SANGGAH RONG TIGA
OLEH ; GURU RAKANADI, SELASA,
07-08-2012
Zaman dahulu antara tahun 2000 sampai dengan 500 S.M telah
terjadi perpindahan bangsa Austronesia secara bergelombang dari Asia Tenggara
di Ulu Sungai Mekang, Yunan Selatan
ke berbagai pulau/kepulauan. Mereka datang antara Madagaskar di barat sampai
pulau Paska di timur, dan antara
pulau Formusa di utara sampai pulau Selandia
Baru di selatan. Termasuk ke
kepulauan Nusantara.
Kedatangan mereka ke kepulauan Nusantara terjadi dalam dua
gelombang. Gelombang pertama terjadi sekitar tahun 2000 SM, dan gelombang kedua
terjadi tahun 500 SM. Bangsa Austronesia
yang datang pada gelombang pertama disebut Proto Melayu. Bangsa Proto Melayu
masih menggunakan alat-alat dari batu, tetapi cara pembuatannya sudah sangat
halus. Oleh karena itu mereka disebut pendukung kebudayaan batu baru. Dan
zamannya disebut zaman Batu Baru
(Neolitikum). Diperkirakan bangsa
Proto Melayu ini juga pernah mendiami daratan Bali. Hal ini terbukti dari
ditemukannya peninggalan-peninggalan zaman Batu Muda tersebar di pulau Bali
(Soekmono, 1073).
Bangsa Austronesia yang datang pada gelombang kedua disebut
dengan Deutro Melayu. Bangsa Deutro
Melayu inilah yang merupakan nenek moyang sebagai orang Bali Asli. Adanya sebutan Bali Mula adalah untuk membedakan
dengan orang-orang yang leluhurnya datang belakangan ke Bali, yang mereka
datang umumnya dari Jawa. Orang-orang Bali Mula adalah keturunan orang-orang
pemberani, wira usaha mandiri, pelaut yang ulung, kemudian menjadi petani yang
tangguh. Mereka hidup secara berkelompok (Sutaba, 1980:19).
Dari temuan-temuan Arkeologi disimpulkan bahwa ada tiga
jenis pemujaan yang dilakukan oleh masyarakat Bali karena pengaruh Austronesia
yang berkembang pada zaman itu, yaitu:
• Pemujaan terhadap arwah leluhur.
• Pemujaan terhadap arwah para pemuka masyarakat.
• Pemujaan terhadap kekuatan alam.
Roh-roh tersebut dapat memberikan perlindungan dan
pertolongan kepada manusia, tetapi dapat pula menimbulkan bencana. oleh karena
itu untuk mengambil hati roh-roh tersebut (agar tidak mencelakakan, tetapi
sebaliknya memberikan bantuan) maka roh tersebut dipuja melalui persembahan
saji-sajian. Yang pertama yang dipuja adalah roh orang-orang besar dan roh
nenek moyang, yang disebut Hyang atau
Dang Hyang. Roh suci seseorang ditempatkan di Kemimitan Sanggah/Pemerajan.
Mengenai susunan masyarakat nenek moyang pada zaman itu
dapat diperkirakan bahwa mereka sudah mempunyai sistem kemasyarakatan yang
teratur. Mereka hidup dalam kelompok-kelompok tertentu menempati wilayah
tertentu, yang disebut wanua. Setiap wanua dipimpin oleh yang dituakan dan yang
dianggap paling bertuah, yang disebut tuha wahana. Tuha wahana dibantu oleh
beberapa perangkat wahana seperti tuha alas, hulu air, hulu watan dan sebagainya.
Disamping itu terdapat dewan tuha-tuha sebagai pendamping tuha wanua.
Mata pencaharian utama bagi yang tinggal di pedalaman adalah
bertani dan berternak. Sedangkan yang tinggal di pantai adalah menangkap ikan
dan pelayaran dengan perahu bercadiknya. Di samping itu terdapat juga
pekerjaan-pekerjaan sambilan seperti dukun dan pertukangan. Oleh karena majunya
pertukangan pada zaman itu maka zaman itu juga disebut zaman pertukangan (zaman
perundagian). Dengan adanya spesialisasi pekerjaan tersebut, maka mulailah
sistem perdagangan secara tukar-menukar (barter).
Dengan adanya kemajuan dalam pembikinan alat-alat pertanian
maka hasil-hasil pertanian semakin meningkat. Oleh karena itu tukar menukar
tidak hanya dilakukan dalam wanua sendiri, tetapi sudah terjadi barter antar
wanua. Disamping itu nenek moyang kita yang memang merupakan pelaut-pelaut
ulung secara aktif ikut terlibat dalam perdagangan dengan perdagangan luar
negeri seperti India dan Tiongkok.
Jauh sebelum datangnya pengaruh Hindu ke daerah Nusantara,
berdasarkan hasil-hasil penelitian arkeologi yang dilakukan para ilmuwan Barat
dan putra Indonesia, di Indonesia telah mempunyai kebudayaan yang tinggi
mutunya. Kebudayaan Indonesia asli yang dimaksudkan disini adalah kebudayaan
sebelum datangnya pengaruh kebudayaan Hindu atau disebut pula Kebudayaan
Pra-Hindu atau Pra Sejarah. Kebudayaan ini berakar pada kebudayaan bercocok
tanam yang berlangsung pada tahun 2500 SM.
Guna kepentingan pemujaan arwah leluhur, pada masa
perundagian masyarakat Indonesia mendirikan bangunan tempat pemujaan yang
disebut punden berundak yaitu bentuk bangunan yang teras piramida dimana pada
bagian atasnya ditempatkan: menhir. Pada perkembangan selanjutnya menhir
sebagai lambang tempat pemujaan arwah leluhur digantikan dengan wujud arca
sederhana atau ada yang menyebut arca primitif karena bentuknya memang sangat
sederhana.
Beberapa ilmuwan Barat menyatakan pendapat yang sama
seperti: Miguel Covarrubias dalam bukunya Island of Bali, 1937 menyatakan: The
Balinese Assimilate New and Foreign Ideas Into Tradisional Form. Demikian pula
Fritaz A Wagner, 1959 dalam bukunya Indonesia, The Art of an Island Group
menyebutkan: On Bali Culture Develop a unique character, Pra Hindu,
Hindu-Budha, Hindu Javanese element merged to form unity and diversity.
Menurut ilmuwan Perancis Dr. G. Cocdes yang ahli tentang
sejarah kuna Asia Tenggara dalam bukunya The Indianized State in South East
Asia , 1968 menyatakan ada beberapa elemen-elemen kebudayaan yang dimiliki oleh
bangsa-bangsa Asia Tenggara sebelum datangnya pengaruh Hindu adalah :
• Penanaman padi dengan sistem pengairan.
• Menjinakkan binatang, lembu dan kerbau.
• Teknik menuang logam.
• Kepandaian dalam pelayaran.
• Sistem kekerabatan material.
• Dibidang kepercayaan, percaya pada pemujaan roh
leluhur.
• Tempat sucinya berbentuk teras piramid dengan menhir
di atasnya.
• Sistem penguburan dengan memakai sarkofa dan
tempayan.
• Konsep cosmological dualisme yaitu gunung dan laut.
Dr. WF Stutterhiem dalam tulisannya yang berjudul Indian
Influence in Old Balinese Art, 1935 menyatakan: “ The Balinese applaid the
aquired knomledge from Indonesian order arrive at his own system”. Sebagai
contoh kearifan lokal kebudayaan Bali pada aspek keagamaan adalah sistem pemujaan
arwah leluhur yang dianut masyarakat pada masa megalitik melanjut terus setelah
datangnya kebudayaan Hindu. Kedua sistem kepercayaan ini berdampingan antara
pemujaan arwah leluhur (Hyang) yang disebut bhatara dan pemujaan Tuhan yang
disebut Hyang Widhi Wasa atau Hyang Parama Kawi.
Demikian pula tempat-tempat pemujaan atau Pura, ada yang
dikelompokkan untuk pemujaan roh suci leluhur (bhatara) disebut : Pura Dadia
atau Paibon, Padharman dan untuk Hyang
Widhi disebut Kahyangan Jagat seperti Kahyangan Tiga dan Sad Kahyangan. Di
dalam pura ada bangunan suci tempat pemujaan roh suci leluhur dan Hyang Widhi
dibangun berdampingan yaitu Padmasana sebagai Singgasana Hyang Widhi dan
Kemulan, Pajenengan sebagai tahta Ida Bhatara, leluhur suci.
Terjadinya hubungan antara kedua kebudayaan antara pra
sejarah dan Hindu mewujudkan satu integrasi yang utuh antara tradisi, agama dan
kebudayaan serta mewujudkan suatu konfigurasi nilai yang menjadi landasan dasar
bagi pembentukan identitas manusia dan masyarakat Bali. Konfigurasi nilai dasar
tersebut terdiri dari nilai-nilai solidaritas, estetis dan religius.
Kemudian datang pengaruh agama Hindu dengan
filsafat-filsafatnya. Mengenai Sanggah
Kemulan Rong Kalih dan Rong Tiga dapat saya ajak saudara ke bidang filsafat
yaitu filsafat Sangkhya. Filsafat
India ini yang merupakan filsafat
dualistis datang juga ke Bali dengan ajaran Cetana dan Acetananya. Karena memang manusia Bali sudah mempunyai
kearifan lokal pelajaran filsafat Sangkhya itu diolah sesuai dengan desa kala
patra yaitu keadaan daya pikir manusia Bali yang menganut Siwaistis. Oleh karena keadaan Cetana dan Acetana diganti dengan Parama
Siwa, Sada Siwa dan Siwa Atma yang disebut Maya Siwa Tattwa.
Apabila Cetana dan Acetana terpisahkan akan lenyaplah alam
semesta ini bagaikan impian yang lenyap mengikuti kesadaran yang bangun dari
tidur. Cetana itu ada yang bersifat
kuat, sedang dan kendor (lemah) maka menurut sifatnya dibagi atas tiga
bagian masing-masing dengan nama: Parama
Siwa, Sada Siwa dan Siwatma atau Sanghyang Mayasiwa Tattwa.
Parama Siwa Tattwa
Parama Siwa Tattwa, menjadi sumber dari segala yang
hidup, yang memenuhi luar dan dalam dari segala yang ada, baik yang nampak
maupun yang tiada tampak. Dialah
kesadaran yang tertinggi yang tiada
terjamah oleh lupa yang sejati hidup. Dialah
yang disebut dengan nama Sanghyang
Widhi. Dia kekal tiada berubah,
tiada dilahirkan, tua maupun mati. Tiada awal dan tiada akhir. Oleh karena itu
tidak dapat mendengar, merasa, melihat, maupun mencium dan berpikir.
Benar-benar bersih sebab tiada terjamah rasa suka duka. Ia tiada termasuk ke dalam
siklus utpatti, sthiti dan pralina yaitu lingkungan kelahiran, hidup dan mati. Tak dapat dihitung sebab
tiada terbilang.
Sadasiwa Tattwa
Kesadaran tingkat kedua Sadasiwa Tattwa berada di bawah Parama Siwa, juga sama bersifat gaib, suci nirmala yang menjadi jiwa dari segala yang bernyawa. Dijunjung
dan dimuliakan serta dipikirkan oleh para Wiku. Meskipun seolah-olah sama
kegaiban dan sifat-sifat yang dimiliki oleh Parama Siwa, namun ada hal-hal yang
dapat membedakannya. Dia telah mulai
terjamah oleh kebingungan. Tetapi
kebingungan yang ada pada beliau itu
adalah berupa kekuatan (sakti) yang
dapat memenuhi apa yang dikehendaki.
Apa yang dipikirkan dan dikehendaki pasti
terwujud dalam seketika. Kekuatan yang dapat memenuhi segala kehendak itu disebut juga Cadu Sakti artinya memiliki
empat kemahakuasaan yang disebut:
• Dujana Sakti (memiliki
pengamatan tembus, Batel tingal)
• Wibhu Sakti (memiliki kekuatan yang gaib)
• Prabhu Sakti (memiliki kekuatan terhadap alam
semesta)
• Kriya Sakti (mempunyai kekuatan membentuk diri sekehendak hati).
Siwatma Tattwa
Kesadaran ketiga di bawah Sada Siwa
Tattwa,
dinamai Sanghyang Siwatma, juga disebut Sanghyang Mayasiwa
Tattwa. Siwatma Tattwa inilah dikatakan mulai tercemar oleh kelembutan dari
Tattwa yang berada di bawah yang disebut
Acetana, yang berarti lupa atau tak sadar. Kesadaran yang telah
bercampur dengan lupa atau bingung. Tegasnya Sanghyang Siwatma Tattwa telah terjamah oleh Triguna (Satwa, Rajah, Tamah).
Kebingungan inilah yang menyebabkan
beliau itu gelisah ingin
mengadakan Tattwa disini yaitu Purusa
Tattwa menurun hingga pada Panca Mahabhuta Tattwa. Perlu pula ditegaskan
bahwa Sanghyang Siwa yang tiga itu yaitu
Parama Siwa, Sada Siwa dan Siwatma itu hakekatnya
adalah tunggal, semua bersifat suci,
dan bersih yang menjadi sumber kehidupan alam semesta. Yang menyebabkan
seakan-akan ada perbedaan sebenarnya terletak pada pengaruh kesadaran itu saja.
Demikianlah halnya ketika Sanghyang Siwa itu, dengan
kesadaran beliau yang memenuhi alam semesta ini dapat bercampur oleh
bermacam-macam warna seakan-akan beliau ini berbeda-beda. Jelaslah bahwa hanya
pengaruh kesadaran beliau yang memenuhi alam semesta ini dapat bercampur oleh
bermacam-macam warna seakan-akan beliau itu berbeda-beda. Jelaslah bahwa hanya pengaruh kesadaran beliau itulah yang kemudian terkena oleh Maya lalu bercampur. Itulah yang disebut Maya Siwa Tattwa. Kalau Cetana (Siwa Tattwa) bertemu dengan
Acetana (Maya Tattwa) terjadilah Purusa Tattwa dan Pradana Tattwa.
Kembali pada pokok pembicaraan yaitu Rong Tiga dan Rong Kalih. Bagi
arwah yang sudah masuk ke dalam Parama Siwa Tattwa maka beliau yang sudah bersthana di Ruang Tiga
tidak lagi akan menitis atau menjadi bagian lagi dari keluarga asalnya.
Sedangkan Beliau yang baru ditingkat
Sada Siwa Tattwa apalagi Maya Siwa Tattwa
beliaulah yang bersthana di palinggih Ruang Kalih. Beliau masih berkomunikasi dengan warga yang ditinggal, beliau masih
bisa “turun” (ngidih nasi) di keluarga-keluarga asalnya.
Tidak ada efeknya antara ngeroras
metak atau ngeroras di bale atau upacara nista, madya
dan utama sendiri. Yang menentukan adalah karma wasananya. Apakah
harus tinggal di Maya Siwa Tattwa atau bisa terbebas ke Parama Siwa Tattwa.
Kita bisa menentukan apakah leluhur kita itu bisa “turun” (ngidih nasi) pada
keluarga kita atau tidak. Kalau
tidak, artinya beliau sudah bersthana di Rong Tiga sudah menyatu dengan Purana
Siwa. Memang ada rontal Gong Wesi
sebagai berikut:
Yang distanakan di kemulan untuk
dipuja bukanlah Dewa tetapi Pitara yang telah mencapai alam Dewa, oleh karena
itu disebut Dewa Pitara.
Fungsi Merajan Kemulan sebagai tempat
Sang Hyang Atma disebutkan dalam
beberapa lontar sebagai berikut :
……. ngarania ira sang Atma, ring Kamulan tengen Bapanta nga
Sang Paratma, ring Kamulan kiwa ibunta ngaran sang Siwatma, ring Kamulan madia
raganta, atma dadi meme bapa ragane mantuk ring dalem dadi Sang Hyang Tunggal
nunggalang raga …..
artinya:
……namanya beliau Sang
Atma, pada Kemulan kanan sebagai Bapa adalah Paratma, pada Kemulan kiri sebagai
ibu namanya Siwatma, pada Kemulan tengah wujudnya adalah sang atma, menjadi ibu
bapa pada wujudnya Sanghyang Tunggal mempersatukan diri.
Penjelasan yang hampir sama disebutkan pada Lontar Usana Dewa sebagai berikut:
Ring Kamulan ngaran Ida Sang Hyang Atma, ring Kamulan tengen
bapa ngaran sang Paratma, ring Kamulan kiwa ibu ngaran Sang Siwatma, ring
Kamulan Tengah ngaran raganya, tu Brahma dadi meme bapa maraga Sang Hyang
Tuduh.
Artinya:
Pada kemulan nama Beliau adalah Sang
Hyang atma, di Kemulan sebelah kanan adalah linggih Paratma adalah Bapak. Di
Kamulan ruang sebelah kiri adalah linggih Siwatma adalah Ibu, di Kamulan tengah
ada wujudnya Brahma menjadi Ibu Bapak yang berwujud Sang Hyang Tuduh.
Ada pengalaman pribadi penulis. Datuk penulis meninggal dan
sudah di Palebon dan di Ligya. Suatu saat roh beliau menitis pada keluarga
misan penulis. Tetapi umurnya hanya tiga oton (satu setengah tahun). Setelah
meninggal kemudian menitis lagi pada keluarga kakak kandung penulis. Juga
umurnya tiga oton. Akhirnya menitis lagi pada keluarga penulis sendiri. Juga
umurnya tiga oton (satu setengah tahun). Setelah itu tidak pernah menitis lagi.
Menurut pemikiran penulis pada waktu roh beliau menitis tiga kali roh beliau masih di Rong Kalih. Setelah itu roh
beliau sudah melinggih di Rong Tiga.
Sehingga tidak lagi menitis pada keluarga di dunia fana ini lagi. Jadi sekarang
roh beliau yang sudah suci sekali sudah bersatu dengan Parama Siwa. Kalau istilah Bali, beliau sudah sedang
ngayah di Pura Dalem sana.
SUMBER
: (Majalah Sarad Bali - edisi Juni 2008).
PELINGGIH RONG TIGA
Suksma info nya sangat bermanfaat
BalasHapushttps://turuslumbung.blogspot.co.id