PADMASANA
Padmasana
Mengingat rekan-rekan sedharma di
Bali dan di luar Bali banyak yang membangun tempat sembahyang atau Pura dengan
pelinggih utama berupa Padmasana, perlu kiranya kita mempelajari seluk beluk
Padmasana agar tujuan membangun simbol atau “Niyasa” sebagai objek konsentrasi
memuja Hyang Widhi dapat tercapai dengan baik.
- Arti Padmasana
- Hiasan Padmasana
- Bentuk-Bentuk Padmasana
- Letak Padmasana
- Memilih Lokasi Padmasana
- Pembagian Halaman Padmasana
- Asta Kosala dan Asta Bumi
- Hulu-Teben
- Bentuk Halaman Padmasana
- Pemedal Padmasana
- Jarak Antar Pelinggih
- Pelinggih (Stana) yang Dibangun
- Upacara Ngenteg Linggih
1. ARTI PADMASANA
Padmasana berasal dari Bahasa Kawi,
menurut Kamus Kawi-Indonesia yang disusun oleh Prof. Drs. S. Wojowasito
(Penerbit CV Pengarang, Malang, 1977) terdiri dari dua kata yaitu: “Padma”
artinya bunga teratai, atau bathin, atau pusat. “Sana” artinya sikap duduk,
atau tuntunan, atau nasehat, atau perintah.
Dengan demikian Padmasana adalah
simbol yang menggambarkan kedudukan Hyang Widhi sebagai bunga teratai, atau
dapat juga dikatakan bahwa Padmasana sebagai tuntunan batin atau pusat
konsentrasi. Bunga teratai dipilih sebagai simbol yang tepat menggambarkan
kesucian dan keagungan Hyang Widhi karena memenuhi unsur-unsur:
1. Helai daun bunganya berjumlah
delapan sesuai dengan jumlah manifestasi Hyang Widhi di arah delapan penjuru
mata angin sebagai kedudukan Horizontal:
MANIFESTASI MATA ANGIN Sangkara Barat Laut (Wayabya) Wisnu Utara
(Uttara) Sambhu Timur Laut (Airsanya) Mahadewa Barat (Pascima) Ishwara Timur
(Purwa) Rudra Barat Daya (Nairity) Brahma Selatan (Daksina) Mahesora Tenggara
(Aghneya)
2. Puncak mahkota berupa sari bunga yang
menggambarkan simbol kedudukan Hyang Widhi secara vertikal dalam manifestasi
sebagai: Siwa (adasthasana/ dasar), Sadasiwa (madyasana/ tengah) dan Paramasiwa
(agrasana/ puncak)
3. Bunga teratai hidup di tiga alam
yaitu tanah/lumpur disebut pertiwi, air disebut apah, dan udara disebut akasa.
Bunga teratai merupakan sarana utama
dalam upacara-upacara Panca Yadnya dan juga digunakan oleh Pandita-Pandita
ketika melakukan surya sewana.
Menurut Lontar “Dwijendra Tattwa”,
pelinggih berbentuk Padmasana dikembangkan oleh Danghyang Dwijendra, atau nama
(bhiseka) lain beliau: Mpu Nirartha atau Danghyang Nirartha.
Berdasarkan wahyu yang diterima
beliau di pantai Purancak (Jembrana) ketika pertama kali menginjakkan kaki di
Bali setelah menyeberang dari Jawa Timur di abad ke-14, penduduk Bali perlu
dianjurkan membangun pelinggih Padmasana.
Sebelum kedatangan beliau, agama
Hindu di Bali telah berkembang dengan baik di mana penduduk memuja Hyang Widhi
terbatas dalam kedudukan-Nya secara horizontal.
Ajaran itu diterima dari para Maha
Rsi yang datang ke Bali sejak abad ke-8, seperti Rsi Markandeya, Mpu Kuturan,
Danghyang Siddimantra, Danghyang Manik Angkeran, Mpu Jiwaya, Mpu Gnijaya, Mpu
Sumeru, Mpu Ghana, dan Mpu Bharadah.
Bentuk-bentuk pelinggih sebagai
simbol/niyasa ketika itu hanya: meru tumpang tiga, Kemulan rong tiga,
bebaturan, dan gedong.
Wahyu yang diterima oleh Danghyang
Nirartha untuk menganjurkan penduduk Bali menambah bentuk palinggih berupa
Padmasana menyempurnakan simbol/niyasa yang mewujudkan Hyang Widhi secara
lengkap, baik ditinjau dari konsep horizontal maupun vertikal.
2. HIASAN PADMASANA
1. Di dasar bangunan ada
Bhedawangnala, yaitu ukiran “mpas” (kura-kura besar) yang dililit dua ekor
naga.
Kura-kura adalah simbol dasar
bhuvana dibayangkan sebagai api magma, sedangkan naga adalah simbol Basuki
yaitu kekuatan yang mengikat alam semesta.
Bhedawangnala adalah Bahasa Kawi, di
mana ‘bheda” artinya: lain, kelompok, selisih; “wang” artinya: peluang,
kesempatan; “nala” artinya: api. Jadi bhedawangnala artinya: suatu kelompok
(kesatuan) yang meluangkan adanya api.
Api di sini bisa dalam arti nyata
sebagai dapur magma inti bumi, dapat juga dalam arti simbol lain yaitu energi
kekuatan hidup.
Karena letaknya di bawah/ dasar
bangunan maka simbol bhedawangnala dapat bermakna sebagai kekuatan bumi ciptaan
Hyang Widhi yang perlu dijaga, dan dapat pula bermakna sebagai dasar kehidupan
manusia yaitu energi yang senantiasa perlu ditumbuh kembangkan.
2. Dewa Wisnu yang mengendarai
Garuda diletakkan di bagian tengah belakang, adalah simbol Hyang Widhi dalam
manifestasi sebagai pemelihara.
3. Angsa diletakkan di bagian atas
belakang, adalah simbol Sanghyang Saraswati bermakna sebagai: pengetahuan,
ketelitian, kewaspadaan, ketenangan dan kesucian.
4. Acintya diletakkan di bagian atas
depan, adalah simbol Hyang Widhi yang tidak dapat dilihat, dipikirkan wujudnya,
di raba, namun vibrasinya dapat dirasakan.
5. Hiasan lainnya dapat berupa
karang gajah, karang boma, karang bun, karang paksi, dll. yang semuanya
bermakna sebagai simbol keaneka ragaman alam semesta.
Kesimpulan arti simbolis dari semua
bentuk Padmasana adalah: Stana Hyang Widhi yang dengan kekuatan-Nya telah
menciptakan manusia sebagai mahluk utama dan alam semesta sebagai pendukung
kehidupan, senantiasa perlu dijaga kelanggengan hidupnya.
3. BENTUK-BENTUK PADMASANA
Dilihat dari bentuk bangunan
Padmasana, dibedakan adanya lima jenis Padmasana, yaitu:
1. Padma Anglayang, memakai dasar
bhedawangnala, bertingkat tujuh dan di puncaknya ada tiga ruang. Digunakan
selain sebagai niyasa stana Sanghyang Siwa Raditya atau Sanghyang Tripurusa,
juga sebagai niyasa stana Trimurti
2. Padma Agung, memakai dasar
bhedawangnala, bertingkat lima dan di puncaknya ada dua ruang. Digunakan selain
sebagai niyasa stana Sanghyang Siwa Raditya atau Sanghyang Tripurusa, juga
sebagai niyasa Ardanareswari yaitu kekuatan/ kesaktian Hyang Widhi sebagi
pencipta segala yang berbeda misalnya: lelaki-perempuan, siang-malam, kiri
(pengiwa) – kanan (penengen), dst.
3. Padmasana, memakai bhedawangnala,
bertingkat lima dan di puncaknya ada satu ruang. Digunakan selain sebagai
niyasa stana Sanghyang Siwa Raditya atau Sanghyang Tripurusa, juga sebagai
niyasa Sanghyang Tunggal yaitu Hyang Widhi Yang Maha Esa
4. Padmasari, tidak memakai dasar
bhedawangnala, bertingkat tiga dan di puncaknya ada satu ruang. Digunakan hanya
untuk niyasa stana Sanghyang Siwa Raditya atau Sanghyang Tripurusa
5. Padma capah, tidak memakai dasar
bhedawangnala, bertingkat dua dan di puncaknya ada satu ruang. Digunakan untuk
niyasa stana Hyang Widhi dalam manifestasi sebagai Baruna (Dewa lautan)
Pemilihan bentuk kelima jenis
Padmasana itu berdasar pertimbangan kemampuan penyungsung melaksanakan upacara,
baik ketika mendirikannya maupun pada setiap hari piodalannya.
Oleh karena itu dipertimbangkan juga
jumlah penyungsungnya. Makin banyak penyungsungnya makin “utama” bentuk
padmasana, sesuai dengan urutan di atas.
4. LETAK PADMASANA
Letak Padmasana menurut arah mata
angin (pengider-ider bhuwana) ada sembilan macam yaitu:
NO. NAMA LETAK DI MENGHADAP KE 1. Padma
Kencana timur (purwa) barat (pascima) 2. Padmasana selatan (daksina) utara
(uttara) 3. Padmasari barat (pascima) timur (purwa) 4. Padma Lingga utara
(uttara) selatan (daksina) 5. Padma Asta Sedhana tenggara (agneya) barat laut
(wayabya) 6. Padma Noja barat daya (nairity) timur laut (airsaniya) 7. Padma
Karo barat laut (wayabya) tenggara (agneya) 8. Padma Saji timur laut (airsanya)
barat daya (nairity) 9. Padma Kurung tengah-tengah Pura (madya) pintu keluar/
masuk (pemedal)
Pemilihan letak Padmasana berdasar
pertimbangan letak Pura dan konsep “hulu – teben”.
Dalam membangun Padmasana, jika
memakai Timur sebagai hulu, tidak masalah karena di mana-mana arah timur selalu
sama. Tetapi jika memakai Gunung sebagai hulu maka ada perbedaan hulu teben.
Misalnya:
- Di daerah Den Bukit (Buleleng) di mana hulunya (Gunung) adalah arah selatan maka sesuai letaknya dibangun Padmasana.
- Sebaliknya di selatan “bukit” (Gunung) mulai dari Pancasari ke Bali selatan di mana hulunya adalah arah utara maka sesuai letaknya dibangun Padma lingga.
- Di daerah Karangasem bagian timur di mana hulunya (Gunung) ada di bagian barat, maka sesuai letaknya dibangun Padma sari.
Demikian seterusnya. Pemilihan letak
Padmasana juga ditentukan oleh lokasi tanah pekarangan, misalnya untuk perumahan
di kota-kota besar di mana sulit memilih letak tanah sesuai dengan konsep hulu
– teben seperti di Bali, maka jika membangun Padmasana silahkan memilih
alternatif yang terbaik di antara kesembilan jenis lokasi seperti tersebut di
atas.
5. MEMILIH LOKASI PADMASANA
Bila ingin membangun Padmasana untuk
penyungsungan jagat artinya yang permanen dan akan digunakan selamanya serta
untuk kepentingan rekan sedharma dalam jumlah besar, perlu memperhatikan
pemilihan lokasi yang tepat dengan aturan-aturan yang sudah ditetapkan dalam
Lontar Keputusan Sanghyang Anala, yang ditulis berdasarkan wahyu yang diterima
oleh Bhagawan Wiswakarma.
Selain untuk membangun Padmasana,
aturan ini juga dapat berlaku untuk membangun Pura, Sanggah Pamerajan, dan
perumahan.
Pilihlah lokasi yang baik dan
hindari sedapat mungkin lokasi yang tidak menguntungkan seperti pelemahan hala
dan karang kebaya-baya.
Apabila keadaan memaksa, lakukan
usaha-usaha pangupahayu agar terhindar dari pengaruh buruk yang ditimbulkan
oleh kekurang sempurnaan keadaan lokasi.
6. PEMBAGIAN HALAMAN PADMASANA
Untuk Pura yang besar menggunakan
pembagian halaman menjadi tiga, yaitu:
- Utama Mandala
- Madya Mandala
- Nista Mandala
Ketiga Mandala itu merupakan satu
kesatuan, artinya tidak terpisah-pisah, dan tetap berbentuk segi empat; tidak
boleh hanya utama mandala saja yang persegi empat, tetapi madya mandala dan
nista mandala berbentuk lain.
Utama mandala adalah bagian yang
paling sakral terletak paling hulu, menggunakan ukuran Asta Bumi; Madya Mandala
adalah bagian tengah, menggunakan ukuran Asta Bumi yang sama dengan utama
Mandala; Nista Mandala adalah bagian teben, boleh menggunakan ukuran yang tidak
sama dengan utama dan nista mandala hanya saja lebar halaman tetap harus sama.
Di Utama mandala dibangun
pelinggih-pelinggih utama. Di madya mandala dibangun sarana-sarana penunjang
misalnya bale gong, perantenan (dapur suci), bale kulkul, bale pesandekan
(tempat menata banten), bale pesamuan (untuk rapat-rapat), dll. Di nista
mandala ada pelinggih Lebuh yaitu stana Bhatara Baruna, dan halaman ini dapat
digunakan untuk keperluan lain misalnya parkir, penjual makanan, dll.
Batas antara nista mandala dengan
madya mandala adalah Candi Bentar dan batas antara madya mandala dengan utama
mandala adalah Gelung Kori, sedangkan nista mandala tidak diberi pagar atau
batas dan langsung berhadapan dengan jalan.
7. ASTA KOSALA dan ASTA BUMI
Yang dimaksud dengan Asta Kosala
adalah aturan tentang bentuk-bentuk niyasa (simbol) pelinggih, yaitu ukuran
panjang, lebar, tinggi, pepalih (tingkatan) dan hiasan.
Yang dimaksud dengan Asta Bumi
adalah aturan tentang luas halaman Pura, pembagian ruang halaman, dan jarak
antar pelinggih.
Aturan tentang Asta Kosala dan Asta
Bumi ditulis oleh Pendeta: Bhagawan Wiswakarma dan Bhagawan Panyarikan. Uraian
mengenai Asta Kosala khusus untuk bangunan Padmasana telah dikemukakan pada
bab: Hiasan Padmasana, Bentuk-bentuk Padmasana dan Letak Padmasana.
Asta Bumi menyangkut pembuatan Pura
atau Sanggah Pamerajan adalah sebagai berikut:
1. Tujuan Asta Bumi
- Memperoleh kesejahteraan dan kedamaian atas lindungan Hyang Widhi
- Mendapat vibrasi kesucian
- Menguatkan bhakti kepada Hyang Widhi
2. Luas Halaman
a. Memanjang dari Timur ke Barat
ukuran yang baik adalah:
- Panjang dalam satuan depa (bentangan tangan lurus dari kiri ke kanan dari pimpinan/ klian/ Jro Mangku atau orang suci lainnya): 2, 3, 4, 5, 6, 7, 11, 12, 14, 15, 19.
- Lebar dalam ukuran depa: 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 11, 12, 14, 15.
- Alternatif total luas dalam depa: 2×1, 3×2, 4×3, 5×4, 6×5, 7×6, 11×7, 12×11, 14×12, 15×14, 19×15.
b. Memanjang dari Utara ke Selatan
ukuran yang baik adalah:
- Panjang dalam ukuran depa: 4, 5, 6, 13, 18.
- Lebar dalam ukuran depa: 5, 6, 13.
- Alternatif total luas dalam depa: 6×5, 13×6, 18×13
Jika halaman sangat luas, misalnya
untuk membangun Padmasana kepentingan orang banyak seperti Pura Jagatnatha,
dll. boleh menggunakan kelipatan dari alternatif yang tertinggi. Kelipatan itu:
3 kali, 5 kali, 7 kali, 9 kali dan 11 kali.
Misalnya untuk halaman yang
memanjang dari Timur ke Barat, alternatif luas maksimum dalam kelipatan adalah:
3 x (19×15), 5 x (19×15), 7 x (19×15), 9x(19×15), 11x(19×15).
Untuk yang memanjang dari Utara ke
Selatan, alternatif luas maksimum dalam kelipatan adalah: 3x(18×13), 5x(18×13),
7x(18×13), 9x(18×13), 11 x (18×13).
8. HULU – TEBEN
Filsafat hulu – teben timbul karena
manusia sulit membayangkan Hyang Widhi, kemudian “menganggap” Hyang Widhi
seperti organ tubuh manusia yang mempunyai unsur-unsur kepala, badan dan kaki.
Perhatikan gambar simbol Acintya.
Kepala dikatakan sebagai hulu, badan
sebagai madya dan kaki sebagai teben. Yang utama selalu berada di hulu. Konsep
ini membawa tatanan kehidupan “skala” (nyata) dan “niskala” (tidak nyata),
misalnya dalam aturan-aturan membangun Pura.
Adanya bagian yang sangat sakral
disebut sebagai “utama mandala”, bagian yang kurang sakral disebut sebagai
“madya mandala” dan bagian yang tidak sakral disebut sebagai “nista mandala”.
Hulu – Teben memakai dua acuan yaitu
Timur sebagai hulu dan Barat sebagai teben, atau Gunung sebagai hulu dan Laut
sebagai teben. Timur sebagai hulu karena di timurlah matahari terbit.
Matahari dalam pandangan Hindu
adalah sumber energi yang menghidupi semua mahluk, sedangkan Gunung sebagai
hulu karena berfungsi sebagai pengikat awan yang turun menjadi hujan kemudian
ditampung dalam humus hutan yang merupakan sumber mata air kehidupan. Tiada
kehidupan tanpa air.
“Hulu” artinya arah yang utama,
sedangkan “teben” artinya hilir atau arah berlawanan dengan hulu. Sebagaimana
telah diuraikan terdahulu, ada dua patokan mengenai hulu, yaitu:
- Arah Timur, dan
- Arah “Kaja”
Mengenai arah Timur bisa diketahui
dengan tepat dengan menggunakan kompas. Arah kaja adalah letak gunung atau
bukit.
Cara menentukan lokasi Pura adalah
menetapkan dengan tegas arah hulu, artinya jika memilih timur sebagai hulu agar
benar-benar timur yang tepat, jangan melenceng ke timur laut atau tenggara.
Jika memilih kaja sebagai hulu, selain melihat gunung atau bukit juga
perhatikan kompas.
Misalnya jika gunung berada di utara
maka hulu agar benar-benar di arah utara sesuai kompas, jangan sampai melenceng
ke arah timur laut atau barat laut, demikian seterusnya. Pemilihan arah hulu
yang tepat sesuai dengan mata angin akan memudahkan membangun
pelinggih-pelinggih dan memudahkan pelaksanaan upacara dan arah pemujaan.
9. BENTUK HALAMAN PADMASANA
Bentuk halaman pura adalah persegi
empat sesuai dengan ukuran Asta Bumi sebagaimana diuraikan terdahulu.
Jangan membuat halaman pura tidak
persegi empat misalnya ukuran panjang atau lebar di sisi kanan – kiri berbeda,
sehingga membentuk halaman seperti trapesium, segi tiga, lingkaran, dll. Hal
ini berkaitan dengan tatanan pemujaan dan pelaksanaan upacara, misalnya
pengaturan meletakkan umbul-umbul, penjor, dan Asta kosala.
10. PEMEDAL PADMASANA
Pemedal adalah gerbang, baik berupa
candi bentar maupun gelung kori. Cara menetapkan pemedal sebagai berikut:
- Ukur lebar halaman dengan tali.
- Panjang tali itu dibagi tiga.
- Sepertiga ukuran tali dari arah teben adalah “as” pemedal
Dari as ini ditetapkan lebarnya
gerbang apakah setengah depa atau satu depa, tergantung dari besar dan
tingginya bangunan candi bentar dan gelung kori.
Yang dimaksud dengan teben dalam
ukuran pemedal ini adalah arah yang bertentangan dengan hulu dari garis halaman
pemedal.
Misalnya hulu halaman Pura ada di
Timur, maka teben dalam menetapkan gerbang tadi adalah utara, kecuali di utara
ada gunung maka tebennya selatan, demikian seterusnya. Penetapan gerbang candi
bentar dan gelung kori ini penting untuk menentukan letak pelinggih sesuai
dengan asta kosala.
11. JARAK ANTAR PELINGGIH
Sesuai dengan Asta Bumi, jarak antar
pelinggih yang satu dengan yang lain dapat menggunakan ukuran satu “depa”,
kelipatan satu depa, “telung tapak nyirang”, atau kelipatan telung tapak
nyirang.
Pengertian “depa” sudah dikemukakan
di depan, yaitu jarak bentangan tangan lurus dari ujung jari tangan kiri ke
ujung jari tangan kanan. Yang dimaksud dengan “telung tampak nyirang” adalah
jarak dari susunan rapat tiga tapak kaki kanan dan kiri (dua kanan dan satu
kiri) ditambah satu tapak kaki kiri dalam posisi melintang.
Baik depa maupun tapak yang
digunakan adalah dari orang yang dituakan dalam kelompok “penyungsung” (pemuja)
Pura.
Jarak antar pelinggih dapat juga
menggunakan kombinasi dari depa dan tapak, tergantung dari harmonisasi letak
pelinggih dan luas halaman yang tersedia. Jarak antar pelinggih juga mencakup
jarak dari tembok batas ke pelinggih-pelinggih.
Ketentuan-ketentuan jarak itu juga
tidak selalu konsisten, misalnya jarak antar pelinggih menggunakan tapak,
sedangkan jarak ke “Piasan” dan Pemedal (gerbang) menggunakan depa. Ketentuan
ini juga berlaku bagi bangunan dan pelinggih di Madya Mandala.
12. PELINGGIH YANG DIBANGUN
Jika bangunan inti hanya Padmasana,
sebagaimana tradisi yang ada di luar Pulau Bali, maka selain Padmasana dibangun
juga:
- pelinggih TAKSU sebagai niyasa pemujaan Dewi Saraswati yaitu saktinya Brahma yang memberikan manusia kemampuan belajar/ mengajar sehingga memiliki pengetahuan, dan
- PANGRURAH sebagai niyasa pemujaan Bhatara Kala yaitu “putra” Siwa yang melindungi manusia dalam melaksanakan kehidupannya di dunia.
Bangunan lain yang bersifat sebagai
penunjang adalah:
- PIYASAN yaitu bangunan tempat bersemayamnya niyasa Hyang Widhi ketika hari piodalan, di mana diletakkan juga sesajen (banten) yang dihaturkan.
- BALE PAMEOSAN adalah tempat Sulinggih memuja.
Di Madya Mandala dibangun:
- BALE GONG, tempat gambelan
- BALE PESANDEKAN, tempat rapat atau menyiapkan diri dan menyiapkan banten sebelum masuk ke Utama Mandala.
- BALE KULKUL yaitu tempat kulkul (kentongan) yang dipukul sebagai isyarat kepada pemuja bahwa upacara akan dimulai atau sudah selesai.
Jika ingin membangun Sanggah
pamerajan yang lengkap, bangunan niyasa yang ada dapat “turut” 3, 5, 7, 9, dan
11. “Turut” artinya “berjumlah”.
TURUT JENIS PELINGGIH KETERANGAN Turut 3
- Padmasari
- Kemulan Rong Tiga
- Taksu
Kemulan Rong tiga adalah Hyang Guru
atau Tiga Sakti: Brahma, Wisnu, Siwa. Jenis turut ini digunakan oleh tiap
keluarga di rumahnya masing-masing Turut 5
- Padmasari
- Kemulan Rong Tiga
- Taksu
- Pangrurah
- Baturan Pengayengan
Baturan Pengayengan yaitu pelinggih
untuk memuja ista dewata yang lain. Turut 7
- Padmasari
- Kemulan Rong Tiga
- Taksu
- Pangrurah
- Baturan Pengayengan
- Pelinggih Limas Cari (Gunung Agung)
- Limas Catu (Gunung Lebah)
Yang dimaksud dengan Gunung Agung
dan Gunung Lebah (Batur) adalah simbolisme Hyang Widhi dalam manifestasi yang
menciptakan “Rua Bineda” atau dua hal yang selalu berbeda misalnya: lelaki dan
perempuan, siang dan malam, dharma dan adharma, dll. Turut 9
- Padmasari
- Kemulan Rong Tiga
- Taksu
- Pangrurah
- Baturan Pengayengan
- Pelinggih Limas Cari (Gunung Agung)
- Limas Catu (Gunung Lebah)
- Pelinggih Sapta Petala
- Manjangan Saluwang
Pelinggih Sapta Petala adalah
pemujaan Hyang Widhi sebagai penguasa inti bumi yang menyebabkan manusia dan
mahluk lain dapat hidup. Manjangan Saluwang adalah pemujaan Mpu Kuturan sebagai
Maha Rsi yang paling berjasa mempertahankan Agama Hindu di Bali. Turut 11
- Padmasari
- Kemulan Rong Tiga
- Taksu
- Pangrurah
- Baturan Pengayengan
- Pelinggih Limas Cari (Gunung Agung)
- Limas Catu (Gunung Lebah)
- Pelinggih Sapta Petala
- Manjangan Saluwang
- Gedong Kawitan
- Gedong Ibu
Gedong Kawitan adalah pemujaan
leluhur laki-laki yang pertama kali datang di Bali dan yang mengembangkan
keturunan. Gedong Ibu adalah pemujaan leluhur dari pihak wanita (istri
Kawitan).
Cara menempatkan pelinggih-pelinggih
itu sesuai dengan konsep Hulu dan Teben, di mana yang diletakkan di hulu adalah
Padmasari/ Padmasana, sedangkan yang diletakkan di teben adalah pelinggih
berikutnya sesuai dengan turut seperti diuraikan di atas.
Bila halamannya terbatas sedangkan
pelinggihnya perlu banyak, maka letak bangunan dapat berbentuk L yaitu berderet
dari pojok hulu ke teben kiri dan keteben kanan.
13. UPACARA NGENTEG LINGGIH
Setelah bangunan selesai dalam
bentuk Padmasana atau berbentuk Sanggah Pamerajan dan Pura, maka dilaksanakan
upacara Ngenteg Linggih. Dalam Bahasa Bali “Ngenteg” artinya mengukuhkan, dan
“Linggih” artinya kedudukan. Jadi Ngenteg Linggih dalam arti luas adalah
upacara mensucikan dan mensakralkan Niyasa tempat memuja Hyang Widhi.
Yang akan diuraikan di bawah ini
adalah upacara Ngenteg Linggih menurut versi tradisi beragama Hindu di Bali
berdasarkan Lontar-lontar:
- Bhuwana Tattwa Rsi Markandeya,
- Tutur Kuturan,
- Gong Besi, dan
- Sanghyang Aji Swamandala.
Mungkin saja ada rangkaian upacara
dalam bentuk lain menurut versi atau tradisi setempat untuk Niyasa-Niyasa
tertentu, seperti di Jawa, Kalimantan, Sumatra, dll. boleh saja namun tujuannya
tetap sama yaitu mensucikan dan mensakralkan Niyasa.
MEMANGGUH. Tahap awal adalah upacara
Memangguh. Asal katanya: “kepangguh” atau “kepanggih” artinya menemukan.
Keyakinan tentang kekuasaan Hyang Widhi sebagai sang pencipta bahwa seluruh
jagat raya adalah milik-Nya. Sebidang tanah yang dijadikan Pura ditemukan oleh
manusia secara “Skala” (nyata) dan “Niskala” (tidak nyata, artinya berkat
penugrahan Hyang Widhi). Memangguh lebih cenderung diartikan sebagai menemukan
bidang tanah secara niskala.
MEMIRAK. Berasal dari kata “pirak”
artinya membeli. Kaitannya juga secara niskala, yang bermakna mohon ijin kepada
Hyang Widhi untuk menggunakan bidang tanah dimaksud.
NYENGKER. Berasal dari kata
“sengker” artinya batas. Jadi upacara nyengker adalah memberi batas-batas luas
tanah, baik secara skala dengan cara membangun pagar keliling, maupun secara
niskala dengan menaburkan tepung beras putih kesekeliling batas tanah.
MECARU. Berasal dari kata “caru”
artinya korban suci untuk menuju keseimbangan dan keharmonisan. Keseimbangan
dan keharmonisan dalam arti luas adalah TRI HITA KARANA (Tri = tiga, hita =
kebaikan, karana = sebab; Jadi Trihitakarana adalah tiga hal yang menyebabkan
kebaikan). Keseimbangan dan keharmonisan yang bersentral pada manusia, yaitu:
- Bhakti manusia kepada Hyang Widhi dan sebaliknya kasih sayang Widhi kepada manusia, ini biasa disebut sebagai PARHYANGAN.
- Hubungan antar manusia yang baik dengan inti kasih sayang, biasa disebut sebagai PAWONGAN.
- Kecintaan manusia pada alam dengan memelihara kelestarian, biasa disebut sebagai PALEMAHAN.
Mecaru dalam rangkaian upacara
Ngenteg Linggih tujuannya adalah mohon kepada Hyang Widhi agar di area Pura
dapat terwujud Trihitakarana
Sumber : Bhagawan Dwija
PADMASANA
Padmasana
Padmasari
Tidak ada komentar:
Posting Komentar