Senin, 28 Januari 2013

Serat Kalimausadha



Serat Kalimausadha
Di Jawa pada jaman peralihan dan Hindu ke Islam banyak sekali terbit buku sastra yang bisa dianggap buku panduan hidup yang dinamakan primbon (serat). Di antaranya ada serat Jangka Jayabaya, yang dianggap ditulis oleh Prabu Jayabaya dari Kediri (Jawa timur).
Pada jaman itu ajaran agama Hindu tidak berani terang-terangan diajarkan, tetapi selalu memakai perumpamaan. Begitu pula serat Jangka Jayabaya, jangka (langkah-langkah untuk mencapai tujuan), jaya (menang) dan baya (bebaya/bahaya). Jangka Jayabaya berarti langkah-langkah untuk mencapai tujuan, mencapai kemenangan dan bahaya (penggoda). Sementara Kediri (diri) artinya badan manusia.
Dengan demikian penulis serat Jangka Jayabaya adalah seseorang yang telab mampu menguasai atau mengendalikan dirinya (indria-indrianya) dan yang telah mencapai kemenangan atau mampu mengalahkan bahaya yang menggoda atau mengancamnya. Penulis serat itu mungkin pula seorang yoga yang sidhi (mumpuni). Ia menggunakan nama samaran sebagai Prabu Jayabaya dari Kediri. Prabu Jayabaya sendiri memenintah Kediri pada abad ke XII, dan Islam datang ke Indonesia pada abad ke XV, sedangkan Belanda pada abad ke XVI. Serat Jangka Jayabaya sendiri di dalamnya menyinggung ajaran Islam dan penjajahan Belanda serta Jepang.
Di dalam serat Jangka Jayabaya itu disinggung kisah Prabu Ramawijaya yang tidak tergoda oleh Sarpa Kanaka walaupun istrinya (Sita) tidak ada. Karena Ramawijaya memiliki lima jampi (obat) yaitu Kalimausadha yang kelimanya ini tidak boleh terpisahkan, harus lengkap. Ini diibaratkan dengan endog sapetarangan (telur satu sarang), pecah satu rusak semua. Juga disebutkan Prabu Yudistira juga memiliki Kalimausadha.
Serat Kalimausadha
Dalam kisah pewayangan di Jawa, Prabu
Yudhistira (tertua dan Panca Pandawa) memiliki ajian (kesaktian) yaitu serat Kalimosodo yang diambil dari kata Kalimausadha. Kalima (lima), usadha (jamu/jampi/obat). Jadi, Kalimausadha adalah lima obat atau lima ajaran untuk mencapai kemuliaan serta keluhuran untuk memayu hayuning jagad (melestarikan dunia) dan bisa mendapatkan penghargaan luhur dan utama, karena mampu bebas dari godaan nafsu.
Kelima obat itu adalah setia (jujur), sentosa (teguh hati), benar, pandai, dan susila. Kelima obat itu harus diramu menjadi satu, jika tidak lengkap maka tujuan hidup ini sulit tercapai. Misalnya, jika orang yang satya (jujur) tapi tidak pandai akan mudah ditipu, dia akan mengalami kesengsaraan. Demikian pula, bila orang itu pandai tapi tidak mengerti tata krama (susila), maka dia juga akan tidak bisa mencapai kemuliaan. Orang yang teguh hati (sentosa) tapi tidak benar, akhirnya juga tidak mencapai kemuliaan. Orang yang merasa benar tapi tidak teguh hati juga tidak bisa mencapai tujuan akhir. Demikian pula orang yang selalu mengerti tatakrama (susila) tapi tidak jujur (satya) juga tidak bisa mencapai kemuliaan. Dengan demikian kelimanya itu harus lengkap agar mencapai kemuliaan dan keluhuran.
Adapun serat Jangka Jayabaya adalah bagian dari serat Nitisastra, yang merupakan bagian dari serat Mahabarata bagian akhir. Demikian disebutkan di dalam serat Jangka Jayabaya, sedangkan serat Kalimausadha adalah bagian dari serat Jangka Jayabaya.
Petikan asli Serat Kalimausadha.
Serat Jangka Jayabaya himpunan Ir. Wibatsu Harianto Soembogo, Yogyakarta, menyatakan, ”Sekarang diutarakan jalan lima perkara itu, yaitu satya, santosa, benar, pintar dan susila, yang semua itu harus dijalankan”. Bila itu dilanggar dan tidak dijalankan salah satunya, tidak akan bisa mencapai dunia keutamaan. Sebaliknya hanya akan menyebabkan terjatuh kemanusiaannya. Dan akan jatuh ke dalam kehinaan, kepapaan, dan rendahnya nilai diri, malah bisa-bisa mencoreng nama bangsa.
Pertama, satya (jujur). Jika ini yang dilupakan, sudah barang tentu semua karya, tidak boleh tidak akan mengarah kepada kebohongan dan penipuan. Dan bila telah terjerumus ke dalam tindak kebohongan dan penipuan di situ akan menimbulkan cacadnya kesentosaan, kebenaran, kepandaian dan kesusilaannya sekaligus. Yang akhirnya hanya akan memetik hasil perbuatannya yaitu kehinaan dan kerusakan, Bila demikian, langka bisa diterima pada derajad keluhuran dan menjadi penghuni wilayah keutamaan.
Kedua, santosa. Bila yang dilupakan kesentosaan yang pasti ajakan empat perkara tersebut akan sirna lebur tanpa sisa, karena telah kehilangan kesentosaan. Karena semua tujuan dan kerja (karma) itu akan sempurna hanya dengan sarana melaksanakan kesentosaan batin. Bila tanpa kesentosaan, tekad itu ibarat menyebar benih di atas batu, pasti langka akan bisa hidup apalagi berbuah.
Ketiga, benar. Bila yang dilupakan kebenaran, berarti tidak mengerti kebenaran, salah-salah bisa hilang derajad kemanusiaannya. Kebenaran tidak dimengerti berarti juga sama sekali tidak mau berusaha mengerti kepada kenyataan. Walaupun sudah memiliki kepandaian, tentunya juga kepandaian yang tidak nyata dan benar. Akhirnya anjuran empat perkara itu akan sirna tanpa bekas, malah bisa jauh dari watak adil dan benar. Demikianlah yang menjadi sebab memudahkan datangnya bermacam-macam kesulitan.
Keempat, pandai. Bila yang dilupakan kepandaian, anjuran empat cara yang lain akan sia-sia tak berguna di dalam budi pekertinya sehingga tidak akan tercapai apa yang diinginkan, karena kepandaian itu adalah sumber keluhuran dan kebahagiaan.
Kelima susila. Bila yang dilupakan kesusilaan, anjuran empat cara yang lain akan sirna tak berbekas. Sebab seumpamanya memiliki dasar kesetiaan (jujur), yang dipentingkan hanya semua pekerjaan yang rendah, nista, dan menjadi penghalang bagi keutamaan. Bila memilih watak santosa (teguh hati), tapi meninggalkan kesusilaan, keteguhan hati itu hanya untuk meneguhkan semua pekerjaan yang tanpa kesusilaan. Artinya, semua pekerjaan yang tidak menyertakan kebaikan dan keutamaan. Budi luhur sama sekali tidak ada di dalam hati, bila buta dengan kesusilaan. Apalagi bila memiliki kepandaian, kepandaiannya itu hanya akan untuk membodohi, yang akhirnya hanya membuat rugi pada orang lain dan hanya menguntungkan dirinya. Dan kepandaian yang demikian tetap hina dan tetap di dalam kenistaan. Utamanya, kepandaian yang luhur adalah memayu hayu harjaning Negara (membuat lestari makmur dan damainya Negara), untuk menghapus kedurjanaan (kebathilan), perencana kejahatan, pemberontak Negara, lebih-lebih yang menjual bangsa dan Negara. Demikian, itu Semua memang pantas mendapat hukuman, tapi bila tetap saja berbuat jahat, memang seharusnya mendapat hukuman mati.
Demikianlah, bahwa kelima ajaran itu memang harus utuh agar mencapai kemuliaan. Satya, santosa, benar, pintar dan bersusila kelimanya ini wajib diusahakan mengisi pikiran kita, yaitu watak dan sifat-sifat satya. Walaupun yang dikatakan satya itu masih lebih luas lagi, tapi kelima dasar itu harus menjadi dasar dari kita semua dan keturunan kita. Seolah-olah menjadi “cetak biru” atau “trade mark” dari keluarga kita. Karena itu kita seharusnya tahu dan mempelajari serta mendalami apa yang dikatakan dengan kalima usadha tersebut.
Sumber MediaHindu – Juli 2009.

1 komentar:

  1. om swastiastu...

    kakek saya adalah jawa majapahit yg pernah memiliki buku jangka jayabaya asli dan saya sedikit banyak mendengar cerita beliau yg saya padukan dengan kabar masa kini yg menurutnya banyak terjadi edit.an isi dari buku jangka jayabaya aslinya..
    saya sangat prihatin dengan kejadian di masa sekarang yg oknum''nya banyak berani merubah kebenaran untuk tindakan provokasi & melupakan kejawaanya itu sendiri,,

    saya ingin belajar & banyak belajar serta mengerti tentang leluhur hindu.nya di tanah jawa..

    jink687@gmail.com

    BalasHapus