Senin, 28 Januari 2013

Api Suci Kundalini



Api Suci Kundalini

Kundalini merupakan salah satu keagungan pengetahuan dari Pertapaan Chandra Parwata yang telah terbukti mampu mengantarkan para Yogi-Yogini mencapai Moksa yaitu merupakan tujuan utama manusia dilahirkan ke dunia ini. Namun, dalam perjalanan mengarungi samudra kehidupan ini, manusia sering tersesat tidak tentu arah. Manusia hanya mengejar materi, kedudukan, kekuasaan, dan hal-hal duniawi lainnya.

Kundalini merupakan kekuatan suci yang sangat luar biasa yang ada pada diri manusia, yang mana telah terbukti mampu mengantarkan para Yogi dan Yogini terdahulu mencapai kesempurnaan yoga dan mencapai Moksa. Kebanyakan manusia tidak menyadari dan tidak mengenal keberadaan Kundalini. Pada orang yang demikian, hakikatnya Kundalini berada dalam keadaan tertidur sepanjang hidupnya dari lahir sampai meninggal karena tidak pernah dibangkitkan.
Api Suci Kundalini mampu melindungi manusia agar terhindar dari segala kekotoran yang akan menghambat manusia mencapai Moksa. Apabila Kundalini telah bangkit ditambah dengan kekuatan Nada Brahman, melalui nyanyian suci Ketuhanan, akan mempercepat Yogi dan Yogini mencapai Moksa, jauh lebih cepat daripada mereka yang hanya melakukan japa mantram (astawa), mudra, yoga, dan Swara Sadhana Sapta Cakra.

Untuk dapat membangkitkan Kundalini, seseorang harus melalui tahapan-tahapan tertentu yaitu : (1). Tahap Penyucian Diri, pada tahapan ini, seseorang harus melakukan berbagai proses penyucian diri seperti : melukat, rajin sembahyang, melakukan japa, mengulang-ulang Nawa Sangga Astawa, dan lain-lain. (2). Tahap Mengenali Diri, mulai mengenal diri sendiri baik itu kelemahan diri, kelebihan diri termasuk pula mengetahui tentang nadhi, cakra yang ada dalam diri. (3). Tahap Selalu Dekat dengan Sang Pencipta, selalu berserah diri pada Tuhan. Pada tahapan ini dianjurkan agar mengucapkan Om 18 kali sebelum dan sesudah bangun tidur yang dinamakan “Om Awal Dan Akhir Kehidupan Dalam Sehari”. (4). Tahap Pembangkitan Kundalini, Tahapan ini disebut dengan “Samadhi Swara Sadhana Pembangkitan Kundalini”.

Dunia ini penuh dengan konsep Rwa Bhineda dalam berbagai bentuk. Dalam lontar Kamoksan diuraikan bahwa, “Pertiwi sirep, Akasa sirep, Wulan sirep, Bayu sirep, Gni sirep, Brahma sirep, Wisnu sirep, Sambu sirep, Manusa tan sirepa, Dewa papat kawasa sirep, rat sidem Bhuana sirep”. Arti bebasnya, bumi tidur, akasa tidur, bulan tidur, bayu tidur, api tidur, Brahma tidur, Sambu tidur, hanya manusia yang tidak tidur, Empat Dewa juga bisa tidur, demikian juga raja dunia juga tidur”. Hal tersebut menunjukkan bahwa semua yang berasal dari tidak ada, mereka berkembang menjadi demikian banyak. Pada akhirnya mereka akan kembali pada asalnya yaitu menjadi tiada. Hanya manusia yang terus ada (karena diliputi oleh keinginan-keinginannya/egoisme). Manusia bisa menjadi tidak ada ketika mereka mampu meneladani sifat-sifat kedewataan (suri-asuri sampat).

Yoga dan Kundalini Sakti



Misteri Yoga Dan Kundalini Sakti
Hari ini RajaYoga Darmayasa mulai melakukan bimbingan meditasi di Taman Mini Indonesia Indah. Bicara meditasi, maka tak bisa dilepaskan dari soal yoga dan pembangkitan kundalini. Untuk menyambut darma bakti lelaki yang tinggal di New Delhi India itu, maka POSMETRO menurunkan tentang misteri yoga dan kundalini sakti. Tulisan ini didasarkan atas wawancara dengannya saat ketemu di India.
Setiap orang mempunyai tenaga spiritual rahasia yang berbeda dan berpusat di ujung tulang ekor. Tenaga ini di dalam ajaran-ajaran spiritual kuno India dinamakan kundalini. Bagi orang kebanyakan, tenaga kundalini itu berada dalam keadaan tidur. Namun bagi yang mengerti, kundalini itu merupakan kekuatan sumber atau kekuatan dasar dari segala kekuatan di dalam badan. Baik yang bersifat kasar ataupun halus, dan mereka akan berusaha untuk membangkitkan Kundalininya.
Kundalini memulai kebangkitannya dari pusatnya di Cakra Muladhara, melewati Cakra Swadhisthana, Cakra Manipura, Cakra Anahata, Cakra Visuddha, Cakra Ajna, dan akhirnya mencapai Cakra Sahasrara, yaitu Cakra ke tujuh dan Cakra pusat terakhir dengan seribu pusat. Antara cakra ke tujuh dan cakra ke enam terdapat sebuah titik pusat yang dinamakan Bindu Visarga. Pusat ini yang memegang peranan sangat penting dalam kebangkitan kundalini.
Berbagai agama dan kepercayaan memiliki cara masing-masing yang berbeda untuk membangkitkan kundalini, dengan sistem dan tujuan yang berbeda pula. Beberapa diantaranya yang masih terpukau oleh kekuatan-kekuatan bawah, berusaha membangkitkan kundalini dengan tujuan mendapatkan kekuatan-kekuatan gaib, tenaga dalam dan lain-lain. Namun tidak semua yang berusaha membangkitkan kundalini mempunyai tujuan untuk membebaskan dirinya dari khayalan dan kepalsuan. Malah sebaliknya berusaha memusatkan praktek-praktek pembangkitan kundalininya untuk tujuan merealisasikan Sang Diri Sejati. Mereka yang telah berhasil membangkitkan kundalininya akan mampu menjadi tuan dari keinginan-keinginannya.
Kata Cakra menunjukkan arti perputaran roda. Masing-masing cakra merupakan pusat-pusat roda pemutaran dari berbagai tenaga-tenaga yang berlainan di pusat-pusat yang berbeda pula di dalam tubuh manusia. Lancar tidaknya, atau berhasil tidaknya pemutara dan pembangkitan ditentukan oleh sejauh mana yang bersangkutan berhasil menyucikan pusat-pusat kekuatan tersebut. Tentu, serta saluran-saluran nadinya, khususnya tiga buah nadi, yaitu Ida, Pinggala dan Susumna nadi.
Spiral adalah kekutan daya hidup alami dan pertumbuhan. Spiral ini terus tumbuh dan tidak persis sama ditemui pada setiap orang. Spiral ini merupakan bentuk dari ‘curve’ dimana satu dan yang lain ukurannya berbeda tetapi bentuknya sama. Spiral bekerja dengan dua cara dan keluar masuk menuju sumbernya. Spiral ini dapat menentukan dan mengeliminasi hal-hal yang telah terjadi, secara tidak langsung dapat mencapai bagian yang lebih besar dan hal yang baru.
Potensi Terpendam Hatha Yoga
Fenomena dari spiral ini memberikan suatu pola evolusi suatu individu dan mencapai level kosmik. Pada intinya, Hatha Yoga merupakan kundalini sakti yaitu lingkaran ular berbentuk spiral yang menggambarkan kekuatan dan tenaga potensial yang terpendam, yang pada dasarnya terdapat di dalam diri setiap orang. Kundalini mengandung arti panas dan sakti berarti kekuatan. Jadi kundalini sakti berarti tenaga spiral yang panas, diam terbaring namun merupakan tenaga yang potensial. Dan tenaga ini siap meluncur ke atas bila sudah dibuka pembungkusnya dan jalurnya sudah dibersihkan.
Di dalam kitab Gheranda-Samhita (3.9) dinyatakan bahwa kundalini terletak di Muladhara di daerah bagian bawah abdomen. Salah satu cara untuk merangsang cakra ini dengan menekan lapisan abdomen dengan tumit dan kedua sisi dari kaki, dimana tumit menekan lubang dubur dan mata kaki menekan solar plexus, dan merangsang kundalini dengan mengkontraksikan lubang dubur(bhanu).
Kundalini merupakan tenga yang dahsyat dan menyebar sehingga diyakini sebagai sumber kehidupan. Terdapat titik khusus dalam matrix struktur tubuh yng menyimpan tenaga potensial untuk merangsang atau mendapatkan tenaga tersebut. Dan satu dari titik itu menjadi perhatian khusus dalam Hatha Yoga.
Tujuan pertama dari Hatha Yoga adalah untuk membersihkan nadi sehingga dapat memperlancar prana, dan kemudian mendorong naik kekutan Kundalini. Pengaktifan tenaga laten yang dahsyat ini dilakukan menimbulkan transformasi yang mendalam dari yogi dan mempercepat perkembangan kesadaran akan identitasnya. Tahapan utama dalam proses transformasi ini ditunjukkan secara bersamaann dengan pembukaan dan penutupan kundalini di berbagai Cakra yang terletak di citrini-nadi dalam jalur Susumna, dan sampai pada puncaknya di Sahasrara –padma.
Sering orang-orang terserongkan oleh tanda-tanda tertentu yang kadang hanya merupakan getaran-getaran dari reaksi sentuhan awal kundalini. Mereka langsung mengatakan bahwa kundalini telah bangkit. Beberapa indikasi bangkitnya kundalini akan muncul setelah yang bersangkutan menunjukkan cara hidup yang diperlukan untuk itu. Kundalini tidak akan dapat bangkit jika yang bersangkutan tidak menjauhkan diri dari sifat-sifat yng tidak terpuji, termasuk sifat-sifat tidak terpuji yang sangat tersembunyi, yang sering bersembunyi pula di dalam kegiatan-kegiatan yang tampaknya saleh.
Beberap indiksi bangkitnya kundalini dapat diyakini jika terjadi adanya hentakan di Cakra Muladhara, ketika rambut berdiri pada pangkalnya saat Uddiyana, Jalandhara, dan Mulabandha muncul secara otomatis, saat nafas berhenti tanpa dikehendaki, saat Kevala Kumbhaka (konsentrasi penuh pada Prana) datang dengan sendirinya tanpa ditahan. Saat merasakan aliran prana mengalir ke atas menuju Sahasrara, saat mengalami pengalaman mistik, saat terucapnya mantra gaib OM berulang kali secara otomatis, saat tidak ada pikiran duniawi dalam benak, saat meditasi mata menjadi satu di trikuta (di antara dua alis mata), saat samsavi-mudra bereaksi, saat itu dikatakan bangkitnya kundalni. Selama meditasi, seolah-olah tidak merasakan badan, saat bola mata tertutup dan tidak terbuka tanpa dikehendaki, saat seperti adanya liran listrik mengalir naik-turun melalui saraf, saat itu dikatakan kundalini telah bangkit.
Keseimbangan Nadi Ida dan Pingala
Psychiatris Amerika dan Opthalmologist Lee Sannella membuat kajian mendetail tentang ciri psychologist dn physioplogis dari “pengalaman kundalini” mencatat, bahwa sensasi pisik seperti gatal, bergerak-gerak, berdenyut, rasa panas-dingin yang amat sangat, penglihatan sinar dan perasaan adanya sumber suara, dan juga adanya “sparm” dan melilit seperti proses pembentukan “archetypa”(multi bentuk) atau paling tidak dalam phase seperti itu. Lebih lanjut gambar klinis bangkitnya Kundalni juga diamati.
Menurut text India, Kundalini bangkit atau dibangkitkn pada jalur tulang belakang bergerak ke atas melalui susumna bagian tengah dan berakhir setelah mencapai mahkota kepala. Sedangkn Lee Sannela menyatakan gambar klinis Kundlini bergerak dari bagian kaki dan pinggang menuju bagian atas kepala, kemudian turun ke bagian muka, bergerak menuju tenggorokan sampai tujuan akhir di daerah abdominal. Dalam hal ini Sannella memberi istilah ‘physio Kundalini’ untuk membedakan kajiannya dengan Yoga tradisional (India). Dinyatakan dengan jelas bahwa physio- Kundalini merupakn mekanisme terpisah yang bisa diaktifkan sebagai bangkitnya Kundalini secara menyeluruh.
Diantara study kajian Sannella, seorang wanita berumur 41 tahun dan telah lama melakukan latihan meditasi menyampaikan pengalaman sensasi-sensasi seperti rasa panas khususnya di bagian tulang belakang, yang diikuti adanya persepsi-persepsi cahaya dalam tengkorak kepala dan bergerak ke bawah di bagian tulang belakang.
Pengalaman tersebut berlanjut selama beberapa minggu, dan selama itu wanita teresebut tidak merasa bermeditasi, sementara itu rasa panas yang mengalir dalam tubuhnya meningkat begitu dahsyat seakan menghancurkan system sarafnya. Bahkan orang lainpun merasakan rasa panas yang amat sangat saat menyentuh pinggang bagian bawahnya. Timbulnya gejala seperti itu menunjukkan kebiasaan yang berlanjut antara aspek bawah sadar dan organ fisik manusia. Sebagai halnya dalam Hatha Yoga, mekanisme dari organ badan kasar (Sthula Sarira) seperti pernafasan dan kontraksi otot dimanfaatkan untuk menrangsang Kundalini. Dari sudut pandang para Yogi, aktifitas dari beberapa kelenjar dari seseorang dapat diolah dengan baik secara bersamaan dalam satu matrix psychophysical.
Sehubungan dengan manifestasi bangkitnya Kundalini, Marshall Govindan menguraikan persepsi internal tentang cahaya yang menakjubkan (besar) di daerah Ajna-Cakra sebagai awal kebangkitan Kundalini. Selama tahapan ini, Govindan juga menyatakan bahwa pikiran menjadi lebih tenang dan nafsu makan berkurang. Nafas terus-menerus mengalir melalui hidung selama beberapa hari. Hal ini mengindikasikan seimbangnya Nadi Ida dan Pingala. Bahkan kadang ilusi ledakan Kundalini, dimana Govindan menjelaskan hal ini sebagai isyarat hentakan listrik dari jalur tulang belakang bergerak ke atas menuju Sahasrara.
Govindan juga menyatakan adanya suara musik (Nada) terdengar, dan tekanan perasaan tersebut membawanya menuju alam bawah sadar. Tubuh fisik akan menyesuaikan selama pembangkitan awal, dan baik detak jantung dan nafas mungkin berhenti sehingga terlihat mati fisik. Tetapi, jika dibuka kelopak matanya, matanya bersinar seperti mutiara karena pengaruh energi dimana interaksi dalam dirinya (supra-physical) menjadi suatu pengalaman dengan cahaya penuh kebahagiaan.
sumber: http://www.divine-love-society.org/home/artikel/detail/69.htm

Serat Kalimausadha



Serat Kalimausadha
Di Jawa pada jaman peralihan dan Hindu ke Islam banyak sekali terbit buku sastra yang bisa dianggap buku panduan hidup yang dinamakan primbon (serat). Di antaranya ada serat Jangka Jayabaya, yang dianggap ditulis oleh Prabu Jayabaya dari Kediri (Jawa timur).
Pada jaman itu ajaran agama Hindu tidak berani terang-terangan diajarkan, tetapi selalu memakai perumpamaan. Begitu pula serat Jangka Jayabaya, jangka (langkah-langkah untuk mencapai tujuan), jaya (menang) dan baya (bebaya/bahaya). Jangka Jayabaya berarti langkah-langkah untuk mencapai tujuan, mencapai kemenangan dan bahaya (penggoda). Sementara Kediri (diri) artinya badan manusia.
Dengan demikian penulis serat Jangka Jayabaya adalah seseorang yang telab mampu menguasai atau mengendalikan dirinya (indria-indrianya) dan yang telah mencapai kemenangan atau mampu mengalahkan bahaya yang menggoda atau mengancamnya. Penulis serat itu mungkin pula seorang yoga yang sidhi (mumpuni). Ia menggunakan nama samaran sebagai Prabu Jayabaya dari Kediri. Prabu Jayabaya sendiri memenintah Kediri pada abad ke XII, dan Islam datang ke Indonesia pada abad ke XV, sedangkan Belanda pada abad ke XVI. Serat Jangka Jayabaya sendiri di dalamnya menyinggung ajaran Islam dan penjajahan Belanda serta Jepang.
Di dalam serat Jangka Jayabaya itu disinggung kisah Prabu Ramawijaya yang tidak tergoda oleh Sarpa Kanaka walaupun istrinya (Sita) tidak ada. Karena Ramawijaya memiliki lima jampi (obat) yaitu Kalimausadha yang kelimanya ini tidak boleh terpisahkan, harus lengkap. Ini diibaratkan dengan endog sapetarangan (telur satu sarang), pecah satu rusak semua. Juga disebutkan Prabu Yudistira juga memiliki Kalimausadha.
Serat Kalimausadha
Dalam kisah pewayangan di Jawa, Prabu
Yudhistira (tertua dan Panca Pandawa) memiliki ajian (kesaktian) yaitu serat Kalimosodo yang diambil dari kata Kalimausadha. Kalima (lima), usadha (jamu/jampi/obat). Jadi, Kalimausadha adalah lima obat atau lima ajaran untuk mencapai kemuliaan serta keluhuran untuk memayu hayuning jagad (melestarikan dunia) dan bisa mendapatkan penghargaan luhur dan utama, karena mampu bebas dari godaan nafsu.
Kelima obat itu adalah setia (jujur), sentosa (teguh hati), benar, pandai, dan susila. Kelima obat itu harus diramu menjadi satu, jika tidak lengkap maka tujuan hidup ini sulit tercapai. Misalnya, jika orang yang satya (jujur) tapi tidak pandai akan mudah ditipu, dia akan mengalami kesengsaraan. Demikian pula, bila orang itu pandai tapi tidak mengerti tata krama (susila), maka dia juga akan tidak bisa mencapai kemuliaan. Orang yang teguh hati (sentosa) tapi tidak benar, akhirnya juga tidak mencapai kemuliaan. Orang yang merasa benar tapi tidak teguh hati juga tidak bisa mencapai tujuan akhir. Demikian pula orang yang selalu mengerti tatakrama (susila) tapi tidak jujur (satya) juga tidak bisa mencapai kemuliaan. Dengan demikian kelimanya itu harus lengkap agar mencapai kemuliaan dan keluhuran.
Adapun serat Jangka Jayabaya adalah bagian dari serat Nitisastra, yang merupakan bagian dari serat Mahabarata bagian akhir. Demikian disebutkan di dalam serat Jangka Jayabaya, sedangkan serat Kalimausadha adalah bagian dari serat Jangka Jayabaya.
Petikan asli Serat Kalimausadha.
Serat Jangka Jayabaya himpunan Ir. Wibatsu Harianto Soembogo, Yogyakarta, menyatakan, ”Sekarang diutarakan jalan lima perkara itu, yaitu satya, santosa, benar, pintar dan susila, yang semua itu harus dijalankan”. Bila itu dilanggar dan tidak dijalankan salah satunya, tidak akan bisa mencapai dunia keutamaan. Sebaliknya hanya akan menyebabkan terjatuh kemanusiaannya. Dan akan jatuh ke dalam kehinaan, kepapaan, dan rendahnya nilai diri, malah bisa-bisa mencoreng nama bangsa.
Pertama, satya (jujur). Jika ini yang dilupakan, sudah barang tentu semua karya, tidak boleh tidak akan mengarah kepada kebohongan dan penipuan. Dan bila telah terjerumus ke dalam tindak kebohongan dan penipuan di situ akan menimbulkan cacadnya kesentosaan, kebenaran, kepandaian dan kesusilaannya sekaligus. Yang akhirnya hanya akan memetik hasil perbuatannya yaitu kehinaan dan kerusakan, Bila demikian, langka bisa diterima pada derajad keluhuran dan menjadi penghuni wilayah keutamaan.
Kedua, santosa. Bila yang dilupakan kesentosaan yang pasti ajakan empat perkara tersebut akan sirna lebur tanpa sisa, karena telah kehilangan kesentosaan. Karena semua tujuan dan kerja (karma) itu akan sempurna hanya dengan sarana melaksanakan kesentosaan batin. Bila tanpa kesentosaan, tekad itu ibarat menyebar benih di atas batu, pasti langka akan bisa hidup apalagi berbuah.
Ketiga, benar. Bila yang dilupakan kebenaran, berarti tidak mengerti kebenaran, salah-salah bisa hilang derajad kemanusiaannya. Kebenaran tidak dimengerti berarti juga sama sekali tidak mau berusaha mengerti kepada kenyataan. Walaupun sudah memiliki kepandaian, tentunya juga kepandaian yang tidak nyata dan benar. Akhirnya anjuran empat perkara itu akan sirna tanpa bekas, malah bisa jauh dari watak adil dan benar. Demikianlah yang menjadi sebab memudahkan datangnya bermacam-macam kesulitan.
Keempat, pandai. Bila yang dilupakan kepandaian, anjuran empat cara yang lain akan sia-sia tak berguna di dalam budi pekertinya sehingga tidak akan tercapai apa yang diinginkan, karena kepandaian itu adalah sumber keluhuran dan kebahagiaan.
Kelima susila. Bila yang dilupakan kesusilaan, anjuran empat cara yang lain akan sirna tak berbekas. Sebab seumpamanya memiliki dasar kesetiaan (jujur), yang dipentingkan hanya semua pekerjaan yang rendah, nista, dan menjadi penghalang bagi keutamaan. Bila memilih watak santosa (teguh hati), tapi meninggalkan kesusilaan, keteguhan hati itu hanya untuk meneguhkan semua pekerjaan yang tanpa kesusilaan. Artinya, semua pekerjaan yang tidak menyertakan kebaikan dan keutamaan. Budi luhur sama sekali tidak ada di dalam hati, bila buta dengan kesusilaan. Apalagi bila memiliki kepandaian, kepandaiannya itu hanya akan untuk membodohi, yang akhirnya hanya membuat rugi pada orang lain dan hanya menguntungkan dirinya. Dan kepandaian yang demikian tetap hina dan tetap di dalam kenistaan. Utamanya, kepandaian yang luhur adalah memayu hayu harjaning Negara (membuat lestari makmur dan damainya Negara), untuk menghapus kedurjanaan (kebathilan), perencana kejahatan, pemberontak Negara, lebih-lebih yang menjual bangsa dan Negara. Demikian, itu Semua memang pantas mendapat hukuman, tapi bila tetap saja berbuat jahat, memang seharusnya mendapat hukuman mati.
Demikianlah, bahwa kelima ajaran itu memang harus utuh agar mencapai kemuliaan. Satya, santosa, benar, pintar dan bersusila kelimanya ini wajib diusahakan mengisi pikiran kita, yaitu watak dan sifat-sifat satya. Walaupun yang dikatakan satya itu masih lebih luas lagi, tapi kelima dasar itu harus menjadi dasar dari kita semua dan keturunan kita. Seolah-olah menjadi “cetak biru” atau “trade mark” dari keluarga kita. Karena itu kita seharusnya tahu dan mempelajari serta mendalami apa yang dikatakan dengan kalima usadha tersebut.
Sumber MediaHindu – Juli 2009.

Sorga dan Neraka



Sorga Neraka dalam Weda Puja Pitra Siwa
Neraka dan atau sorga, yang diperoleh atma, merupakan hasil sebuah karma, dalam kehidupan, di bumi. Subhakarma yang dilakukan manusia, maka setelah kematiannya, ia akan menuju Sorga. Sedangkan asubhakarma, yang dilakukan manusia, maka setelah kematiannya ia akan menuju Neraka. Subha-asubhakarma, yang dilakukan manusia, maka sorga dan neraka yang akan dilalui serta dinikmati. Sorga dan Neraka, bukan akhir dari kehidupan, ia tetap merupakan pilihan sesuai dengan karma manusia, serta menentukan proses kehidupan kemudian.
Sehubungan dengan tersebut, Weda Puja Pitra Siwa, memberikan pembelajaran serta pemahaman, mengenai perjalanan atma, menuju dari dan ke sorga atau neraka. Sorga atau neraka, mana yang harus dituju, terungkap melalui tata cara pengabenan.
Tempat sorga dan Neraka
Weda puja Pitra Siwa, ada tiga belas cara pengabenan seperti: Sawaprateka, Sawawedana, Pranawa, Swastha, Pitra Yadnya, awatandangmantri, Siwasumedang, Utamaning Mapranawa, Madyaning Mapranawa, Supta Pranawa, Swastha Bya, Swastha Geni dan Pitra Tarpana, maka atma akan dapat menuju salah satu sorga atau neraka, yang bertempat di utara, timur, selatan, barat atau di tengah.
1.Sorga, Neraka di Utara
Upacara pengabenan dengan cara Pranawa, Utama Pranawa, Madyaning Pranawa, dan Supta Pranawa, dengan upacara ini atma yang meninggal akan menuju utara. Bila sang Atma dapat mencapai sorga, maka akan disambut seorang bidadari yang bernama Tunjung Biru, penguasa Utara yaitu Dewa Wisnu, serta pendeta yang menyambutnya bernama Bhagawan Janaka. Bila sang atma mencapai neraka, maka neraka tersebut berupa lahar yang superior panas, serta disambut oleh para Adikala dan Kingkara.
2. Sorga, Neraka di Timur
Upacara Swasta dan Swastha Geni, mengantarkan arwah menuju arah Timur. Bila sang Atma mencapai Sorga, maka bidadari yang menyambutnya adalah Dewi Supraba, Dewanya adalah Bhatara Iswara, sedangkan pendetanya adalah Bhagawan Brghu. Bila atma mencapai Neraka, maka nerakanya berupa asap dan disambut oleh Jogormanik serta para wil.
3. Sorga, Neraka di Selatan
Upacara pengabenan dengan cara: Sawaprateka, Swastha Bya, swastha Geni dan Satawandangmantri mengantarkan Atma menuju Selatan. Manakala Atma dapat mencapai Sorga, maka akan disambut oleh bidadari yang bernama Gagarmayang, dewanya, dewa Brahma serta pendetanya Parasurama. Bila Atma mencapai neraka, nerakanya berupa api, disambut oleh Dorakala dan para Bhuta.
4. Sorga, Neraka di Barat
Upacara pengabenan sawawedhana, akan mengantar atma menuju ke arah barat. Bila atma mencapai sorga, maka akan disambut oleh seorang bidadari yang bernama Dewi Sulasih, Pendetanya Bhagawan Kanwa, sedangkan dewanya, Mahadewa. Bila Atma mencapai neraka, nerakanya berupa air mendidih, dan disambut oleh Sang Suratma dan para Pisaca.
5. Sorga, Neraka di tengah
Upacara pengabenan, Siwasumedang, Pitra Yadnya dan Pitra Tarpana, akan mengantarkan atma menuju arah tengah. Bila atma mencapai sorga, akan disambut oleh seorang bidadari bernama Dewi Suparni, pendetanya Nilaruci, sedangkan dewanya adalah Dewa Siwa. Bila sang atma mencapai neraka, nerakanya berupa kotoran, disambut oleh Byuta Anggasakti, serta para Danuja.
Atma pergi ke mana
Dengan memahami, tata cara pengabenan di atas, kita bisa mengenal atma akan pergi ke mana, apakah menuju Dewa Brahma, Wisnu, Siwa, Iswara atau Mahadewa. Dari uraian di atas, bahwa dapat diketahui atma lebih banyak menuju arah utara dan selatan, pada sosok dewa utpeti dan stiti, yaitu berdasarkan empat tata cara pengabenan, baru kemudian di tengah, pada sosok dewa pemralina, melalui tata cara pengabenan. Sedangkan arah timur hanya dua atma, sesuai dengan dua tata cara pengabenan, serta ke barat hanya satu atma, sesuai dengan satu tata cara pengabenan. Khusus, mengenai tata pengabenan Swastha Geni, atmanya dapat menuju arah selatan atau timur.
Memahami arah atma, sesuaai dengan tata cara pengabenan, manusia yang hidup ini, paling tidak melakukan pengenalan, akan lebih baik melakukan pemahaman, sehingga ada persiapan dini kalau-kalau maut telah tiba. Dalam konteks kesekalaan, pemilihan tata cara pengabenan, secara otomatis melakukan pemilihan arah atma tersebut, menuju kemana?
Bila dalam hidup ini senang dengan sosok Dewa Wisnu, maka lebih tepat memilih tata cara pengabenan; Pranawa, Utama Pranawa, Madyaning Pranawa dan Supta Pranawa, maka atma akan menuju arah utara. Bila suka dengan sosok dewa Siwa, maka lebih tepat memilih tata cara pengabenan; Siwasumedang, Pitra Yadnya dan Pritra Tarpana, atma akan menuju ke tengah, demikian eterusnya.
Atma dari Sorga ke Neraka dan dari Neraka ke Sorga
Tata cara pengabenan, sebuah proses spiritual menuju arah atma yang akan dituju, sehingga perjalanan atma menjadi jelas dan tidak kesasar. Dengan demikian pemahaman tata cara dan pelaksanaan pengbenan menjadi demikian penting, sebagai penentu arah atma. Tercermati melalui Weda Puja Pitra Siwa, bahwa tata cara pengabenan sebagai petunjuk jalan, bisa saja sang atma menuju
neraka terlebih dahulu baru kemudian ke sorga, demikan sebaliknya.
Dengan demikian tata cara pengabenan, merupakan petunjuk jalan menuju arah sorga dan neraka. Masuk sorga dan neraka tergantung karma tergantung karmawasana ketika masih hidup dahulu. Sehingga sorga dan neraka akan tetap dinikmati, bila subhakarmanya lebih banyak, maka sorga yang akan dinikmati lebih panjang, nerkanya lebih pendek, bila asubhakarnya lebih banyak, maka neraka akan dinikmati lebih panjang, sorganya leibih pendek. Hal ini sangat sejalan Swarga Rohana Parwa, bahwa Pandawa menikmati neraka telebih dahulu, namun sebentar, baru kemudian menikmati sorga yang lebih panjang. Sedangkan Kaurawa, menikmati sorga terlebih dahulu, namun sebentar, baru kemudian menikmati neraka yang lebih panjang. Bila selama hidup manusia senantiasa subhakarma, maka kehidupannya setelah mati, atmanya menuju dan hidup di sorga dengan kebahagiaan. Sedangkan selama hidupnya, manusia senantiasa asubhakarma, maka atma akan menuju dan hidup di neraka..
Sorga dan neraka, merupakan proses kehidupan yang patut dilalui, guna mendapatkan kehidupan yang lebih baik dan lebih benar, atau tidak baik dan tidak benar, di kemudian kelahiran berikutnya, yang tetap bergantung pada karma wasana. Bila sorga yang dinikmati lebih banyak, kemungkinan kehidupan pada kelahiran berikutnya akan lebih baik. Sedangkan neraka yang dinikmati lebih panjang, pada kelahiran berikutnya, akan lebih sengsara serta menderita.
Peranan Siwa menentukan arah atma
Tata cara pengabenan, Pandita/Siwa, memiliki peran yang sangat strategis menentukan arah atma, agar tepat sasaran. Disadari prosesi dan mejadi Siwa demikian berat, sebagaimana terurai dalam Weda Puja Pitra Siwa, Tugas seorang Siwa, dalam mengangkat atma dan mengantarkan ke arah tujuan, tentu merupakan hal yang sangat berat. Dalam konteks ini, pandita harus kosentrasi, dalam nguncarang Weda Puja, merupakan hal yang sangat menentukan berhasil tidaknya seorang Siwa, mengangkat dan mengantar atma ke tujuan.
Ajaran Mpu Lutuk, agar diketahui oleh Pandita, tentang Sawaprateka dan Pitra Yadnya. Lebih lanjut dijelaskan, bahwa seorang padita, jangan sampai salah menempatkan, salah memasukkan, salah memberikan kesaksian, salah memasukkan tempat atma. Betapa sulitnya , bagi sorang pandita/Siwa, maka ajaran Mpu Lutuk dalam Weda Puja Pitra Siwa, berkeali-kali menegaskan, kehati-hatian dalam memperhatikan ajaran Mpu Lutuk tetap menjadi perhatian. Sehingga , seorang Pandita/Siwa, sehubungan mengangkat atma, tidak terjadi kekaburan dalam penglihatan, samarpun jangan sampai terjadi didalam hati. Kesalah pahaman harus dihindari serta ketegasan dalam mengangkat atma, menjadi perhtian yang sangat penting bagi seorang Pandita/Siwa. Sehingga, atma yang meninggal , dapat menuju arah yang lebih baik, yaitu mendapatkan sorga. Sorga merupakan pilihan terbaik, sebelum moksa menyatunya atma dengan Paramatma/Tuhan.