Jumat, 05 April 2013

Tongkat



Tongkat Sulinggih, Pedoman Aji Janantaka

Menurut Jero Gede Sacita, itulah kayu-kayu yang tidak baik jika dipergunakan sebagai tongkat. Tetapi jika hanya membuat sebuah tongkat yang tujuannya hanya komersial semata, bersifat profane tanpa sebuah pelibatan proses sakralisasi, maka kayu apa saja, asalkan kuat dan panjang dapat dijadikan sebuah tongkat.
Tetapi jika menginginkan sebuah tongkat yang memiliki tuah bagus, nilai sakral yang tinggi serta memang diperuntukkan untuk sebuah benda-benda sakral, maka perhatikan pemilihan kayu.

Kayu Baik Lainnya
Pria yang tahun 2012 ini juga ngayah sebagai Klian Adat Sengguan Kawan ini, memberikan beberapa contoh kayu yang baik untuk tongkat yang memang diperuntukkan bagi kesakralan baik pengguna ataupun tongkat itu sendiri: Pertama, Kayu yang katunas di pura atau areal suci pura. Bisanya ini tidak dapat diperoleh sembarangan, perlu sebuah ijin dari pengempon pura, jero mangku yang bersangkutan ataupun restu dan berkat dari Ida Bhatara yang memang berstana di pura tersebut. Kayu ini pun jika saat nunas menggunakan banten pejati dan tidak boleh sembarangan main tebang dan main tebas. Perlu sebuah atur piuning ke hadapan Ida Bhatara yang berstana di pura.

Kedua, kayu yang tumbuh di hutan-hutan, tegalan yang tidak menjadi tanaman pembatas jalan atau tanaman pagar halaman atau penyengker. Dengan kata lain, kayu ini tumbuh di wilayah hutan yang memang bebas dari perhitungan kayu buruk seperti yang dipaparkan di atas.

Ketiga, kayu yang bersinar sekala niskala. Kayu jenis ini hanya dapat dideteksi oleh orang-orang yang memang mata batinnya sudah terbuka. Keempat, kayu yang tumbuh di tepai danau, pantai dan juga sungai.

Beberapa contoh kayu yang baik lainnya menurut Jero Gede di antaranya, kayu krsnadana, bradah dan juga santigi atau kayu sulaiman. Semua kayu tersebut baik digunakan sebagai tongkat apalagi untuk pengembara yang suka bepergian ke tengah hutan. Kayu sulaeman sendiri dapat memberikan kita perlindungan dari bahaya serangan ular berbisa. Ular-ular dalam jarak sekian meter akan takut berhadapan dengan orang yang memegang tongkat dari kayu sulaeman. Itulah sebab mengapa kayu sulaeman dipilih oleh sekian banyak pengembara dalam membuat tongkat, sebab hutan adalah wilayah yang banyak dihuni oleh ular dan binatang berbisa lainnya.

Hati-hati Buluh Empet
Selain itu, ada juga tongkat yang terbuat dari tiying empet. Jika kita melihat bamboo (tiying) empet, maka ini adalah jenis bambu yang ada baik dan buruknya untuk dijadikan sebuah tongkat. Bambu ini adalah sebuah bambu yang buluhnya tidak kosong atau empet (mampat). Bambu ini biasanya terbentuk disebabkan karena adanya pemampatan sari energi dalam batangnya atau buluhnya, sehingga ia tidak berlubang dan tidak memiliki rongga. Ada juga yang menyatakan bahwa bambu ini adalah bambu yang digemari oleh makhluk halus.

Ada juga orang yang membuat tongkat mereka dengan menggunakan bambu jenis ini. Jika menggunakan bambu jenis ini, maka seseorang yang membawanya diyakini akan kebal terhadap senjata jenis apa pun dan mampu menghalau makhluk halus lainnya. Juga dapat dipergunakan sebagai penawar racun. Tetapi kemalangannya adalah, seseorang yang membawa tongkat dari bambu empet ini, akan cepat sekali emosi. Amarahnya meledak-ledak dan oleh sebab itulah, mengapa orang yang membawa tongkat dari bahan ini, sebaiknya dapat mengendalikan dirinya sendiri.

Teteken: seken-seken tungked
Jero Gede menambahkan, meskipun kayu-kayu pilihan sudah ditentukan ( kayu krsnadana, bradah, sentigi, seleman, sono keeling tidak disebutkan ) dan tongkat itu juga dibuat dengan seksama, maka yang harus perhatikan adalah pemegang tongkat itu sendiri. Menurut Jero Gede, seseorang yang sudah berani memegang tongkat secara niskala atau memegang tongkat dalam aspek spititual, maka seyogyanya dia adalah orang-orang yang sejatinya sudah benar-benar matang lahir dan batin.

Tongkat dalam terminologi agama Hindu di Bali, disebut juga dengan nama teteken. Secara harafiah ini memiliki arti ditekan, secara simbolis ini memiliki difinisi “yang benar-benar serius” atau “mula seken”. Seken adalah sejati, dan sejatinya itu merupakan sebuah kesadaran manusia pada jalan kebenaran. Itulah tungked manusia Hindu Bali. Bukan semata-mata sebuah tongkat sebagai alat bantu untuk berjalan ketika dia tua, melainkan sebuah cerminan penguat rasa, bahwa orang yang membawa tongkat itu benar-benar telah melihat kehidupan secara nyata.
(Agus Budi Adnyana)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar