Pura Luhur Kawitan Bhujangga Waisnawa
Imam lokam mtrbhaktya
Pitribhaktya tu madhyamam
Gurucicrusaya tvevam
Brahmalokam samasnute.
(Manawa Dharmasastra, II.233)
Pitribhaktya tu madhyamam
Gurucicrusaya tvevam
Brahmalokam samasnute.
(Manawa Dharmasastra, II.233)
Maksudnya:
Dengan berbakti pada ibunya manusia akan mencapai kebahagiaan di bumi ini. Dengan berbakti pada ayahnya manusia akan mencapai kebahagiaan di alam tengah. Tetapi dengan berbakti pada guru kerohaniannya manusia akan mencapai Brahma Loka.
Dengan berbakti pada ibunya manusia akan mencapai kebahagiaan di bumi ini. Dengan berbakti pada ayahnya manusia akan mencapai kebahagiaan di alam tengah. Tetapi dengan berbakti pada guru kerohaniannya manusia akan mencapai Brahma Loka.
Mengarungi kehidupan di dunia maya ini tanpa guru sungguh hidup akan mengalami kegelapan. Dalam Vana Parwa 27.214 menyatakan adanya lima guru yaitu Agni yaitu sinar suci Tuhan itu sendiri. Atman
yaitu unsur Tuhan atau Brahman yang ada dalam diri setiap manusia. Mata
Pita yaitu ibu dan ayah serta Acarya yaitu guru pengajian. Dalam
tradisi Hindu di Bali dikenal adanya istilah Catur Guru yaitu Guru Swadyaya,
Guru Rupaka, Guru Pengajian dan Guru Wisesa.
Menurut kutipan Sloka Manawa
Dharmasastra di atas berbakti pada ibu, ayah dan guru kerohanian sungguh
menjanjikan pahala yang amat mulia. Pahala tersebut berupa kehidupan
yang
bahagia di alam Sekala dan Niskala.
Demikian pulalah keberadaan Pura Luhur Kawitan Bhujangga Waisnawa di Jati Luwih sebagai tempat pemujaan untuk memuja leluhur dan juga memuja Guru dalam arti yang lebih luas. Memuja
ibu, ayah dan acarya sebagai guru demikian mulianya pahalanya. Sedangkan dalam Sarasamuscaya 250 dinyatakan bahwa mereka yang berbakti pada orangtua dengan sungguh-sungguh akan memperoleh empat pahala.
Adapun empat pahala itu adalah Kirti,
Bala, Yasa dan Yusa (sejahtra, kuat lahir batin, mampu berbuat jasa dan panjang
umur).
Demikianlah berbakti pada Batara
Kawitan sebagai tangga berbakti pada Tuhan merupakan hal yang diajarkan dalam
sistem pemujaan Hindu.
Berbakti menurut ajaran Hindu adalah
puncak dari Jnyana dan Karma. Mencari ilmu
pengetahuan dan bekerja sebagai persembahan pada Tuhan berdasarkan yadnya. Karena upacara agama Hindu yang mengandung unsur Jnyana dan Karma kalau tanpa bakti akan sia-sia.
Pura Luhur Kawitan Bhujangga Waisnawa
di Desa Jati Luwih Kecamatan Penebel, Tabanan adalah tempat suci sebagai media
pemujaan Batara Kawitan dari Wangsa Bhujangga Waisnawa. Di
pura ini dipuja roh suci leluhur atau Dewa Pitara dari Wangsa Bhujangga
Waisnawa dan tentunya juga sebagai media pemujaan pada Tuhan dalam berbagai
manifestasinya.
Dalam buku Bhuwana Tattwa Maha Resi
Markandheya oleh Bapak Ketut Ginarsa dinyatakan pura ini didirikan oleh Ida
Bagus Angker yang setelah dwijati bergelar Ida Bhagawan Resi Canggu. Hal ini dipertegas oleh Bapak Made Raka Santri, S.Ag., M.Ag. dan Bapak Nym. Sember Saputra, S.H. -- pratisentana Bhujangga Waisnawa.
Menurut kedua pratisentana ini, Pura
Luhur Bhujangga Waisnawa ini di samping sebagai Pura Kawitan sangat diyakini di
masa lampau sebagai suatu pasraman. Ida Bagus Angker ini
juga sebagai pendiri Pura Petani yang berada di areal lebih di bawah dari Pura
Luhur Kawitan Bhujangga Waisnawa. Ida Bagus Angker
mendirikan Pura Luhur Kawitan Bhujanga Waisnawa dan Pura Petali di Desa Jati
Luwih ini pada zaman pemerintahan di Bali dipimpin oleh Dalem Watu Renggong
dengan ibu kotanya di Klungkung. Dalem Watu Renggong
memerintah di Bali dari tahun 1460-1550 Masehi. Ida Bagus Angker ini
bukanlah Ida Bagus Manik Angkeran, putra Mpu Sidhi Mantra yang hidup sekitar
abad ke-10 Masehi.
Mengenai Ida Bagus Angker dalam kitab
Bhuwana Tattwa Resi Markandheya dinyatakan ''muwah unggwan ira Ida Bagus Angker
ingaran Jatiluwih.''
Artinya: Kemudian sesungguhnya beliau Ida Bagus Angker disebut sebagai ''Jati luwih''. Mengapa
daerah yang ditempati Ida Bagus Angker disebut ''Jati Luwih'' karena beliau
sangat mahir dalam ilmu sastra juga dalam ilmu ''dunia pana dan dunia baka''.
Demikian disebutkan dalam Bhuwana
Tattwa Resi Markandheya.
Beliau sangat mahir juga dalam ilmu
perbintangan (wariga).
Usada (ilmu pengobatan) terutama bagi mereka yang sakit berat dan beliau juga amat paham akan ilmu kerohanian. Karena ''luwihnya'' Ida Bagus Angker yang sungguh-sungguh atau sejati itulah kemungkinan desa tersebut diberi nama ''Jati Luwih''.
Ida Bagus Angker wangsa Bhujangga
Waisnawa dengan gelar Dwijati Ida Resi Canggu itu putra dari Ida Resi Waisnawa
Mustika yang juga bernama Resi Semaranata. Resi ini keturunan
dari Maha Resi Dang Hyang Markandheya. Leluhur tertinggi
dari Wangsa Bhujangga Waisnawa ini adalah Sang Hyang Meru. Demikian
dinyatakan dalam buku Bhuwana Tattwa Resi Markandheya.
Di Desa Jati Luwih terdapat empat
kompleks pura penting yaitu yang di areal paling bawah Pura Petali, lebih di
atas Pura Luhur Kawitan Bhujangga Waisnawa, lebih di atas lagi Pura Resi dan
yang di bukit paling atas adalah Pura Taksu. Di Pura Taksu ini
banyak para profesi mohon taksu agar dapat menampilkan profesinya dengan
karismatis.
Seperti para seniman, para balian,
pedagang, dll.
Pelinggih utama di Pura Luhur Kawitan
Bhujangga Waisnawa ini adalah Meru Tumpang Sebelas sebagai tempat memuja Batara
Kawitan Bhujangga Waisnama. Di sebelah barat Meru
Tumpang Sebelas ini terdapat Meru Tumpang Pitu. Dua Meru berjejer ini
kemungkinan sebagai simbol Batara Kawitan dalam wujudnya sebagai Purusa dan
Predana.
Di sudut timur laut atau ersania ada
Pelinggih Padmasana sebagai penyawangan Batara di Gunung Batukaru.
Di leretan timur paling utara terdapat
pelinggih ruang dua.
Menurut buku Desertasi Prof. Dr. Ida
Bagus Mantra saat meraih gelar Dr. di Santi Niketan India menyatakan pelinggih
ruang dua itu sebagai pemujaan Batari Putri Laksmi dan Batara Guru. Di
sebelah selatan dari pelinggih ruang dua ini terdapat Padmasana penyawangan
Batara di Gunung Agung.
Inilah pelinggih yang terpenting di
areal utama mandala.
Di madia mandala atau jaba tengah
terdapat balai panjang sebagai pelengkap.
Di jaba sisi terdapat Merajan dengan
Pelinggih Kemulan sebagai pelinggih utama. Kemungkinan di tempat
inilah sebagai areal pemukiman tempat tinggal para Pandita Bhujangga Waisnawa
saat pura ini masih aktif berfungsi sebagai pasraman. Di
sebelah barat Pura Luhur Bhujangga Waisnawa itu terdapat juga Pura Beji tempat
nunas toya bahan tirtha untuk dipergunakan di Pura Kawitan tersebut.* I Ketut Gobyah
Pura
Luhur Bhujangga Waisnawa
Berkaitan dengan Perjalanan
Resi Markandheya
Berkaitan dengan Perjalanan
Resi Markandheya
Pura Luhur Bhujangga Waisnawa terletak di Dusun Gunung Sari, Desa Jati Luwih, Kecamatan Penebel. Pura ini disungsung oleh Pretisentana Bhujangga Waisnawa atau lebih dikenal dengan Maha Warga Bhujangga Waisnawa yang berdomisili baik di Bali maupun luar Bali. Keberadaan pura yang kini berstatus pura Kawitan ini, erat kaitannya dengan perjalanan Resi Markandheya ke Bali pada abad ke-8. Setelah kedatangan Bliau yang ke dua ke Pulau Bali yang diawali dengan upacara mendhem Panca Datu di sekitar Pura Besakih sekarang, Bliau meneruskan perjalanannya untuk mengajarkan penduduk tata cara upacara agama, ilmu pertanian dan keahlian lainnya di berbagai tempat di Bali.
Selain pura di Jati Luwih, masih ada beberapa pura lainnya yang erat kaitannya dengan perjalanan bliau. Di antaranya Pura Sebang Dahat di Desa Puakan, Pura Gunung Raung di desa Taro, Pura Dalem Murwa di Desa Payangan, Pura Segara Kidul Batu Bolong, Pura Pedharman di Gunung Agung dan bebarapa pura lainnya. Jika ditilik dari perjalanan Resi Markandheya yang pada mulanya berpesraman di Gunung Raung Jawa Timur itu, bliau membangun tempat pemujaan di sekitar danau, laut, desa dan hutan atau gunung yang merupakan titik strategis di daerah Bali.
Pura Luhur Bhujangga Waisnawa di Desa Jati Luwih pada mulanya tempat tapa wana, yakni tempat bliau mela-kukan tapa dan meditasi memuja kebesaran Hyang Widhi serta kemakmuran jagat Bali di tengah hutan. Sementara beberapa pura yang terletak di danau Batur, Beratan dan Tamblingan menjadi pura sungsungan jagat. Pura Luhur Bhujangga Waisnawa terletak di pegunungan yang memiliki udara sejuk serta hawa pegunungan.
Hingga kini, letak pura jauh dari pemukiman penduduk dan menjadi tempat aktuvitas spiritual bagi Warga Bhu-jangga Waisnawa. Letaknya yang berada pada ketinggian membuat indahnya pemandangan. Dari Pura Petali yang dalam sejarahnya dibangun oleh Resi Bhujangga Canggu bersama-sama dengan Arya Wangbang, pemedek harus melewati jalan menanjak beberapa ratus meter untuk mendapatkan pura ini.
Seperti halnya pura pada umumnya, areal pura yang luas ini terbagi atas nista mandala, madya mandala dan utama mandala. Di madya mandala terdapat pelinggih Hyang Guru yang merupakan sarana pemujaan guru yang memberikan pencerahan bagi segenap pemedek. Sementara di utama mandala, selain gedong terdapat dua Meru yakni Meru Tumpang Pitu dan Meru Tumpang Solas. Areal utama mandala yang cukup luas dan udara yang sejuk membuat pemedek nyaman untuk melakukan persembahyangan.
Selain pura ini, menurut beberapa catatan sejarah bahkan nama Jati Luwih dan Gunung Sari kaitannya dengan kisah Ida Bagus Angker atau Ida Bhujagga Resi Canggu yang merupakan putra dari Resi Wesnawa Mustika melakukan yoga semadi. Dikisahkan sekitar tahun Icaka 1320, Setelah kematian Resi Wesnawa Mustika, Ida Bagus Angker pindah dari Sengguhan Klungkung menuju Giri Kusuma. Di sana bliau melakukan yoga semadi. Tempat tersebut akhirnya dikenal dengan nama Gunung Sari, sementara tempat tinggal Ida Bagus Angker dinamakan Jati Luwih karena bliau sudah di-dwijati.
Arti Bhujangga
Bhujangga berarti ilmuwan atau cendikiawan, yakni orang-orang yang mempelajari, mengetahui dan mengamalkan ilmu pengetahuan Weda. Weda yang dimaksud baik dalam kon-teks mantra puja, tattwa agama maupun ilmu pengetahuan seperti pemerintahan, ekonomi, sosial dan sebagainya. Se-lain itu kata bhujangga juga berarti pandita. Warga Bhujangga Waisnawa awalnya penganut Hindu Ciwa Waisnawa sehingga menjadi Bhujangga Waisnawa.
Leluhur Bhujangga Waisnawa antara lain Maha Resi Markandheya, Maha Resi Waisnawa Mustika, Maha Resi Madura dan Maha Resi Bhujangga Waisnawa yang lain. Para Resi ini sangat tersohor dalam penanaman pendidikan spiritual di Bali dan peranannya bagi perkembangan Hindu dinilai sa-ngat penting. Selain itu terdapat pula Ksatria Bali yang merupakan penganut Hindu Waisnawa seperti Raja Jaya Pangus dan Raja Dalem Tamblingan. Seluruh keturunan baik Maha Resi maupun para Ksatria Bali tersebut kini terhim-pun dalam Maha Warga Bhujangga Waisnawa.
Sesuai dengan keberadaan awalnya, hingga kini keber-adaan keluarga Besar Bhujangga Waisnawa masih tetap menekuni tugasnya selaku cendikiawan maupun pandita. Di Bali terdapat 21 sulinggih Bhujangga Waisnawa yang mela-yani umat dalam berbagai aktivitas keagamaan. Sementara Ida Bhujangga Resi Istri Netri dari Griya Babut Nyitdah Tabanan, yang merupakan Nabe dari seluruh sulinggih Bhu-jangga Waisnawa ini. Keberadaan sulinggih bagi maha warga ini dinilai sangat penting peranannya.
Secara berkala Maha Warga Bhujangga ini menggelar pertemuan sulinggih yang bernama Sabha Agung Sulinggih Maha Warga Bhujangga Waisnawa. Dalam pertemuan ini dibahas sesana sulinggih dan berbagai hal yang dianggap penting demi pembinaan para pesemeton maupun umat secara umum. Selain itu untuk lebih meningkatkan kualitas su-linggih para calon diksita juga dipersiapkan dengan pola pendidikan tertentu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar