Minggu, 13 Januari 2013

SARASWATI



Saraswati


OM, Swastyastu.

Saraswati adalah nama dari seorang Dewi, yang merupakan Sakti dari Bhatara Brahma. Dewi Saraswati diyakini oleh umat Hindu merupakan manifestasi Tuhan Yang Maha Esa dalam fungsinya sebagai Dewi-Nya ilmu pengetahuan. Di Bali, Beliau juga disebut dengan nama Sang Hyang Aji Saraswati sebagai Hyang-Hyanging Pangaweruh.
Dewi Saraswati diwujudkan sebagai sesosok Dewi yang amat cantik rupawan, bertangan empat masing-masing memegang Wina(rebab) , Pustaka (rontal), Genitri (tasbih/Japa mala), dan bunga teratai. Beliau dilukiskan sedang berdiri di atas seekor angsa, dan di sebelahnya ada burung merak. Oleh umat Hindu di India ,pemujaan terhadap Dewi Saraswati dilakukan dalam Murti Puja. Sedangkan di Bali dan di Indonesia pada umumnya, pemujaan terhadap Beliau dilakukan dalam bentuk rerainan atau hari raya.
Hari Raya untuk memuja keagungan Dewi Saraswati dilaksanakan setiap 210 hari (enam bulan) sekali, yaitu pada hari Saniscara (sabtu) Umanis, Watugunung. Perayaan hari Saraswati di lakukan sebagai media untuk mengingatkan dan menyadarkan umat manusia betapa pentingnya arti ilmu pengetahuan dalam kehidupan. Pengetahuan merupakan alat penopang di dalam kita mengarungi kehidupan, serta untuk meningkatkan kualitas kehidupan material dan spiritual menuju kehidupan yang lebih baik. Ada lima aspek yang perlu kita cermati dalam perayaan Hari Raya Saraswati sebagai hari Ilmu pengetahuan.Yaitu :
1. Faktor Edukatif dan Inspiratif ;
Sebagai faktor Edukatif ; secara sadar mendorong seseorang untuk melakukan proses pembelajaran diri, introspeksi diri dan keberanian untuk mengevaluasi diri, untuk dapat mewujudkan peningkatan kualitas diri, demi kesejahteraan bersama dalam kehidupan di masyarakat.
Sebagai faktor inspiratif ; Dapat mengilhami seseorang untuk selalu berusaha agar ilmu pengetahuan yang dimilikinya dapat bermanfaat bagi orang banyak/ masyarakat.
2. Faktor Trasformatif ; Sebagai faktor Traspormatif ilmu pengetahuan hendaknya mampu mengubah sikap mental dan prilaku seseorang, kearah yang lebih baik, dan untuk mewujudkan kebersamaan dan kesetaraan diantara sesama umat manusia.

3. Faktor Integratif ; sebagai faktor Integratif hendaknya ilmu pengetahuan dapat mendorong tumbuhnya suatu keyakinan yang utuh, yang tercermin dalam pengamalan berupa tingkah laku yang baik dan benar di masyarakat. Bila ilmu pengetahuan yang dimiliki tidak didayagunakan sebagai faktor Integratif, tidaklah ada gunanya ilmu pengetahuan yang dimilikinya.
4. Faktor Kreatif ;Sebagai Faktor Kreatif ilmu pengetahuan dapat mendorong seseorang untuk selalu berkreasi dan mengadakan pembaharuan pada diri dan lingkungannya, menuju kualitas hidup dan masa depan yang lebih baik, damai dan sejahtera lahir bhatin.
5. Faktor Motivatif ; Sebagai Faktor Motivatif ilmu pengetahuan mendorong umat manusia untuk menentukan sikap memilih yang baik dan benar, dan dapat memotivasi untuk meningkatkan SDM, melalui pembelajaran diri terus menerus.

Karenanyalah kita sebagai umat Hindu memuja Dewi Saraswati sebagai sumber daripada ilmu pengetahuan. Pada hari Saniscara Umanis Watugunung, semua kitab suci utamanya Weda-weda dan sastra-sastra Agama di kumpulkan sebagai lambang sthana untuk pemujaan terhadap Dewi Saraswati, dengan menghaturkan upakara Saraswati sebagai sembah sujud bhakti kita atas adanya ilmu pengetahuan di dunia ini. Upakara yang paling inti daripada upakara Saraswati terdiri dari : Banten Saraswati , Daksina , Pras, Ajuman putih kuning, Wewangian, dan air kumkuman (air kembang). Sesuai petunjuk lontar Sundharigama hendaknya upacara persembahan kepada Dewi Saraswati dilaksanakan pada pagi hari.

MITOLOGI DAN FILOSOFI.
Upakara dan upacara yang dilaksanakan oleh umat Hindu, khususnya di Bali, sesunguhnyalah memiliki nilai-nilai filosofis, dan para generasi Hindu tidak henti-hentinya diarahkan untuk memahami filosofi yang tersembunyi di balik semua upacara tersebut. Sebab sesungguhnya ajaran-ajaran agama Hindu lebih banyak di sampaikan dalam bentuk upacara, yang mana perlu terus dikupas untuk mendapatkan makna yang terkandung di dalamnya.
Secara etimologi, kata Saraswati sendiri berasal dari bahasa sansekerta yaitu dari kata « Saras » yang berarti sesuatu yang mengalir, seperti air ataupun ucapan. Sedangkan kata »Wati » berarti memiliki. Jadi kata Saraswati berarti sesuatu yang terus mengalir, atau sebagai suatu ucapan yang terus mengalir. Bagaikan ilmu pengetahuan yang tiada habis-habisnya untuk di pelajari.

Sebuah kata atau ucapan baru akan mempunyai makna lebih bilamana didasari oleh ilmu pengetahuan. Sebab hanya ilmu pengetahuan (dalam arti luas) yang mampu menjadi dasar bagi seseorang untuk memperoleh kebijaksanaan yang merupakan landasan untuk mencapai suatu kebahagiaan lahir bhatin (Ananda).
Pada saat pelaksanaan upacara hari raya Saraswati, umat Hindu di Bali khususnya merayakan dengan menghaturkan upakara kepada tumpukan lontar-lontar dan kitab sastra-sastra agama, serta buku-buku ilmu pengetahuan lain, sebagai wujud syukur atas ilmu pengetahuan yang telah terbit menerangi kehidupan manusia. Umat Hindu memandang » Aksara » sebagai lambang sthana Sang Hyang Aji Saraswati. Aksara yang termuat dalam bentuk lontar ataupun buku-buku adalah serangkaian huruf-huruf yang membentuk ilmu pengetahuan baik Apara Widya maupun Para Widya.

Apara widya adalah segala pengetahuan yang mengetengahkan tentang ciptaan-ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, termasuk di dalamnya pengetahuan tentang keberadaan Bhuwana agung dan Bhuwana alit.
Para Widya adalah ilmu pengetahuan yang mengajarkan tetang hakekat Ketuhanan itu sendiri.

Di Bali dan di Indonesia pada umumnya tidak terdapat pelinggih khusus untuk memuja Sang Hyang aji Saraswati. Gambar maupun patung Dewi Saraswati yang kita kenal saat ini berasal dari India. Ada yang menggambarkan Dewi Saraswati sedang duduk, ada pula yang menggambarkan Dewi Saraswati sedang berdiri di atas seekor angsa dan bunga teratai. Pun ada yang melukiskan Beliau berdiri di atas setangkai bunga teratai (Padma), dengan ditemani seekor angsa dan merak yang berdiam di kedua sisinya atau mengapit Beliau. Perbedaan versi tersebut bukanlah suatu masalah yang harus di permasalahkan atau di perdebatkan. Namun yang terpenting adalah bagaimana kita memaknai simbol-simbol yang ada untuk memperoleh sari-sari filosofis yang termuat di dalamnya.

Dewi Saraswati yang digambarkan sebagai seorang Dewi yang cantik rupawan, dimaksudkan untuk menyatakan dan melambangkan bahwa ilmu pengetahuan adalah sesuatu yang demikian menarik dan mengagumkan, sehingga banyak yang tergila-gila untuk mengenalnya. Maka dari itu, seseorang yang dipenuhi oleh ilmu pengetahuan akan memancarkan aura daya tarik yang luar biasa, yang mampu menarik orang-orang di sekitarnya untuk mendekat. Dalam Kekawin Niti sastra dikatakan bahwa : Orang yang tanpa ilmu pengetahuan, amatlah tidak menarik ,meskipun masih muda usia ,berwajah tampan, dari keturunan yang baik ataupun bangsawan, karena orang seperti itu ibarat bunga teratai yang berwarna merah menyala namun tidak mimiliki bau yang harum, yang mampu menarik kumbang-kumbang untuk mendekat ,tiadalah gunanya.

Cakepan atau Lontar yang di bawa oleh Dewi Saraswati merupakan perlambang dari ilmu pengetahuan.
Genitri/Japa Mala , melambangkan bahwa ilmu pengetahuan sesungguhnyalah sesuatu yang tiada akhirnya, tidak akan ada habis-habisnya untuk di pelajari, bagaikan putaran sebuah genitri/japamala yang tiada terputus.
Wina/Rebab adalah sejenis alat musik yang suaranya amat merdu dan melankolis, sebagai perlambang bahwa ilmu pengetahuan mengandung suatu keindahan dan nilai estetika yang sangat tinggi.
Bunga Padma/Teratai berdaun delapan adalah lambang dari pada Bhuwana Agung dan Bhuwana Alit, sebagai sthana Tuhan Yang Maha Esa dengan Asteswarya-Nya,dan juga merupakan lambang kesucian yang menjadi hakekat daripada ilmu pengetahuan.
Angsa adalah sejenis unggas yang dikatakan memiliki sifat-sifat kebaikan , kebersamaan dan kebijaksanaan. Mereka memiliki kemampuan untuk memilih makanannya, meskipun makanan itu bercampur dengan lumpur atau air kotor. Yang dimasukkan kedalam perutnya hanyalah makanan-makanan yang baik saja, sedangkan yang kotor dan merugikan disisihkannya. Demikianlah seseorang yang telah memahami hakekat kesujatian dari ilmu pengetahuan, akan dapat memilah-milah secara bijak hal-hal yang baik dan benar serta menyisihkan hal-hal yang buruk.
Burung Merak adalah perlambang suatu kewibawaan, sehingga seseorang telah memahami hakekat ilmu pengetahuan dengan baik dan benar akan memancarkan aura kewibawaan, disegani dan dihormati oleh masyarakat.

Hari Raya Saraswati dan Kaitannya Dengan Keberadaan Pura Bale Agung.
Dalam rontal Purwadhi Gama Sesana yang memuat tentang keberadaan Dewi Saraswati serta kaitannya dengan keberadaan Pura Bale Agung di Desa Pakraman, diceritakan sebagai berikut :
Di ceritakan pada saat para Dewa-Dewa (Bhatara kabeh) di perintahkan oleh Sang Hyang Adhisuksma (Ida Sang Hyang Widhi Wasa) untuk turun ke bumi dan mengajarkan umat manusia tentang hidup dan kehidupan, secara bersamaan Sang Hyang Iswara juga turun ke bumi, bertugas mengajarkan umat manusia di Desa Pakraman. Pada saat itu Beliau bernama Sang Hyang Ramadesa, bersthana di Pura Desa dan diiringi oleh Sang Hyang Catur Loka Phala, Sang Hyang Ramadesa kemudian memerintahkan salah satu pengikutnya yang bernama Bhagawan Wiswakarma, untuk membangun Salu Agung Apanjang, yang kita kenal sekarang dengan sebutan Bale Agung, yang merupakan tempat atau sthana Sang Hyang Ramadesa mengajar umat manusia (krama Desa Pakraman). Pada saat itu murid-murid Beliau tidak mampu menerima semua pelajaran-pelajaran yang di berikan oleh Beliau, karena pada saat itu umat manusia tidak merasa tertarik untuk mempelajari ilmu pengatahuan, sehingga semua pelajaran yang di berikan oleh Sang Hyang Ramadesa tidak bisa di pahami, masuk kanan keluar kiri. Dengan melihat keadaan umat manusia sedemikian rupa, Sang Hyang Ramadesa lalu pergi menghadap kepada Bhatara Brahma ,untuk memohon kehadapan Beliau agar berkenan mengijinkan sakti Beliau yaitu Dewi Saraswati untuk diajak oleh Sang Hyang Ramadesa mengajar umat manusia di Desa Pakraman. Dengan senang hati Bhatara Brahma menyambut baik permohonan Sang Hyang Ramadesa, dan mengijinkan Dewi Saraswati ikut menemani Sang Hyang Ramadesa.
Sesampainya Beliau berdua di Desa Pakraman atau di Bale Agung, kemudian Dewi Saraswati berkenan masuk kedalam relung hati umat manusia yang paling dalam (Bersthana didalam Intelektual manusia). Pada saat itu Sang Hyang Saraswati bernama Sang Hyang Drathidewi atau Sang Hyang Dredhadewi. Setelah Dewi Saraswati bersthana didalam intelektual umat manusia, mulailah kemudian timbul gairah atau keinginan dalam diri manusia untuk mengikuti pelajaran yang di berikan oleh Sang Hyang Ramadesa. Semenjak itu Sang Hyang Ramadesa berganti nama, dan bernama Sang Hyang Gurudesa, karena Beliau sebagai Guru yang memberikan pelajaran kepada umat manusia di Desa Pakraman.
Dengan melihat begitu semangatnya umat manusia di Desa pakraman untuk mengikuti pelajaran, maka kembali Beliau memerintahkan Bhagawan Wiswakarma untuk membangun pelinggih lagi sebagai sthana Bhatari Sri Gurunini dan Bhatari Sedhana yang bertempat di hulu Salu Agung Apanjang (Bale Agung). Ida Bhatari Sri Gurunini bertugas mengajarkan umat manusia terutama para wanitanya, tentang ilmu pengetahuan untuk menopang kehidupan dan ilmu pengetahuan tentang Swadharmaning pawistri. Bhatari Sedhana bertugas mengajarkan umat manusia tetang ilmu ekonomi, serta memberikan sedhana atau rejeki kepada umat manusia sesuai dengan karma-karma mereka. Beliau bertiga juga di sebut sebagai Bhatari Tri Purusa Dewi, yaitu Bhatari Sri, Bhatari Sedhana dan Bhatari Saraswati. Demikianlah secara singkat cerita hubungan antara Hari Raya Saraswati dengan keberadaan Pura Bale Agung.
Perayaan Hari Raya Saraswati sesungguhnya berlanjut terus sampai hari Tumpek Landep. Keseluruhan dari hari-hari tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, sebagai pemaknaan dalam proses pembelajaran diri. Rangkaian upacara tersebut yakni :

Hari Raya Saraswati (Saniscara Umanis Watugunung).
Merupakan perayaan sebagai penghormatan kita dengan turunnya Dewi Saraswati sebagai perlambang ilmu pengetahun atau Hyang-Hyanging Pangawruh.

Banyu Pangewruh/Pinawruh(Redite Pahing Sinta)
Dirayakan sebagai rasa hormat kita atas berkenannya Sang Hyang Gurudesa (Iswara guru) melimpahkan pangewruhnya atau ilmu pengetahuan kepada umat manusia. Dengan melakukan penyucian diri. Sebab tanpa bimbingan Beliau maka akan sangat sulit sesorang untuk dapat memahami keberadaan ilmu pengetahuan yang di pelajari. Oleh karena itu peran seorang Guru sangatlah penting dan mulia adanya sehingga wajib untuk di hormati.

Soma Rebek (Soma Pwon Sinta)
Dirayakan sebagai rasa hormat kita kehadapan Bhatari Sri Gurunini yang berkenan mengajarkan ilmu pengetahuan tentang penghidupan, ilmu pertanian (ilmu tentang kamerthan) kepada umat manusia, sebagai sarana untuk menopang kehidupan umat manusia. Beliau juga mengajarkan ilmu-ilmu tentang kewanitaan atau Swadharmaning pawistri.

Sabuh Mas Sabuh perak (Anggara Wage Sinta)
Dirayakan sebagai perlambang penghormatan kita kehadapan Sang Hyang Mahadewa dan Bhatari Sedhana atas jasa-jasa Beliau yang telah mengajarkan umat manusia tentang ilmu ekonomi atau ilmu pebankan (menabung), serta tentang manfaat harta benda dalam menyokong kehidupan umat manusia. Beliau bertugas memberikan berkah atau rejeki kepada umat manusia sesuai dengan karma-karma mereka.

Hari Pager Wesi(Buda Kliwon Sinta).
Perayaan hari Pagerwesi sebagai perlambang beryoganya Sang Hyang Paramesthi Guru. Dan merupakan penghormatan kita kehadapan Beliau, dengan jalan mendekatkan diri melalui Tapa, Brata, Yoga dan Samadhi, sebagai jalan untuk melakukan introspreksi diri (mulat sarira) dan mengevaluasi diri demi terciptanya Pagar yang kuat (Pagerwesi) dalam diri kita, untuk dapat mewujudkan keharmonisan hidup ”Tri Hita Karana” Keharmonisan antara manusia dengan Sang Pencipta (Tuhan), Keharmonisan antara manusia dengan sesama umat manusia, keharmonisan manusia dengan alam lingkungannya. Untuk mewujudkan kehidupan yang damai dan sejahtera.

Tumpek Landep(Saniscara Kliwon Landep)
Perayaan hari Tupek Landep merupakan penghormatan kita sebagai hari turunnya Sang Hyang Pasupati, sebagai Dewa ketajaman (Hyang-Hyanging Lelandep). Tumpek Landep merupakan hari pemberkahan atau hari samskara (penyucian). Pada hari ini kita mendekatkan diri dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam manifestasi Beliau sebagai Sang Hyang Pasupati, agar Beliau berkenan memberkahi kita ketajaman pikiran/intelektual serta perkataan/ucapan kita. Tanpa di berkahi ketajaman pikiran dan perkataan sulit bagi kita untuk memahami dan menghayati segala ilmu pengetahuan yang kita pelajari, serta menjabarkannya ke dalam kehidupan bermasyarakat.

Mengacu pada mitologi atau cerita diatas, rasanya sangatlah tepat bagi kita untuk merayakan Hari Raya Saraswati dilaksanakan di Pura Desa atau di Pura Bale Agung, sebagai sthana Sang Hyang Gurudesa (Sang Hyang Iswara Guru) yang merupakan Guru bagi umat manusia. Juga sebagi sthana turunnya Dewi Saraswati yang kemudian merasuki sanubari setiap insan manusia.
Perayaan Hari Raya Saraswati sesuai petunjuk lontar Purwadhi Gama Sesana, adalah bertujuan untuk meningkatkan intelektualitas kita sebagai umat manusia, agar tercapai keseimbangan jiwa yang bermoral tinggi, untuk mewujudkan kehidupan yang lebih baik dengan menjunjung nilai-nilai kebersamaan dan kesetaraan dalam kehidupan bermasyarakat.
Dalam tutur Purwadhi Gama Sesana juga di sebutkan bahwa yang menggantikan Sang Hyang Iswara Guru/Sang Hyang Gurudesa bersthana di Pura Bale Agung adalah putra Beliau yang bernama Sang Hyang Bregalungan. Dimana kata “ Bregalungan” memiliki makna sebagai berikut:

“Bre” artinya menumbuhkan.
“Ga” artinya Kebaikan atau kesucian.
“Lungan”artinya perbuatan atau prilaku.

Dengan demikian “Bregalungan”artinya agar senantiasa dapat menumbuhkan perbuatan-perbuaan yang baik dan benar yang berlandaskan ajaran Dharma.

Hari Raya Saraswati hendaknya dijadikan momentum untuk meningkatkan pembelajaran diri dengan menumbuhkan perilaku atau perbuatan-perbuatan yang baik dan benar berlandaskan Dharma.

Demikianlah sekilas uraian tentang makna perayaan Saraswati sampai hari Tumpek landep, serta kaitannya dengan keberadaan Pura Bale Agung di Desa Pakraman di Bali. Semoga uraian singkat ini dapat menambah pengetahuan dan bermanfaat bagi umat sedharma. Dan tak lupa saya mohon maaf atas keterbatasan saya dalam menyajikannya.

Suksma.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar