Minggu, 03 Februari 2013

Reog

SENI BUDAYA REOG PONOROGO DAN ASAL-USULNYA

Seni budaya Reog Ponorogo dan asal-usulnya sesungguhnya memiliki banyak versi. Hal ini sebenarnya lebih disebabkan karena terjadinya percampuran fakta sejarah yang sebenarnya, yang mengangkat tema politik, kekuasaan dan termasuk intrik di dalamnya, bercampur dengan cerita-cerita rakyat yang memang dijadikan sebagai bentuk media komunikasi dalam kisah sejarah tersebut. Media Budaya kali ini akan mencoba menggali lebih jauh mengenai Reog sebagai referensi budaya kita.

Seni tradisional Reog bisa jadi diasumsikan sebagai 'reyog' dan direpetisikan menjadi 'reyag-reyog', yang dalam bahasa Jawa bisa berarti sesuatu yang berayun dan bergerak bergantian ke setiap sisi. Hal ini dapat terlihat di gerbang masuk kota Ponorogo, yang dianggap sebagai kota asal Reog. Pada gerbang tersebut terlihat warog dan gemblak, dua sosok utama pada Reog.

Hubungan kata ‘rèyog’ dengan Reog Ponorogo, terletak pada gerakan barongan ‘Dhadhak Mêrak’ ketika dimainkan. ‘Dhadhak Mêrak’ berupa kepala macan di bawah seekor burung merak yang sedang mengembangkan keindahan ekornya. Wujud ‘Dhadhak Mêrak’ ketika dimainkan memang sangat atraktif, dengan gerakan yang gesit dan lincah menyambar-nyambar. Nah, dari gerakan ‘Dhadhak Mêrak’ yang meliuk dan menyambar ke sana ke mari itulah kemungkinan nama Reog Ponorogo bermula.

Versi-versi awal sejarah Reog sangat erat kaitannya dengan keberadaan Kerajaan Majapahit menjelang keruntuhannya, awal penyebaran agama Islam, dan pola pendekatan penyebaran tersebut dengan media seni dan tradisi, dan persepsi bahwa ada tokoh dalam kisah tersebut yang berupaya membelokkan keadaan sebenarnya dalam rangka niatan mempertahankan nilai-nilai yang terkandung dalam media seni budaya yang dimaksud.

Ki Ageng Kutu, Kerajaan Majapahit dan Permaisuri dari Cina
Pada masa pemerintahan Sang Phrabu Kerthabumi atau Raja Brawijaya V di Kerajaan Majapahit menjelang runtuhnya, diangkatlah seorang sastrawan hebat yang berasal dari Bali bernama Kutu, dan diberi gelar Pujangga Anom (dalam bahasa Jawa kuna kata pujangga sering dilafalkan dengan dengan bujangga). Beliau dianugerahkan perdikan (wilayah bebas pajak) bernama Wengker (sekarang Ponorogo) dan diberi gelar Ki Gedhe Surya Bhuwana atau Ki Ageng Surya Ngalam. Ki Ageng memutuskan menetap di perdikan Wengker dan tidak akan ke Trowulan (ibukota), sebab sudah kesal sang Raja tidak menjaga wibawanya di depan rakyat oleh karena terlalu menuruti semua kehendak sang istri, bahkan untuk semua keputusan menyangkut kerajaan. Semua upayanya menyadarkan sang raja melalui bingkisan seni dan sastra yang dikirimkan ke Trowulan tidak pernah diindahkan, dan menyimpulkan masa depan kerajaan di ambang keruntuhan.

Salah satu cara untuk memperkuat keputusannya untuk menyindir sang raja dan masa depan kerajaan adalah dengan membuat perangkat atau media seni berupa kepala macan dan seekor merak di atas kepalanya ( yang dahulu dinamakan Singa Barong). Media ini dipertontonkan kepada masyarakat kala itu (sekitar tahun 900 Saka, masyarakat masih menganut Hindu Siwa), yang mencerminkan kebodohan dan kelemahan sang raja yang disimbolkan dengan topeng macan, berada dalam kedudukan di bawah merak (di atas kepala macan) menganalogikan sang istri yang terlalu dominan.

Ki Ageng Kutu, Adipati Bathara Kathong, dan Kiyai Mirah
Setelah tiga tahun Sang Phrabu marah karena Ki Ageng Kutu atau Ki Gede Surya Bhuwana atau Ki Ageng Surya Ngalam tidak pernah datang mengikuti upara di Trowulan, dan menganggap Sang Pujangga Anom telah makar karena mangkir kali dari upacara kerajaan. Sang Raja memerintahkan anaknya dari selir Putri Begelen bernama Raden Talijiwa. Raden Talijiwa menganggap kekuatan Wengker tidak seberapa sehingga hanya mengajak kekuatan kecil saja. Ternyata perkiraan itu salah, pasukan mereka hancur menghadapi kekuatan masyarakt Wengker yang ternyata telah dimobilisasi dengan kekuatan kanuragan dari Ki Ageng Pati yang diajarkan serta hubungan baik dengan warok sakti di situ.

Beruntung Raden Talijiwa yang kalah oleh keris sakti Ki Ageng Kutu tidak dibunuh karena dianggap sudah mati. Ternyata pada saat kondisi terluka, Raden Talijiwa dirawat oleh putri Ki Ageng Kutu. Putri Ki Ageng Kutu rupanya tertarik akan ketampanan sang Raden, dan selama masa penyembuhan sang Raden juga mengalami hal yang sama. Setelah merasa sudah sembuh, Raden Talijiwa pamit untuk bersemedi di telaga Ngebel. Dalam semedinya beliau mendapat wangsit bahwa akan ada orang yang akan membantunya menjadi penguasa semulia dewa (dalam bahasa setempat saat itu disebut dengan bathara kathong) di wilayah Wengker.

Raden Talijiwa terkejut karena sudah ada orang yang menunggu dirinya di telaga, bernama Kiyai Mirah (sebelumnya dikisahkan bahwa Kiyai Mirah diperintahkan oleh gurunya Kanjeng Sunan Kalijaga untuk mengajarkan Islam kepada seseorang yang telah dipersiapkan oleh Sang Kuasa dan orang ini akan berperan besar menyebarkan Islam di Tanah Jawa, dialah Raden Talajiwa). Saat itu Kiyai Mirah menyatakan sanggup membantu Raden Talijiwa menjalankan titah Sang Phrabu untuk mengalahkan Wengker. Saat itu pula Raden Talijiwa tertarik dengan agama Islam dan menyatakan masuk Islam.

Salah satu upaya yang disarankan oleh Kiyai Mirah untuk mengalahkan Ki Ageng Kutu adalah dengan menyuruh putrinya mengambil keris pusaka ayahnya, dan mengajaknya menikah di kerajaan. Upaya itu disanggupi karena keduanya memiliki rasa suka. Pada akhirnya Ki Ageng Kutu menyerah melihat kenyataan bahwa keris pusakanya telah berpindah tangan dan bahwa putrinya telah dinikahi sang Raden (tidak diketahui secara pasti nasib Ki Ageng Kutu setelah menyerah, sebagian menyatakan dia pulang ke Bali, adapula yang menyatakan dia bunuh diri atau dihukum kerajaan).

Atas keberhasilannya, Raden Talijiwa dianugerahi perdikan Wengker sebagai wilayahnya oleh Sang Phrabu dan bergelar Kanjeng Adipati Bathara Kathong. Beliau lalu membangun kadipaten baru bernama Ponorogo, sedangkan perdiken Wengker yang lama diberikan kepada Kiyai Mirah dan diberi gelar Ki Ageng Mirah.

Kiyai Mirah, Pangeran Panji Kelana Sewandana dan Prabu Singabarong
Kiyai Mirah atau Ki Ageng Mirah yang tertarik dengan media seni dan tradisi budaya Singa Barong yang telah menjadi kebudayaan setempat saat Ki Ageng Kutu atau Ki Gedhe Surya Bhuwana atau Ki Ageng Surya Ngalam menciptakan tontonan tersebut untuk mengkritik Prabu Kertabhumi, dan berinisiatif untuk melestarikannya sekaligus menjadikan sebagai media penyebaran agama Islam.

Beliau kemudian menciptakan sebuah hikayat atau cerita baru dengan tokoh Panji dengan memasukkan unsur-unsur Islam di dalamnya. Dalam kisah tersebut diceritakan seorang putri cantik yang mau menikah bila ada yang berhasil membawa hewan berkepala dua. Tersebut pula seorang raja bernama Prabu Singabarong dari Kediri bertemu dengan rombongan prajurit yang dipimpin oleh Pangeran Panji Kelana Sewandana. Kedua tokoh ini ternyata sama-sama ingin meminang sang putri, lalu bertempur. Ternyata Prabu Singabarong bertiwikromo menjadi siluman sakti seperti macan dan luwes seperti merak. Sang Pangeran lalu menggunakan cemeti saktinya. Prabu Singabarong bersama prajurit dan punakawannya bernama Ki Bujangganong akhirnya kalah, dan Pangeran Panji memenangkan sayembara tersebut.

Dari versi di atas bisa dilihat seperti sebuah trilogi, saling berurutan dan terdapat inti pada tiap fasenya. Kisah tersebut menjadi struktur sekaligus topik yang ditampilkan ketika seni Reog mentas baik saat ada acara kawinan, pesta besar dan festival budaya. Dan ternyata, Reog Ponorogo tidak hanya terkenal di daerah asalnya, tapi juga di luar daerah banyak kelompok seni fokus pada Reog Ponorogo. Sebagai seni budaya peninggalan sejarah, Reog Ponorogo seperti halnya Sejarah Seni Wayang Golek Sebagai Bagian Budaya Indonesia tetaplah harus dipertahankan dan dilestarikan, karena ini membuktikan bahwa Indonesia kaya akan peninggalan sejarah dan budaya sebagai bukti eksistensi bahwa nenek moyang Indonesia benar adanya.
by media budaya nusantara, mari bangga dengan budaya leluhur.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar