Jumat, 05 April 2013

Bisama



Bisama/pesan Ida Maharsi Markandeya saka 844 (922M) diwilayah Danau Buyan

PRASASTI Tamblingan yang ditulis pada tahun 844 Saka (922 M), ketika Sri Ugrasena menjadi Raja di Bali menetapkan bahwa wilayah Danau Buyan, Tamblingan dan sekitamya (sekarang dikenal sebagai kawasan Bedugul) adalah kawasan suci. Pada tahun Saka 858 beberapa keturunan Ida Maha Rsi Markandeya yakni warga Bhujangga Waisnawa menetap di Buyan Tamblingan ditugaskan untuk menjaga kesucian kawasan itu. Beliau membangun pura dan pasraman. Raja-rajà dari dinasti Warmadewa berikutnya antara lain Sri Jayapangus di tahun 1177 M dan Sri Bhatara Hyang Hyang Adidewa Paramaswara di tahun 1320 M menguatkan keyakinan kesucian wilayah Buyan-Tamblingan dengan menegaskannya dalam prasasti-prasasti yang berisi “kutukan” (bhisama) bagi pelanggar kesucian. Sejarah mencatat bukti kutukan Bhatara Paramaswara atas pelanggaran kesucian wilayah itu berupa malapetaka yang dahsyat:

1. Hancurnya kerajaan Kalianget yang dipimpin Raja I Dewa Kaleran pada awal abad-16 karena beliau tidak menjaga kesucian kawasan Buyan-Tamblingan (Bedugul).

2. Bencana yang menimpa Kerajaan Buleleng di bawah pimpinan Kyai Anglurah Panji Sakti, karena beliau merusak Pura Batukaru dalam ekspedisi penyerangannya ke Denpasar dan Tabanan pada tahun 1652 M. Beliau lupa pada nasihat Ki Panji Landung ketika berada di pinggir Danau Buyan pada tahun 1611 M.

3. Malapetaka dahsyat berupa tanah longsor dan banjir lumpur tanggal 22 Oktober 1815 (Masehi) yang disebabkan karena jebolnya dinding sebelah utara danau buyan-Tamblingan yang menimbun Buleleng/Singaraja bagian selatan, karena tidak dijaganya kelestarianfkesucian kawasan Bedugul dengan gunung dan danau di sekitarnya.

Pura dan Upacara-upacara Agama Hindu yang ada di Kawasan Suci Bedugul
1. Menurut Lontar Usana Bali, di kawasan Bedugul terdapat pura-pura yang sangat disakralkan oleh seluruh umat Hindu di Bali. Pura-pura itu dibangun pada tahun 1042-1045M oleh Mpu Kuturan, seorang pendeta agung dari Kadiri (Jawa Timur) yang ketika itu dipimpin oleh Raja Sri Jayawarsa Digjaya Sastraprabhu. Mpu Kuturan diminta datang oleh Raja Bali Dwipa, yakni Sri Udayana Warmadewa, keturunan Airlangga untuk memimpin umat Hindu di Bali serta menjaga keajegan Bali. Pura-pura yang terpenting adalah:

Tiga Pura Penting
A.
1 Tiga buah Pura Hulun Danu (hulunya/sumber mata air, danau), yaitu Pura
Hulun Danu Beratan, Hulun Danu Bulian dan Hulun Danau Tamblingan, sebagai stana Hyang Widhi (Tuhan YME) dalam manifestasi? Nya sebagai Bhatari Dewi “ Danuh yang memberikan kemakmuran kepada umat manusia berupa kecukupan
bahan makanan bersumber dari hasil pertanian yang subur karena diairi ketiga danau itu. Pura-pura ini dipelihara dan menjadi tanggung jawab subak-subak (organisasi pengairan khas Bali) di wilayah Kabupaten Buleleng, Tabanan, dan Badung.
2 Pura Luhur Puncak Mangu, stana pemujaan Hyang Widhi Wasa (Tuhan YME) dalam manifestasi-Nya Sebagai Bhatara Sambhu, pelindung umat manusia dan segala bentuk malapetaka.
3 Pura Luhur Batukaru, stana pemujaan Hyang Widhi Wasa (Tuhan YME) dalam manifestasi-Nya sebagai Bhatara Mahadewa, pelindung umat manusia dari perbuatan adharma (dosa). Pura ini dibangun untuk tempat pertapaan para Maha-Rsi.
4 Pura Luhur Puncak Sangkur, stana pemujaan Hyang Widhi Wasa (Tuhan YME) dalam manifestasi-Nya Sebagai Bhatara Rudra, melindungi umat manusia dari wabah dan segala penderitaan.
5 Pura Teratai Bang, stana pemujaan Hyang Widhi Wasa (Tuhan YME) dalam manifestasiNya sebagai Bhatara Sri yag memberi kemakmuran dan keberhasilan panen.
6 Selain itu di kawasan Bedugul masih ada 35 buah pura yang statusnya sebagai pura milik desa adat, milik keluarga atau klan, dan pura milik perseorangan.

B. Upacara Wanakertih diadakan setahun sekali di hutan Bedugul yakni di Pura Batukaru, bertujuan mempertahankan kelestarian hutan dan gunung, menjaga agar tetap suci sebagai stana Dewa Wisnu, manifestasi Hyang Widhi Wasa (Tuhan), pemeliharaan dunia.
C. Upacara mapekelem diadakan setahun sekali di danau-danau Beratan, Buhan dan Tamblingan, hertujuan memohon kepada Hyang Widhi Wasa (Tuhan YME) agar air danau tetap melimpah cukup karena sangat dibutuhkan bagi kehidupan semua makhluk.
D. Upacara Ngusaba Nini diadakan setahun sekali di Pura-pura Hulun Danu sebagai cetusan rasa syukur dan persembahan kepada Hyang Widhi Wasa (Tuhan YME) karena panen hasil pertanian yang baik sehingga manusia dapat menikmati kehidupan wajar.
E. Upacara Ngusabha Desa diadakan setahun sekali di Pura Batukaru, Pura Luhur Puncak Mangu, dan Pura Luhur Puncak Sangkur, memohon kepada Hyang Widhi Wasa (Tuhan YME) agar semua palemahan (bumi) terhindari bencana alam.

Kesimpulan
Tinjauan dari aspek spiritual-religius Hindu-Bali di atas, adalah berkaitan dengan upaya untuk tidak melanggar kelestarian kawasan suci yang menyebabkan nilai sakral gunung, hutan, danau dan pura-pura di sekitar Buyan-Tamblingan akan memudar sehingga mempengaruhi “kesehatan rohani” penduduk Bali yang beragama Hindu.

1. Sejarah telah mencatat bahwa perusakan hutan, gunung dan danau di kawasan Buyan-Tamblingan akan mendatangkan malapetaka yang sungguh hebat karena terkena kutukan yang tertuang dalam prasasti Tamblingan tahun 844 Saka.
2. Tercemarnya kawasan suci, pura, hutan, gunung, dan danau di kawasan Buyan-Tamblingan akan meresahkan penduduk yang beragama Hindu di Bali, karena telah menodai nilai-nilai kesakralan dan keyakinan agama yang telah menyatu pada kehidupan sehari-hari umat Hindu sejak berabad-abad lampau.
3. Pemaksaan kehendak oleh pemerintah untuk mengizinkan proyek-proyek wisata di kawasan BuyanTamblingan dapat menimbulkan gejolak sosial yang negatif, berdampak luas, dan berlangsung lama.

Sumber : Ida Bhagawan Dwija.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar