Kamis, 10 Januari 2013

ILMU TANTRAYANA



SEKILAS  ILMU TANTRAYANA

Demikianlah akhirnya Tantrayana itu tidak ada lagi sisa pemeluknya khususnya baik di Bali maupun di Jawa dan Sumatra.

Namun dalam beberapa hal faham Tantra hingga kini masih terlihat pengaruhnya, di Bali baik di bidang kesusastraan maupun seni pengaruh Tantrayana masih terlihat. Cerita calon arang, cerita yang sangat terkenal dan masih tetap semangat digemari oleh masyarakat Bali. Cerita calon arang melukiskan pertentangan antara raja Airlangga dengan para pengikut ilmu gaib dari aliran Tantrayana. Cerita ini hingga sekarang masih dilakonkan dalam bentuk seni tari. Mungkin banyak yang sangat terkenal dan masih ada di Bali sekarang merupakan sisa-sisa pengaruh Tantrayana yang masih terlihat sampai sekarang ialah sengguhu di Bali mempergunakan atribut kalachakra : sangku putih, genderang tangan dan genta (atribut menari dari Siwa Bhairawa) tergantung di atas sebuah chakra dengan sebuah pegangan atau tangkai garuda.

Apabila kita perhatikan dan kita amati secara lebih mendalam lagi pada buku Panca Yadnya khususnya mengenai upacara Bhuta Yadnya. Bahwa Bhuta Yadnya yang tidak lain adalah korban kepada Bhutakala, adalah bersumber dari ajaran keagamaan Tantrayana. Tantrayana termasuk sekta atau saktiisme, karena yang dijadikan objek persembahannya adalah sakti. Sakti dilukiskan sebagai Dewi sumber kekuatan atau tenaga. Sakti adalah simbol dari bala atau kekuatan (Sakti is the symbol of Bala or strength) (Das Gupta, 1955 : 100). Dalam sisi lain sakti juga disamakan dengan energi atau kala (This sakti or energi is also regarded as “kala” or time) (Das Gupta, ibid).

Dengan demikian Saktiisme sama dengan kalaisme. sekte keagamaan kalaisme disebut juga Kalamuka atau kalikas dan disebut juga Kapalikas. Sekte ini sejenis dengan aliran bhairawa atau Tantrayana kiri. Pengikut dari sekte ini di India kebanyakan dari suku Dravida, penduduk asli India, dari pendekatan Antropologi budaya, kepercayaan sejenis ini disebut Dynamisme.

Oleh karena pengikut sekte ini kebanyakan penduduk asli India maka juga disebut Sudra Kapalikas. Pengikut ini tidak percaya kepada sistem kasta dan pengikut ini selalu melaksanakan Panca Ma sebagai bagian dari pelaksanaan ritual mereka. Panca Ma ( 5 ma) itu adalah : makan daging (mamsa), makan ikan (matsya), minum-minuman keras (mada), mudra (melakukan gerak tangan), mythuna (mengadakan hubungan cinta yang berlebih-lebihan). Ajaran ini hanya bersifat pemuasan nafsu dan dikucilkan dari Weda. Aliran ini memuja Dewi sebagai ibu, baik Bhairawi, Ibu Durga maupun Kali. Mereka adalah super matrial power.

Ibu Durga atau Bhairawi inilah yang melahirkan para bhuta-bhuti dengan kekayaan yoganya. Perihal penciptaan ini banyak diuraikan dalam berbagai lontar yang bersifat Tantrayana di Bali.

Tapi dalam Dharma Sastra, para bhutakala ini yang termasuk golongan Sadya adalah diciptakan oleh Brahman. Golongan Sadya itu terdiri dari makhluk astral yang tingkatannya lebih rendah dari Dewa-dewa, mereka mempunyai sifat bermacam-macam. Menurut Manawa Dharma Sastra III. 196, golongan Sadya ini terdiri dari berbagai jenis Daitya, Danawa, Raksasa, Yaksa, Randharwa, Naga, Suparna dan Kimnara.

Daitya, Danawa, Raksasa, Yaksa dan makhluk astral rendahan lainnya seperti peri, setan, jin dan lain-lain adalah tergolong bhuta-bhutani. Semua golongan ini termasuk tingkat sadya yang diciptakan oleh Brahman.

Bhuta-bhutani yang disebut-sebut dalam sastra mempunyai sifat krodha yang artinya marah. Kelompok ini sebagai makhluk astral sangatlah ditakuti, karena sifatnya menganggu.

Raksasa adalah sejenis bhuta pula, termasuk didalamnya adalah Yaksa, Naga, Yatudhana dan Pisaca, kelompok ini juga disebut Krodhawangsa. Kelompok ini biasanya diberi tugas sebagai pelindung atau penjaga pintu sorga atau neraka termasuk kawah. Ceritera tentang kelompok raksasa ini banyak kita jumpai dalam ceritera Mahabharata.

Yatudhana dan Panlastya adalah sejenis raksasa pula, karena kesaktiannya dapat memperlihatkan dirinya sesuai dengan kemauannya.

Paisaca adalah raksasa pula, tapi ukurannya lebih kecil dan sifatnya adalah mengganggu dan pemarah.

Asura adalah kelompok makhluk astral yang sifatnya bertentangan dengan dewa-dewa. Sifatnya sama pula dengan raksasa. Kelompok asura ini antara lain Danawa dan Aditya.

Setan adalah kelompok makhluk astral yang tingkatannya lebih rendah dari makhluk astra di atas. Mereka tergolong bhuta juga. Dalam Atharwa Weda dikenal nama-nama setan seperti setan golongan Sadhanwa, setan sebagai pisaci yang dinamakan magundi. Mereka adalah pengganggu keharmonisan atau ketentraman di dunia ini, oleh karena itu harus diusir dengan doa-doa yang berseranakan jimat (lihat Atharwa Weda, Sukta IX, hal. 51).

Dalam lontar Bhumi Kamulan menguraikan bahwa Siwa sebagai Tuhan, menurunkan Korsika, Gargha, Maitri dan Kurusya. Keempat putra ini disuruh menciptakan alam semesta, tapi tidak mau maka ia dikutukNya menjadi bhutakala, lalu diciptakanlah Pratanjala ia sanggup menciptakan dunia beserta isinya. Mula-mula tercipta para dewa-dewa, widyadhara-widyadhari, gandharwa, Kim nara semua ini makhluk halus yang bertabiat kasar seperti raksasa, danawa, pisaca, daitya, semuanya makhluk halus yang menyeramkan. Berikutnya sampailah diciptakan makhluk halus yang terendah yaitu jin, setan, bragala, memedi, tonye dan lain-lainnya berupa jenis bhuta yang memenuhi ruang dan waktu.

Di lain pihak sang pencipta (Dewi Uma) tanpa disadari telah berubah wujud menjadi aheng, bertaring, berambut gimbal, tubuh dan mulutnya membesar. Demikianlah Uma telah berubah menjadi Durga. Melihat Uma menjadi Durga maka Pretanjalapun merubah dirinya kedalam wujud ganas, aheng (angker) yang disebut Mahakala. Semua makhluk halus, kasar, aheng dan angker ciptaanNya menjadi bawahannya. Mereka tinggal ditempat-tempat yang angker dan menyeramkan seperti pada jurang, pangkung, hutan, setra dan sebagainya. Para bhuta makhluk halus terendah menempati tempat-tempat yang kotor, aliran air, tempat sampah-sampah dan sebagainya.


Durga Mahakala dengan Vadvanya ini lalu menjadi ancaman terhadap dunia ini. Ia menimbulkan penyakit, membunuh makhluk seisi dunia ini maka sorgapun menjadi gentar. Oleh karena itu diperintahkan turun Dewa Brahma, Wisnu dan Iswara, untuk membersihkan alam ini, dan menyucikan kembali Dirga Mahakala agar kembali menjadi somya, lalu Brahma menjadi Rsi, Wisnu menjadi Bujangga Waisnawa dan Iswara menjadi Pedanda, ketiga ini di sebuat Trisadhaka.

Demikianlah uraian lontar Bumi Kamulan atau Bhumi Sivagama menguraikan sebagai berikut. Karena kesalahan Dewi Uma, maka Bhatara Guru mengutukNya, lalu ia turun ke dunia menjadi Durga dalam wujud lima durga, yaitu Sri Durga berkedudukan di Timur, Raji Durga berkedudukan di Utara, Suksmi Durga berkedudukan di Barat dan Dahri Durga berkedudukan di Selatan dan Dewi Durga berkedudukan di Tengah.

Sri Durga beryoga menciptakan Kalika-kaliki, Yaksa-yaksi, Bhuta Dengen. Rajiyoga beryoga mengadakan Jin, Setan, Bragala-bragali, Bebai dan segala jenis penyakit. Dhari Duga lalu mengadakan Sangbhuta Kapiragan, Suksmi Durga mengadakan Kamala-kamali, Kala Sweta dan lain-lain.

Sedangkan Dewi Durga beryoga mengadakan Panca Bhuta, yaitu : Bhuta Janggitan, Bhuta Langkiir, Lembu Kere, Bhuta Iruna dan Bhuta Tiga Sakti. Melihat Uma menjadi Durga, maka Betara Guru pun mengutuk dirinya menjadi Kala Rudra. Karena sentuhan Kala Rudra ini pada diri Durga, maka terciptalah Bhuta Kala yang memenuhi ruang dan waktu. Kemudian dalam perkimpoian Kala Rudra dengan Durga lahirlah Bhatara Kala.

Dalam Lontar Pangiwa, Ratuning I Macaling di sebut-sebut adanya Sasuhunan ring tengahing samudra dengan pepatihnya I Ratu Gede mecaling. Bhatari ini juga dikenal dengan nama Ratu Kasuhun Kidul atau Nyi Roro Kidul kalau di Jawa. Di Bali Beliau inilah yang memegang kekuasaan atas makhluk halus yang menyeramkan itu, termasuk para bhutakala-bhutakali. Menjelang sasih ke enam beliau dengan Vadvanya pergi kedesa-desa yang dapat menimbulkan penyakit, baik bagi manusia maupun binatang, agar manusia, binatang dan alam lingkungannya tidak terganggu makhluk halus angker dan ciptaan Durga lainnya, maka diperlukan suatu usaha untuk menjaga keseimbangan dan keharmonisan dengan mempersembahkan caru atau menyadakan pecaruan.

Perlu digarisbawahi bahwa para praktisi Tantra menyatakan bahwa tujuan utama dari Tantra adalah sama seperti tujuan Weda yaitu mencapai Tuhan dan kebenaran, pengetahuan dan kebahagiaan yang merupakan atribut dari yang absolut. Menurut Kularnawa Tantra, Veda atau Sruti adalah apa yang diingatkan untuk jaman Tretayuga. Sedangkan Purana atu epos besar yang pernah ada adalah yang menjadi bahan perbandingan untuk lebih memahami ajaran Sruti dan Smrti tadi.

Akhirnya, dinyatkan bahwa Tantra adalah ajaran yang dikhususkan untuk jaman Kaliyuga. Mereka menyatakan bahwa tidak mungkin pada jaman Kaliyuga ini, untuk melakukan ritual yang sedemikian rumit dan berbagai tirakat yang terdapat di dalam Veda, akan tetapi alternatifnya adalah melatih Tantra yoga yang akan menuntun pada tujuan yang sama dan juga sekaligus memenuhi kebutuhan manusia (Tantra, hal. 183-184).

Demikianlah sekilas mengenai Tantrayana dan perkembangannya di Indonesia.
Sumber :
ambahan khusus dari
Damar Shashangka :
Tentang ajaran Bhairawa dalam hubungannya dengan Tantrayana ada tiga aliran yaitu: Bhairawa Hala Cakra merupakan pertemuan ajaran Buddha dengan ajaran Tantrayana. Bhairawa Heru Cakra merupakan ajaran yang muncul dari tradisi kepercayaan Indonesia bercampur dengan Hala Cakra. Bhairawa Bima Sakti adalah pertemuan antara ajaran Bhairawa dengan ajaran Siwa. Ajaran Tantra Bhairawa bisa dikatakan sebuah penyimpangan dari ajaran Tantrayana yang asli. Ritual PANCAMAKARA yang bersumber dari kitab Kali Mantra dan kitab Mahanirvana Tantra jelas disebutkan sebagai berikut :
Kali Mantra:
Sadayam bhaamsaca miinam ca mudraa naithuna se vaca, Ete Pamca Makaaraa syu Mokshadaah Kaluyuge
"Mabuk, memakan daging, memakan ikan,melakukan sexualitas dan meditasi, akan menuntun kepada Moksha pada jaman Kaliyuga ini."
Maha Nirvana Tantra :
“Pautvaa pitvaa punah pitvaa yaavat patati bhuutale, Punarutyaaya dyai potvaa punarjanma ga vidhate.”
“Minum, teruslah minum hingga kamu terjerembab ke tanah. Lantas berdirilah kembali dan minum lagi hingga sesudah itu kamu akan terbebas dari punarjanma (kelahiran kembali) dan mencapai kesempurnaan. (Moksha).”
Maksud dari ayat yang dipaparkan dalam Kitab Kali Mantra adalah, dengan ritual sebagaimana tersebut dibawah ini, maka akan dicapai Moksha pada jaman Kaliyuga yang tengah berlaku sekarang. Ritual tersebut adalah sebagai berikut :


1. MATSYA ( Makan ikan )
2. MAMSA ( Makan Daging )
3. MADA ( Minum arak hingga mabuk berat )
4. MAITHUNA ( Sex bareng-bareng di Ulun Setra/Kuburan )
5. MUDRA ( Baru masuk meditasi. Habis Makan, minum dan sex )
Yang dimaksudkan adalah :
1. MATSYA ( Ikan ) artinya = JADILAH SEEKOR IKAN YANG MENYELAMI SUNGAI/LAUTAN KEHIDUPAN. JANGAN MALAH MENOLAK KEHIDUPAN DAN MENINGGALAN DUNIA.
2. MAMSA ( Daging ) artinya = WALAU MENYELAM DALAM KEDUNIAWIAN, TETAPLAH MENGAWASI LIARNYA DAGING-MU/EGOMU!
3.MADA ( Mabuk ) artinya = MINUM DAN REGUKLAH SPIRITUALITAS, WALAU HIDUP DIALAM MATERI. MINUMLAH SPIRITUALITAS ITU HINGGA KAMU MABUK DENGAN-NYA.
4. MAITHUNA (Sex) artinya = CAPAILAH ORGASME SPIRITUAL, SATUKAN SAKTI/KUNDALNI DENGAN ATMAMU! USAHAKANLAH BENAR-BENAR AKAN HAL INI!
5. MUDRA (Sama saja dengan MEDITASI ) artinya = CAPALAH PELEBURAN DENGAN ASAL USULMU. ITULAH KESEMPURNAAN!
Sedangkan pengertian mabuk yang dipaparkan dalam Kitab Maha Nirvana Tantra diatas, sesungguhnya adalah MABUK SPIRITUALITAS.
Inilah sesungguhnya maksud dari ajaran TANTRAYANA. TETAP MENIKMATI KEDUNIAWIAN NAMUN SPIRITUALITAS HARUS DIUTAMAKAN. Namun dalam ajaran Tantra Bhairawa, ritual-ritual yang dipaparkan diatas, benar-benar dijalankan apa adanya.
Lantas benarkan Prabhu Kertanegara penganut Tatra Bhairawa Kalacakra? Jelas ini bertentangan dengan informasi yang ditulis dalam Negarakretagama. Dalam Negarakretagama Prabhu Kartanegara disebutkan sebagai penganut Tantra Subuthi.

Dalam Nagarakretagama pupuh 43 : 2-6 :
2. Itulah sebabnya, baginda (Kertanegara) sangat teguh berbhakti memuja kaki padma Sakyamuni (Buddha), kokoh setia menjalankan Pancasila (Pancasila Buddhis), Samskara dan Abhisekakarma. Gelar Jina beliau adalahShri Jnyanabadreshwara.Mumpuni dalam tattwa (filsafat agama Shiwa dan agama Buddha), tata bahasa (sanskerta dan Palli) dan sutra-sutra lainnya
3. Sangat giat beliau mempelajari segala ilmu spiritualitas. Terutama Tantra Subhuti sangat diutamakannya. Ajarannya merasuk kedalam jiwa beliau. Beliau giat melakukan Puja, Yoga, Samadi demi keselamatan seluruh Kerajaan agar terhindar dari tenung dan agar seluruh rakyat kecil sejahtera semua.
4. Diantara para leluhurnya tidak ada yang setara dengan beliau, paham akan Sadgunna (Enam macam ilmu Politik yang diajarkan Weda), sempurna dalam ilmu ketata negaraan dan ahli dalam tattwa agama (Shiwa Buddha). Teguh menjalankan aturan Jina, dan senantiasa berlaku utama. Itulah sebabnya sampai seluruh keturunannya diberkati sebagai pemimpin utama (sampai sekarang seluruh pemimpin Nusantara masih berbau darah Singasari ~ Malang, Jawa Timur)
5. Pada tahun ABDHIJANARRYAMA (1214 Saka atau 1292 Masehi), baginda berpulang ke Jinalaya (Alam Jina), disebabkan beliau telah sempurna dalam Kriyantara (Upacara agama Shiwa Buddha) dan ajaran agama (Sawrwopadesyadika), seluruh rakyat memberikan gelar kepada beliau Bathara Shiwa Buddha. Di Candi beliau ditegakkan arca Shiwa Buddha, sangat-sangat indah menawan
6. Di Sagala ditegakkan pula arca Jina sangat bagus dan rupawan. Serta Arca Ardhanareshwari (Shiwa dan Durga menjadi satu) disatukan dalam Arca Bajradewi, teman hidup beliau dalam tapa demi keselamatan dan kesuburan negara (Bajradewi istri Kartanegara). Arca tersebut juga lambang dari Wairochana dan Lochana dalam satu kesatuan tunggal, sangat masyhur dan indah.







Tidak ada komentar:

Posting Komentar