keharmonisan itu manusia tidak akan menemukan mokshartam jagaditha. Dalam kaitan ini, Padmasana sebagai stana Sanghyang Widhi, bukanlah hanya niyasa pemujaan saja, tetapi juga untuk memohon keutuhan Trihitakarana menuju mokshartam jagaditha. Banten caru yang umumnya digunakan pada upacara ngenteg linggih Padmasana minimal Rsigana berdasar Manca sanak. 5. Mendem akah-pedagingan Mendem artinya menanam. Akah-pedagingan terdiri dari panca-datu, yaitu: emas, perak, tembaga, besi, dan permata. Kelima unsur (panca –datu) adalah simbol isi bumi, yakni logam dan batu mulia yang diciptakan Sanghyang Widhi pada awal terbentuknya bumi. Akah-pedagingan ditanam pada dasar, dan tengah Padmasana. 6. Memasang orti dan ulap-ulap Orti adalah sejenis jejahitan berbahan daun rontal. Makna orti adalah pemberitahuan bahwa bangunan Padmasana sudah disucikan. Ulap-ulap adalah rerajahan pada secarik kain putih yang bermakna mensakralkan bangunan pelinggih. Orti dipasang di puncak bangunan, dan ulap-ulap dipasang di bawah orti. 7. Mendem bagia-palakerti Bagia artinya bahagia; palakerti artinya hasil dari karma (perbuatan). Isi bagia palakerti adalah berbagai hasil bumi: buah-buahan dan umbi-umbian (pala gantung dan pala bungkah). Bagia-palakerti ditanam di tanah belakang Padmasana bertujuan untuk memohon pahala yang baik kepada Sanghyang Widhi, karena sang maduwe karya telah melaksanakan upacara ngenteg linggih. 8. Memendak Ida Bhatara Kata Ida Bhatara artinya “Maha Kuasa yang menyayangi dan melindungi”. Menstanakan Ida Bhatara di Padmasana, seperti yang diuraikan terdahulu, berarti menstanakan Sanghyang Widhi di bangunan niyasa untuk dipuja. Niyasa (simbol) yang digunakan sebagai pralingga dapat berbagai bentuk, misalnya pretima, gopelan, dan ampilan. Yang umum digunakan adalah ampilan, terdiri dari kotak, daksina lingga, dan runtutannya. Setelah ampilan disucikan dan dipasupati, Ida Bhatara dimohonkan berstana di ampilan itu. Prosesnya dengan muspa ngider bhuwana mulai menghadap ke timur untuk memuja Ishwara, ke selatan untuk memuja Brahma, ke barat untuk memuja Mahadewa, ke utara untuk memuja Wisnu, dan ke timur sekali lagi untuk memuja Tripurusha. 9. Mekalahyas Dengan berpedoman pada lontar Yadnya Prakerti, diyakini bahwa wateking bhuta-kala atau roh-roh liar selalu ingin mendapatkan tirtha amertha dalam usahanya untuk meningkatkan kesucian. Oleh karena itu roh-roh liar ini selalu bersembunyi di tempat-tempat suci dengan harapan bila ada upacara maka mereka secara tidak disengaja akan memperoleh percikan tirtha amertha dari puja-mantra Pandita. Demikian pula dengan kotak ampilan yang dimohonkan sebagai stana Sanghyang Widhi, tidak luput dari gangguan para roh liar ini. Agar hal itu tidak terjadi maka para roh liar diberikan lelabaan agar tidak mengganggu jalannya upacara dan tidak bersembunyi di niyasa kotak ampilan Ida Bhatara. Lelabaan itu disebut banten kalahyas. Kalahyas terdiri dari dua kata: kala artinya roh liar; hyas artinya menyenangkan. Jadi kalahyas artinya banten untuk menyenangkan roh-roh liar. 10. Melasti Melasti dalam bahasa Bali terdiri dari dua kata: mala artinya kekotoran atau noda; asti artinya dibuang. Jadi melasti yang asalnya mala-asti, artinya menghanyutkan kekotoran. Upacara melasti dilakukan di laut, karena kegiatan melasti meliputi dua tujuan, yaitu: menghilangkan kekotoran, dan memohon tirtha amertha kamandalu, yakni tirtha suci yang diyakini membawa kesucian, kebaikan, kemakmuran, dan kejayaan atau umur panjang. Yang dimaksud dengan tirtha amerta kamandalu, adalah air dari tujuh buah sungai suci di India, di mana Weda diwahyukan oleh Sanghyang Widhi melalui tujuh Maha Rsi (Grtsamada, Wiswamitra, Wamadewa, Atri, Bharadwaja, Wasista, dan Kanwa). Sungai-sungai itu adalah: Gangga, Sindhu, Saraswati, Yamuna, Godhawari, Narmada, dan Sarayu. Oleh karena kita tidak mungkin pergi ke India setiap saat untuk melasti, maka dengan pengertian bahwa ketujuh sungai suci itu bermuara ke laut, dan laut di dunia menyatu, maka diyakini laut di selatan India sebagai muara sungai-sungai suci yang telah mengandung unsur-unsur kesucian, sama dengan laut di mana saja. Oleh karena itu jika melasti ke laut dianggap sama dengan mendapatkan air dari ketujuh sungai suci itu. Karena tujuan melasti seperti yang diuraikan di atas adalah untuk menghanyutkan kekotoran dan mendapatkan tirtha suci, maka kegiatan melasti sering disebut: ANGANYUTAKEN LARA-ROGA TUR SARWANING MALA, LAN AMET TIRTHA AMERTHA KAMANDALU RING TELENGING SAMUDRA artinya menghanyutkan kekotoran dan membuang segala keburukan, serta mendapatkan air suci di tengah lautan. Hanya bila ke laut saja dapat disebut melasti, sedangkan bila ke sumber mata air atau sungai, tidak disebut melasti, tetapi mesucian. Tujuan dan faedahnya tentu berbeda. 11. Ngenteg linggih: Karya Pemungkah dan Pedudusan Ngenteg linggih artinya: mengokohkan kedudukan Ida Bhatara secara niskala di Padmasana; Karya Pemungkah artinya: Memohon kesediaan Ida Bhatara berstana di Padmasana; Pedudusan, yang berasal dari kata: pedius-diusan, artinya pensucian. Prosesi upacara: • Setelah niyasa Ida Bhatara datang dari melasti, maka kotak ampilan diletakkan di sanggar tawang. Di sini Ida Bhatara dihaturi banten catur dan dipuja-mantra oleh Pandita. • Setelah itu niyasa Ida Bhatara diturunkan dari sanggar tawang, melalui titi-mahmah lalu diletakkan di Bale Peselang. • Kemudian Ida Bhatara dihaturi sesajen kemudian di puja-mantra oleh Pandita. • Para peserta upacara, bersembahyang memuja Sanghyang Widhi sebagai pencipta, pemelihara, dan penyelamat dunia. • Selanjutnya barulah niyasa Ida Bhatara di letakkan di Bale Pahiasan, untuk dihaturi sesajen dan dipuja-mantra oleh Pandita. Makna upacara: • Meletakkan niyasa Ida Bhatara di sanggar tawang dan dihaturi banten catur, bermakna niyasa itu mendapat wara-nugraha dari Sanghyang Widhi sebagai Ishwara, Brahma, Mahadewa, dan Wisnu. • Meletakkan niyasa Ida Bhatara di bale peselang, bermakna kehadiran Sanghyang Widhi di alam bwah-loka untuk menganugrahkan kebaikan, kesejahteraan dan kebahagiaan kepada manusia. • Meletakkan niyasa Ida Bhatara di Pahiasan, bermakna sebagai Sanghyang Widhi yang menerima haturan, persembahan, dan pujaan dari manusia yang telah mendapatkan sinar suci-Nya. 12. Pemuspaan Pemuspaan adalah sembahyang bersama, diawali dengan puja trisandya dan dilanjutkan dengan kramaning sembah. Setelah itu tirtha wangsuh-pada dan bija dibagikan oleh Jero Mangku. Ida Pandita mengisi waktu luang itu dengan dharma-wacana. 13. Mesida-karya Upacara mesida-karya biasanya dilaksanakan di hari penyineban Ida Bhatara. Didahului dengan menghaturkan banten banten sida-karya, lalu sembahyang bersama, maka niyasa Ida Bhatara berupa kotak ampilan disimpan di tempat yang baik dan aman, untuk digunakan lagi di hari piodalan Ida Bhatara. Upacara ini bermakna sebagai permohonan dan piuning kehadapan Sanghyang Widhi bahwa rangkaian upacara Ngenteg Linggih telah selesai, serta memohon ampun bila dalam penyelenggaraan upacara ada kekeliruan-kekeliruan. Sampai di sini selesailah semua prosesi sejak membangun Padmasana sampai mengupacarainya, sehingga dengan demikian Padmasana sudah dapat digunakan sebagai niyasa pemujaan Sanghyang Widhi di setiap saat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar